Presidential
Threshold vs Hak Rakyat
Jazuli Juwaini ; Anggota Komisi II DPR RI; Kandidat
Doktor Manajemen SDM UNJ
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2014
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pengejawantahan demokrasi yang
paling dasar. Melalui pemilu, rakyat menyalurkan suaranya dan terlibat dalam
proses transisi kepemimpinan bangsa.
Maka pemilu harus dilaksanakan secara akuntabel dan menempatkan rakyat secara tepat di atas kepentingan politik atau golongan. Dalam perspektif ini, penulis menyoroti pemberlakuan ambang batas partai politik dapat mencalonkan pasangan presiden-wapres atau lazim disebut Presidential Threshold sebagaimana diatur di dalam UU Pemilu Presiden-Wapres. Sebagaimana kita ketahui, UU Pilpres-Wapres menetapkan aturan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu DPR. Aturan ini berlaku sejak Pemilu 2004 dan konsisten diberlakukan, meskipun sebagian kalangan Dewan mengehendaki penghapusan. Paling kurang terdapat empat argumentasi yang mendasari presidential threshold. Pertama, kebutuhan untuk membangun sistem presidensial yang kuat sehingga sejak awal pencalonan didesain sedemikian agar partai politik memiliki dukungan memadai untuk dapat mencalonkan pasangan presiden-wapres. Sistem presidensial perlu diperkuat karena kekuasaan negara ada di tangannya sehingga supporting untuk itu perlu dijamin sejak proses pemilu. Kedua, kebutuhan untuk membangun pemerintahan yang efektif. Dengan presidential threshold yang cukup besar diharapkan tercipta jalannya roda pemerintahan yang efektif. Dengan minimal 20% dukungan di DPR, harapannya kebijakan yang akan diambil presiden-wapres terpilih nantinya mendapatkan dukungan yang kuat di parlemen. Hal ini tentu saja tidak menjamin proses kebijakan berjalan mulus, tapi paling kurang dukungan 20% kursi parlemen sudah dikantongi presiden dan wapres terpilih. Ketiga, ambang batas parpol dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wapres juga dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Banyaknya parpol yang berkontestasi dalam pemilu diyakini hanya menyebabkan hiruk-pikuk dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Apalagi di tengah sistem kepartaian yang belum terlembaga, parpol dinilai masih belum menjelma menjadi aktor demokrasi yang produktif dan berkualitas. Presidential threshold “memaksa” partai politik untuk berkoalisi, karena diyakini tidak akan ada parpol yang meraih suara mayoritas. Tradisi berkoalisi juga diyakini sesuai dengan kultur politik Indonesia yang mementingkan kolektivisme atau gotong royong. Keempat, meski minor tapi ada yang berpendapat bahwa presidential threshold dimaksudkan untuk menyeleksi pasangan calon presiden- wapres sejak awal (semacam preliminary election) sebelum pemilu sesungguhnya, sehingga diharapkan hanya kandidat yang teruji dan berkualitas yang akan dimajukan atau diusulkan sebagai riil pasangan capres- cawapres. Menurut pendapat ini, yang paling diuntungkan sejatinya adalah pemilih karena calon sudah terseleksi sejak awal sehingga pemilih tidak dipusingkan dengan banyaknya calon yang harus dipilih. Banyak Capres-Cawapres Lebih Baik Penulis terlibat dalam diskursus pembahasan UU Pilpres- Wapres sejak tahun 2007/ 2008 (untuk pemilu 2009) hingga saat ini jelang Pemilu 2014. Paripurna DPR memang telah memutuskan tidak merevisi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres-Wapres, artinya pilpres-wapres yang akan datang tetap akan mengacu pada aturan (lama) tersebut, yang di dalamnya mengatur ambang batas presidential threshold sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara. Namun, dinamika dan diskursus presidential threshold tetap hangat dibicarakan terkait langkah sejumlah pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi. Penulis termasuk pihak yang setuju presidential threshold dihapuskan dengan sejumlah argumentasi. Secara yuridis, penghapusan presidential thresholdsejalan dengan tekstual bunyi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Tafsir gramatikal dan tekstual dari hukum tertinggi yang mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden menjelaskan bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan capres-cawapres. Original intent pasal konstitusi tersebut juga tidak memberikan pengecualian, apalagi batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden-wapres. Lalu, siapakah partai politik peserta pemilu, yaitu partai politik yang lolos verifikasi KPU sebagai peserta pemilu legislatif dan pemilu presiden- wapres. Sehinggaseharusnya seluruh partai politik peserta pemilu 2014 dapat mengajukan pasangan calon presiden-wapres. Filosofi pemilihan umum menyangkut hak dipilih dan hak memilih dan dalam konteks demokrasi pelaksanaan hak tersebut merupakan esensi negara demokratis. Penulis termasuk yang berpandangan bahwa hak memilih rakyat satu tarikan nafas dengan hak dipilih, artinya pemilih harus memungkinkan (possible) untuk memilih calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak mengikuti selera politik oligarkis. Hak pemilih untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif calon presiden- wapres sesuai konstitusi dengan demikian mendasar untuk diperhatikan. Pesannya, tidak boleh presidential threshold mengebiri hak politik (melalui hak memilih) rakyat untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden terbaik. Presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sebagaimana langgam yang berlaku, jelas membatasi rakyat untuk mendapatkan alternatif pilihan yang lebih banyak dan juga lebih baik (dapat dimaknai sebagai “pembatasan calon”). Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong voters turnout dalam bentuk golput, karena calon terbaik menurut mereka tidak dapat menjadi riil pasangan capreswapres akibat pembatasan tersebut. Sebaliknya, penghapusan presidential threshold berarti membuka saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu meningkatkan partisipasi pemilih karena daya tarik calon presiden- wapres yang lebih banyak pilihan alternatifnya. Argumentasi presidential threshold untuk memperkuat sistem presidensial, mengefektifkan pemerintahan presidenwapres terpilih, penyederhanaan sistem kepartaian, dan membantu pemilih menyeleksi capres-cawapres tidak sepenuhnya tepat. Dalam pandangan penulis, pilpres selalu akan berlangsung dua putaran karena konstitusi mengatur ketat syarat keterpilihan pasangan calon presiden dan wapres, yaitu harus “mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia..” (videPasal 6A ayat (3)). Sementara itu, sepanjang pemilu demokratis di negeri ini pasangan capres-cawapres selalu lebih dari dua. Dengan demikian, koalisi di putaran kedua adalah sebuah keniscayaan dan dengan sendirinya maksud penguatan sistem presidensial melalui dukungan memadai partai-partai di parlemen tetap dapat terpenuhi. Hanya bedanya, rakyat yang dimenangkan, karena membuka lebih banyak pilihan alternatif bagi rakyat karena seluruh parpol peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon terbaiknya. Lebih dari itu, menurut penulis, dengan semakin banyak pasangan capres-cawapres akan terjadi kontestasi ide dan gagasan alternatif yang lebih variatif sehingga akan mendinamisasi proses demokrasi dan mempercepat proses konsolidasinya. Kontestasi ide dan gagasan itulah yang sejatinya dapat menjadi sarana pencerdasan rakyat untuk memilih presiden-wapres yang lebih berkualitas di banding lainnya (primus interpares). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar