Minggu, 23 Februari 2014

Disfungsi Pendidikan Politik

Disfungsi Pendidikan Politik

Bambang Arianto  ;   Direktur Eksekutif dan Peneliti Politik
Bulaksumur Empat Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  22 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
KONTESTASI Pemilu 2014 seharusnya dapat diter jemahkan sebagai proses transformasi pendidikan politik. Alih-alih menjadikan Pemilu 2014 sebagai pembelajaran pendidikan politik, realitasnya hanya menjadi ajang kegaduhan elite politik oligarkis dan populis. Hakikat politik yang bukan merupakan tujuan akhir dari pembangunan negara-bangsa menjadi pemicu memburuknya kesadaran berpolitik publik.

Pada masa kemerdekaan, pendidikan politik mulai dijalankan oleh pemerintah di era revolusi Indonesia (1945-1950), Demokrasi Liberal (1950-1959), Orde Lama (1959-1966), Orde Baru (1966-1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang). Pendidikan politik yang diterapkan oleh tiap-tiap pemerintahan tersebut memiliki keunikan tersendiri, sekaligus menjadi cermin pembelajaran politik bagi pemerintahan di masa mendatang. Pendidikan politik di awal masa kemerdekaan, seperti dijelaskan oleh Muhammad Numan Somantri (2001:229), merupakan patriotic political education dan lebih memberikan penekanan pada nation and characater building.

Pendidikan politik di masa Orde Lama (1959-1966) dibangun oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Kala itu pendidikan politik lebih diarahkan pada pemahaman dan kesadaran politik, tetapi akhirnya diselewengkan menjadi pendidikan yang bersifat `indoktrinatif' (Numan Somantri, 2001). Adanya pengangkatan presiden seumur hidup kala itu menjadi salah satu ben tuk karut-marut pendidikan politik. Selama Orde Baru (1966-1998), pendidikan politik juga dijalankan guna memenangi dan memperkukuh kekuasaan, bukan proses penyadaran berpolitik. Rakyat, kala itu, digiring ke bilikbilik suara guna memberikan dukungan penuh pada partai tertentu, sedangkan kebebasan berpolitik rakyat tetap terpasung.

Menurut Mohammad Hatta (1980), jika rakyat tak memiliki kesadaran politik, rasa tanggung jawabnya akan amat kurang. Pemerintah dan rakyat harus sama-sama memiliki kepentingan yang sama sebab pendidikan politik harus datang dari kedua pihak. Pada satu sisi pemerintah dapat memudahkan jalannya pendidikan politik dengan mempertinggi kecerdasan umum publik. Adapun dari publik, pendidikan politik merupakan bentuk tanggung jawab utama partai politik (parpol) dalam melakukan transfer kesadaran berpolitik.

Apati Rakyat

Jadi, dapat kita simpulkan empat sasaran pendidikan politik. Pertama sebagai sarana transformasi pengetahuan politik. Pengetahuan ini mengacu pada bentuk konsep, informasi, dan pertimbangan faktual mengenai sistem pemerintahan dan politik. Kedua, merupakan keterampilan intelektual terkait kepiawaian dalam menggambarkan, menginterpretasikan, dan menilai fenomena politik. Kepiawaian ini untuk membatasi terjadinya fanatisme yang berlebihan dari satu kesatuan politik. 

Ketiga, sarana untuk membangun partisipasi politik. Partisipasi ini dapat menjadi bekal rakyat untuk memaksimalkan interaksi dengan orang lain dan kelompok sosial lainnya dalam menyusun keputusaan politik. Keempat, sebagai sarana untuk memengaruhi sikap politik publik sehingga menjadi roh dalam segala jenis tindakan guna membangun patriotisme dan nasionalisme.

Dekade terakhir, kegaduhan kehidupan politik semakin tidak terarah. Nalar elite politik masih menyimpan adanya pengakuan tersirat untuk saling berkuasa, tanpa memedulikan nasib rakyat. Otoritas pemerintahan kerap diselewengkan demi kepentingan rente ekonomi. Cara kerja elite politik seperti inilah yang cenderung membuat rakyat merasa kepentingannya tidak diperjuangkan. Akhirnya, apati dan jarak antara politik dan rakyat semakin melebar jelang Pemilu 2014.

Parpol yang diharapkan dapat menjembatani penyalur aspirasi pada tataran akar rumput selalu bungkam. Parpol lebih disibukkan dengan upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Bahkan, elite parpol cenderung arogan dengan tangan besinya dalam menentukan kebijakan baik di aras pusat hingga di tataran lokal. Sebut saja, upaya pengangkatan Wisnu Sakti Buana selaku Wakil Wali Kota Surabaya tanpa mekanisme yang jelas. Padahal, ketika menjadi Wakil Ketua DPRD Surabaya, Wisnu pernah menyokong upaya pemakzulan Tri Rismaharini karena kebijakan menaikkan pajak reklame. Kebijakan ini dapat menjadi pembelajaran yang merusak tatanan pendidikan politik.

Tangan besi oligarki dalam parpol masih terlalu dominan. Padahal fungsi dari parpol sebagai sarana pendidikan politik, stabilitas politik, partisipasi politik, seleksi kepemimpinan, politik, seleksi kepemimpinan, dan penyalur aspirasi rakyat terkesampingkan. Proses pelembagaan kepartaian kerap dilangkahi demi memenuhi nafsu politik. Parpol seharusnya dapat menjadi mediasi politik bagi publik lewat program politiknya agar analisis sosial dan pendidikan politik dapat menjadi bagian upaya parpol membantu rakyat melek politik, agar rakyat tidak lagi memiliki hak subjektif dalam kehidupan bernegara.

Deviasi fungsi politik

Deskripsi faktor tersebut membuktikan bahwa politik hanya dijadikan alat legitimasi meraih kekuasaan lewat program politik. Rakyat akhirnya hanya menjadi boneka politik dan korban kebijakan politik. Deviasi fungsi politik dan parpol inilah yang menjadi awal pelbagai masalah dalam kehidupan politik. Dapat kita bayangkan apabila yang diprioritaskan hanya kepentingan politik belaka, karutmarut pendidikan politik terasa sirna dari ajang Pemilu 2014. Realitas tersebut merupakan bukti konkret bahwa dalam khasanah politik tidak ada etika politik, objektivitas, apalagi rasionalitas, yang ada hanya kepentingan.

Apalagi, pendidikan politik hanya diberikan sebatas pada kajian fakta dan bukan konsep dasar. Seharusnya, pembelajaran dilanjutkan dengan implementasi politik pada sektor di mana kekuasaan dapat dimengerti oleh rakyat secara rasional.

Sebenarnya inilah proses disfungsi pendidikan politik. Materi substansial kerap direduksi sehingga konsep pendidikan politik menjadi monoton. Dampaknya, ketika publik berhadapan dengan permasalahan politik praktis, yang terjadi ialah menjamurnya apati publik tanpa mengerti apa yang harus dilakukan. Fakta ini membuktikan bahwa pendidikan politik di Indonesia sampai saat ini masih dianggap gagal.

Kiranya parpol juga harus memprogramkan pendidikan politik yang substansial kepada segenap kader partai, sehingga pemahaman politik yang terdistorsi dapat direduksi dari peta kognitif rakyat Indonesia. Sebab, fungsi parpol ialah sebagai penyalur pendidikan politik guna membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila. Apati politik publik yang terjadi sekurangkurangnya dapat dihindari, dengan jalan menghadirkan pendidikan politik yang dipahami sebagai alat penyadaran wacana politik publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar