Contoh
Etika Politik atau Cacat Moral?
Reza Akbar Felayati ; Mahasiswa
Jurusan Hubungan Internasional (HI)
FISIP Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 05 Februari 2014
GITA Wiryawan memilih mundur
dari jabatannya sebagai menteri perdagangan. Dalam keterangan pers Jumat
(31/1), Gita mengaku ingin berkonsentrasi pada keikusertaannya dalam konvensi
calon presiden (capres) Partai Demokrat. Dia ogah "menduakan"
tenaganya sebagai menteri perdagangan dan sebagai peserta konvensi capres
Partai Demokrat.
Gayung bersambut. Presiden
SBY, melalui Mensesneg Sudi Silalahi, menerima permintaan mundur Gita
Wiryawan. Bahkan, Presiden SBY menegaskan bahwa pilihan mundur Gita merupakan
wujud etika politik yang perlu dicontoh.
Mengundurkan diri dari posisi
atau jabatan publik bukan hal baru. Termasuk di Indonesia. Itu adalah pilihan
pejabat publik -termasuk menteri kabinet- ketika yang bersangkutan dihadapkan
pada dua pilihan sulit. Tidak mungkin dirangkap atau merangkap jabatan yang
dapat melahirkan benturan kepentingan.
Pada sudut pandang ini
pengunduran Gita bisa ditempatkan. Dia merasa posisinya sebagai menteri
perdagangan dan keikutsertaannya dalam konvensi capres Partai Demokrat dapat
melahirkan benturan kepentingan. Gita berdalih ikut konvensi lebih mulia
(Jawa Pos, 1/2/14).
Sebuah pilihan pribadi
seseorang yang patut diapresiasi. Namun, pada saat yang sama pilihan itu
memicu kontroversi.
Pada aspek apresiasi kita
patut menghargai seseorang yang memilih pilihan tertentu, termasuk
meninggalkan atau mundur dari jabatan, yang dianggap terbaik. Perspektif
universal demokrasi mengatakan bahwa menghargai pilihan seseorang yang
bersifat pribadi haruslah dianggap bagian dari persamaan dan kesetaraan
politik. Sekalipun pilihan itu bagi orang lain mungkin bersinggungan kurang
nyaman lantaran berbenturan dengan moral publik.
Lantas di manakah benturan
moral publik itu dalam konteks pilihan Gita Wirjawan untuk mundur dari
jabatan menteri perdagangan? Pertama, muncul kesan kuat bahwa dia sangat
berambisi menjadi presiden RI tanpa melihat persoalan yang tengah mendera
Kementerian Perdagangan. Pilihan itu bagi kalangan political moralist
dianggap kurang bertanggung jawab.
Kedua, dari sisi etika moral,
rasanya kurang pas seseorang yang berusaha merebut jabatan politik lebih
tinggi di saat jabatan lama yang dia tinggalkan sedang dirundung masalah.
Orang awam menyebut langkah itu sebagai lari dari tanggung jawab.
Lain halnya jika Gita
meninggalkan posisinya sebagai menteri perdagangan tanpa ikut serta dalam
konvensi capres Partai Demokrat. Itu adalah bentuk pengakuan terhadap hukuman
moral publik akibat tidak dapat menyelesaikan masalah di Kementerian
Perdagangan yang saat ini menjadi sororan tajam.
Seperti diketahui,
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi sorotan setelah menerbitkan surat
perintah impor (SPI) beras Vietnam sebanyak 16.900 ton melalui Peraturan
Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/2012. Selama 2013, sudah 83 kali terjadi
impor beras dari Vietnam melalui Pelabuhan Belawan dan Tanjung Priok. Impor
dilakukan oleh 58 importer, selain Bulog.
Ketika kasus ini mencuat,
Kemendag menyalahkan Kementerian Pertanian (Kementan). Alasannya, Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Kementan yang memberikan
rekomendasi impor beras dari Vietnam. Kementan ogah disalahkan lantaran tidak
merasa pernah mengeluarkan rekomendasi impor beras Vietnam. Kalaupun ada
rekomendasi, itu untuk impor beras kategori khusus. Bukan beras kelas menengah
yang biasa diimpor Bulog. Sebab, kebutuhan beras kelas menengah sudah
terpenuhi produksi beras dalam negeri oleh Bulog.
Peluang Kecil
Hampir semua lembaga survei
dan berbagai analis memperkirakan peluang Gita memenangi kovensi capres
Partai Demokrat sangatlah kecil. Di antara peserta konvensi capres Partai
Demokrat, posisi elektabilitas Gita berada di lapisan bawah. Posisi atas
ditempati Dahlan Iskan, Pramono Edhie Wibowo, dan Marzuki Ali yang angkanya
antara 10-16 persen. Gita berada di lapisan bawah bersama Dino Patti Djalal,
Hayono Isman, dan beberapa peserta lain. Angkanya 5-7 persen.
Oleh sebab itu, akan lebih
mulia jika Gita tetap bertahan sebagai menteri perdagangan. Dia akan lebih
mendapatkan apresiasi moral jika dalam waktu yang tersisa sebagai menteri
perdagangan yang tinggal 8 (delapan) bulan digunakan untuk
"bersih-bersih" kementeriannya.
Jika dugaan
"permainan" dalam impor beras Vietnam tidak terselesaikan,
masyarakat justru akan terus mengenang Gita sebagai pejabat publik atau
mantan pejabat publik yang memiliki cacat moral.
Bahkan, andaikata kelak Gita
Wiryawan memenangi konvensi capres Partai Demokrat, lalu resmi menjadi salah
satu capres pada Pilpres 2014, dan misalnya, terpilih, menjadi presiden ke-7
RI, mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini akan terus
dicibir. Cibiran sebagai presiden yang punya dosa politik di masa lalu, yakni
gagal membongkar dugaan impor ilegal besar dari Vietnam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar