Disfungsi
Pendidikan Politik
Bambang
Arianto ; Direktur Eksekutif dan Peneliti
Politik
Bulaksumur Empat Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Februari 2014
KONTESTASI Pemilu 2014 seharusnya
dapat diter jemahkan sebagai proses transformasi pendidikan politik.
Alih-alih menjadikan Pemilu 2014 sebagai pembelajaran pendidikan politik,
realitasnya hanya menjadi ajang kegaduhan elite politik oligarkis dan
populis. Hakikat politik yang bukan merupakan tujuan akhir dari pembangunan
negara-bangsa menjadi pemicu memburuknya kesadaran berpolitik publik.
Pada masa kemerdekaan,
pendidikan politik mulai dijalankan oleh pemerintah di era revolusi Indonesia
(1945-1950), Demokrasi Liberal (1950-1959), Orde Lama (1959-1966), Orde Baru
(1966-1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang). Pendidikan politik yang
diterapkan oleh tiap-tiap pemerintahan tersebut memiliki keunikan tersendiri,
sekaligus menjadi cermin pembelajaran politik bagi pemerintahan di masa
mendatang. Pendidikan politik di awal masa kemerdekaan, seperti dijelaskan
oleh Muhammad Numan Somantri (2001:229), merupakan patriotic political education dan lebih memberikan penekanan pada
nation and characater building.
Pendidikan politik di masa Orde
Lama (1959-1966) dibangun oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Kala itu
pendidikan politik lebih diarahkan pada pemahaman dan kesadaran politik,
tetapi akhirnya diselewengkan menjadi pendidikan yang bersifat
`indoktrinatif' (Numan Somantri, 2001). Adanya pengangkatan presiden seumur
hidup kala itu menjadi salah satu ben tuk karut-marut pendidikan politik.
Selama Orde Baru (1966-1998), pendidikan politik juga dijalankan guna
memenangi dan memperkukuh kekuasaan, bukan proses penyadaran berpolitik. Rakyat,
kala itu, digiring ke bilikbilik suara guna memberikan dukungan penuh pada
partai tertentu, sedangkan kebebasan berpolitik rakyat tetap terpasung.
Menurut Mohammad Hatta (1980),
jika rakyat tak memiliki kesadaran politik, rasa tanggung jawabnya akan amat
kurang. Pemerintah dan rakyat harus sama-sama memiliki kepentingan yang sama
sebab pendidikan politik harus datang dari kedua pihak. Pada satu sisi
pemerintah dapat memudahkan jalannya pendidikan politik dengan mempertinggi
kecerdasan umum publik. Adapun dari publik, pendidikan politik merupakan
bentuk tanggung jawab utama partai politik (parpol) dalam melakukan transfer
kesadaran berpolitik.
Apati Rakyat
Jadi, dapat kita simpulkan
empat sasaran pendidikan politik. Pertama sebagai sarana transformasi pengetahuan
politik. Pengetahuan ini mengacu pada bentuk konsep, informasi, dan
pertimbangan faktual mengenai sistem pemerintahan dan politik. Kedua,
merupakan keterampilan intelektual terkait kepiawaian dalam menggambarkan,
menginterpretasikan, dan menilai fenomena politik. Kepiawaian ini untuk
membatasi terjadinya fanatisme yang berlebihan dari satu kesatuan politik.
Ketiga,
sarana untuk membangun partisipasi politik. Partisipasi ini dapat menjadi
bekal rakyat untuk memaksimalkan interaksi dengan orang lain dan kelompok
sosial lainnya dalam menyusun keputusaan politik. Keempat, sebagai sarana
untuk memengaruhi sikap politik publik sehingga menjadi roh dalam segala
jenis tindakan guna membangun patriotisme dan nasionalisme.
Dekade terakhir, kegaduhan
kehidupan politik semakin tidak terarah. Nalar elite politik masih menyimpan
adanya pengakuan tersirat untuk saling berkuasa, tanpa memedulikan nasib
rakyat. Otoritas pemerintahan kerap diselewengkan demi kepentingan rente
ekonomi. Cara kerja elite politik seperti inilah yang cenderung membuat
rakyat merasa kepentingannya tidak diperjuangkan. Akhirnya, apati dan jarak
antara politik dan rakyat semakin melebar jelang Pemilu 2014.
Parpol yang diharapkan dapat
menjembatani penyalur aspirasi pada tataran akar rumput selalu bungkam.
Parpol lebih disibukkan dengan upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan
semata. Bahkan, elite parpol cenderung arogan dengan tangan besinya dalam
menentukan kebijakan baik di aras pusat hingga di tataran lokal. Sebut saja, upaya pengangkatan Wisnu Sakti Buana selaku Wakil
Wali Kota Surabaya tanpa mekanisme yang jelas. Padahal, ketika menjadi Wakil
Ketua DPRD Surabaya, Wisnu pernah menyokong upaya pemakzulan Tri Rismaharini
karena kebijakan menaikkan pajak reklame. Kebijakan ini dapat menjadi
pembelajaran yang merusak tatanan pendidikan politik.
Tangan besi oligarki dalam
parpol masih terlalu dominan. Padahal fungsi dari parpol sebagai sarana
pendidikan politik, stabilitas politik, partisipasi politik, seleksi
kepemimpinan, politik, seleksi kepemimpinan, dan penyalur aspirasi rakyat
terkesampingkan. Proses pelembagaan kepartaian kerap dilangkahi demi memenuhi
nafsu politik. Parpol seharusnya dapat menjadi mediasi politik bagi publik
lewat program politiknya agar analisis sosial dan pendidikan politik dapat
menjadi bagian upaya parpol membantu rakyat melek politik, agar rakyat tidak
lagi memiliki hak subjektif dalam kehidupan bernegara.
Deviasi fungsi politik
Deskripsi faktor tersebut
membuktikan bahwa politik hanya dijadikan alat legitimasi meraih kekuasaan
lewat program politik. Rakyat akhirnya hanya menjadi boneka politik dan
korban kebijakan politik. Deviasi fungsi politik dan parpol inilah yang
menjadi awal pelbagai masalah dalam kehidupan politik. Dapat kita bayangkan
apabila yang diprioritaskan hanya kepentingan politik belaka, karutmarut
pendidikan politik terasa sirna dari ajang Pemilu 2014. Realitas tersebut
merupakan bukti konkret bahwa dalam khasanah politik tidak ada etika politik,
objektivitas, apalagi rasionalitas, yang ada hanya kepentingan.
Apalagi, pendidikan politik
hanya diberikan sebatas pada kajian fakta dan bukan konsep dasar. Seharusnya,
pembelajaran dilanjutkan dengan implementasi politik pada sektor di mana
kekuasaan dapat dimengerti oleh rakyat secara rasional.
Sebenarnya inilah proses
disfungsi pendidikan politik. Materi substansial kerap direduksi sehingga
konsep pendidikan politik menjadi monoton. Dampaknya, ketika publik
berhadapan dengan permasalahan politik praktis, yang terjadi ialah
menjamurnya apati publik tanpa mengerti apa yang harus dilakukan. Fakta ini
membuktikan bahwa pendidikan politik di Indonesia sampai saat ini masih
dianggap gagal.
Kiranya parpol juga harus
memprogramkan pendidikan politik yang substansial kepada segenap kader
partai, sehingga pemahaman politik yang terdistorsi dapat direduksi dari peta
kognitif rakyat Indonesia. Sebab, fungsi parpol ialah sebagai penyalur
pendidikan politik guna membangun etika dan budaya politik sesuai dengan
Pancasila. Apati politik publik yang terjadi sekurangkurangnya dapat
dihindari, dengan jalan menghadirkan pendidikan politik yang dipahami sebagai
alat penyadaran wacana politik publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar