Moralitas
Masyarakat
Toeti
Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Februari 2014
DEMI ketertiban, hidup
bermasyarakat memerlukan berbagai aturan. Sebagian terangkum dalam hukum
formal yang pelaksanaannya dilakukan lembaga-lembaga negara. Banyak lainnya
tumbuh dari keyakinan moral masyarakat; mana yang dianggap baik, mana yang
buruk. Semua itu diekspresikan dalam kebiasaan dan konvensi sosial. Berbeda
dengan hukum formal, pelanggaran terhadap kebiasaan atau konvensi moral tidak
dianggap melanggar hukum; dengan demikian tidak dikenai tindakan hukum. Dalam
hal pelanggaran konvensi moral, masyarakatlah yang menghakimi.
Aturan moral bisa berbeda dari
satu masyarakat ke masyarakat lain. Hal-hal yang ditabukan di suatu
masyarakat dianggap biasa di masyarakat lain. Namun, ada yang disepakati
secara universal, misalnya berbagai bentuk ketidakjujuran, pelanggaran
kehormatan, keserakahan, dan pengabaian hak asasi manusia (HAM). Itu terjadi
bukan hanya antarindividu atau antarlembaga; bahkan bisa antarnegara. Sering
kali terjadi gesekan atau salah pengertian antarnegara karena ada kelompok
masyarakat yang tidak menaati aturan moral.
Sebagai contoh; kasus imigran
gelap yang membuat repot hubungan Australia Indonesia belum lama ini. Rasanya
bukan karena pihakpihak yang bersangkutan tidak menyadari bahwa telah terjadi
pelanggaran moral. Masyarakat masing-masing pun tahu. Namun, berbagai rencana
mengatasi masalah-masalah seperti ini lewat pakta, konferensi dan semacamnya,
yang bersifat nasional maupun internasional, tidak selalu mampu memecahkan
persoalan. Ini dilema. Problem moralitas masyarakat menjadi problem dunia
yang meminta perhatian dan penyelesaian bersama.
Hukum dan problem moralitas
Akhir-akhir ini ramai diwa
canakan kemerosotan moral bangsa. Betapa tidak? Tiap hari kita mengikuti
berita tentang elite dari dunia politik, birokrasi, bahkan penegak hukum
dengan gegabah melakukan pelanggaran hukum. Sudah pasti yang lain-lain merasa
tertipu oleh ketidakjujuran mereka. Padahal, tokoh-tokoh itu seharusnya
memberi teladan. Yang mereka tunjukkan, mengutip seorang pakar dalam suatu
talk show Metro TV, mereka bukan leaders,
melainkan dealers.
Perbuatan mereka berimbas pada
perilaku masyarakat umum. Gotong-royong satu hati yang merupakan tradisi
dalam masa revolusi tidak banyak tampak. Memang lain zaman, lain tuntutan.
Sekarang pragmatisme cenderung mendorong orang bersikap egosentris. Ada
kesan, sedang terjadi lomba kesewenangan, keserakahan, dan kemewahan di
kalangan elite yang pastinya menyakiti hati rakyat banyak.
Dalam masyarakat seluas dan
sekompleks ini, sikap dan keyakinan moral memang sangat heterogen, bergantung
pada kepentingan dan kelas masing-masing. Dalam kaitan ini, hukum formal
diharapkan teliti mengikuti perkembangan dan perubahan moralitas masyarakat.
Jangan sampai hukum formal tidak menyadari perlunya mengubah undang-undang
lama sebelum terjadi protes atau keributan. Kasus presidential threshold, ambang batas pencalonan presiden,
contohnya. Sebenarnya DPR-lah yang diharapkan mengikuti
perkembangan/perubahan yang terjadi dalam moralitas masyarakat agar kasus
hukum yang menghebohkan itu bisa dihindari.
Kepedulian dan moralitas
Namun, ramainya kritik oleh
masyarakat sebenarnya membuktikan bahwa banyak di antara kita, bahkan
mayoritasnya, masih punya nurani. Misalnya, berbagai bencana alam yang
meledak di banyak tempat telah membangkitkan kesadaran berbagi rasa dan
berupaya bersama untuk mengurangi dampaknya. Antarwarga sendiri masih ada
rasa saling menghormati dan menghargai. Orang-orang yang menonjol berjasa
bagi masyarakat diberi penghargaan oleh warga secara individu atau lewat
organisasi dan/atau gerakan masyarakat. Lembaga-lembaga swasta pun sebenarnya
bisa memulai kebiasaan memberi penghargaan kepada warganya atau orang luar
atas jasa atau pencapaian yang bermanfaat bagi kemaslahatan bersama. Tindakan
seperti ini memberi keteladanan tentang sikap menghargai dan menghormati.
Sekadar contoh, dalam konvensi
Serikat Perusahaan Pers (SPS) dan peringatan Hari Pers Nasional di Bengkulu,
6-9 Februari, lebih dari 150 penerbitan berupa koran, majalah, dan tabloid
mendapat penghargaan. SPS menghargai pencapaian anggota-anggotanya yang telah
memberi pencerahan/ hiburan kepada publik. Begitu pula Chairman of Media Group dan politikus Surya Paloh belum lama ini
mendapat penghargaan dari majalah Men's
Obsession yang menyebutnya sebagai tokoh inspiratif dalam kebebasan pers,
demokrasi, dan restorasi Indonesia. Besok malam, Andy Noya akan merayakan HUT
ke-8 pemberian penghargaan kepada heroes pilihannya. Kata Andy, “Mereka itu pahlawan dan pejuang kehidupan
yang dengan keterbatasannya mampu mengubah masyarakat lingkungannya menjadi
lebih baik. Mereka bekerja dalam kesunyian, jauh dari riuh rendah publikasi.“
Penghargaan dari dan untuk
sesama warga seperti yang dicontohkan itu memberi harapan untuk kebangkitan
moralitas masyarakat. Faktanya segenap warga masyarakat berhak dan
berkewajiban menunjukkan kepedulian. What
is life without love. Betapa gersangnya hidup tanpa kepedulian. Bila
sikap dan perilaku ideal ini makin menyebar dan terus meningkat, kita
memiliki harapan kejayaan yang lebih besar akan tumbuh berkat moralitas
masyarakat; didampingi hukum yang dipatuhi dan terus terjaga penegakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar