“Drama kehidupan di daerah bencana ternyata
menjadi keuntungan tersendiri bagi sejumlah pihak.”
Awal tahun 2014, Indonesia
terus dirundung bencana. Berminggu-minggu sudah korban Gunung Sinabung, Karo,
Sumatera Utara mengungsi.
Masyarakat Kabupaten Karo
terpaksa mengungsi akibat letusan Gunung Sinabung. Hingga pertengahan
Januari, Gunung Sinabung telah meletus sebanyak 254 kali.
Bencana Sinabung ini bahkan
kian menambah pilu. Tatkala seorang korban Sinabung menuliskan kegelisahan
hatinya di dunia virtual. Kegundahan hati seorang ibu korban Sinabung
tersebut pecah dan muncul di dunia virtual, akibat terpancing foto-foto yang
diunggah Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Dalam surat yang beredar di
dunia virtual tersebut, sang ibu “berterima kasih” atas hiburan yang
diberikan Ibu Ani melalui foto-foto hasil karyanya. Dalam suasana duka di
pengungsian, seorang ibu negara justru mengirimkan foto-foto berlibur ke
pantai bersama putranya dan juga kebahagiaan rumah tangga istana.
Namun, drama pilu akibat
bencana, ternyata tak hanya milik korban Sinabung. Hingga pertengahan
Januari, sejumlah daerah di Indonesia masih dilanda banjir, tak terkecuali
Ibu Kota. Walaupun penanganan cepat dari Pemda DKI Jakarta terbilang cukup
cepat, hujan masih terus mengguyur sejumlah titik di Indonesia.
Mengeruk Untung
Indonesia boleh saja masih
menangis. Sejumlah pengungsi masih harus terus dihantui dinginnya malam di
tenda-tenda pengungsian. Pasokan air bersih, makanan, selimut masih menjadi
doa yang tak putus-putusnya dinaikkan sejumlah pengungsi.
Namun, drama kehidupan di
daerah bencana ternyata menjadi keuntungan tersendiri bagi sejumlah pihak.
Salah satu yang mengeruk keuntungan cukup besar tentu saja media massa.
Sajian berita tiap hari yang disuguhkan televisi tak lepas dari daerah banjir
dan kegetiran hati para pengungsi.
Tangisan ibu-ibu dan bayi di
pengungsian, ricuhnya pembagian bantuan, atau kegelisahan hati para pengungsi
yang “terhibur” dengan foto-foto ibu negara, menjadi suguhan yang menarik
bagi media massa, tak terkecuali layar kaca. Tangisan dan harapan pilu tersebut,
ternyata berbuah manis bagi televisi.
Tangisan dan harapan pilu
tersebut, telah menjadi komoditas yang menarik untuk ditampilkan televisi.
Drama yang umumnya muncul di layar kaca dalam bentuk sinema elektronik atau
sinetron, kini dapat ditemukan dalam tenda pengungsian. Komoditias tersebut
ditangkap, diolah, dan dijual televisi kepada khalayak.
Budaya mengasihani melalui
layar kaca menjadi hal yang lumrah terjadi dan bahkan dikonsumsi sejumlah
pihak.
Televisi sebagai media massa
memang memiliki tanggung jawab mengabarkan informasi terkini dari berbagai
penjuru. Namun, saat dihadapkan kepada informasi, televisi telah menunjukkan
dua sisi mata uang sekaligus kepada pemirsanya. Informasi yang disuguhkan
sekaligus upaya “menjual” informasi.
Televisi telah menjadi alat
bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan. Dalam ekonomi politik media,
Vincent Mosco menawarkan tiga konsep dasar. Salah satu konsep dasar
dirumuskan sebagai sebuah proses transformasi barang dan jasa beserta nilai
gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar.
Konsep ini disebut
komodifikasi. Secara sederhana komodifikasi merupakan upaya media massa untuk
mengolah apa pun menjadi tayangan atau produk yang dapat menghasilkan
keuntungan.
Vincent Mosco membagi
komodifikasi dalam tiga bentuk. Pertama, komodifikasi isi atau content.
Bentuk pertama adalah komodifikasi content media komunikasi. Proses
komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media mengubah pesan melalui teknologi
yang ada menuju sistem interpretasi yang penuh makna hingga menjadi pesan
yang marketable.
Bencana kini telah menjadi
konten yang menarik untuk “dijual” media massa. Content yang muncul di
ruang-ruang redaksi kini adalah content yang dapat “dijual” kepada
khalayaknya. Kini tiap content yang dihasilkan haruslah menghasilkan
keuntungan.
Melalui apa keuntungan tersebut
didapatkan televisi? Sebuah tayangan dikatakan memiliki tayangan yang baik,
dewasa ini, tak lebih adalah tayangan yang dapat mempersembahkan rating dan
sharing yang tinggi. Karena rating dan sharing tinggi itulah, parameter bagi
pemasang iklan.
Inilah yang perlu direnungkan?
Dalam berita yang mengumbar bencana, content berita seperti apakah yang
menarik bagi khalayak? Ternyata content berita menarik dalam bencana
dikategorikan sejumlah televisi sebagai isak tangis balita, hawa dingin yang
menggigit para pengungsi, kisruhnya koordinasi bantuan, hingga hiburan
foto-foto sang ibu negara bagi korban Sinabung.
Kedua, komodifikasi audience
atau khalayak. Salah satu prinsip dimensi komodifikasi media massa menurut
Gamham dalam buku yang ditulis Mosco menyebutkan, pengguna periklanan
merupakan penyempurnaan dalam proses komodifikasi media secara ekonomi.
Khalayak merupakan komoditas
penting untuk media massa dalam mendapatkan iklan dan pemasukan. Media dapat
menciptakan khalayaknya sendiri dengan membuat program menarik, khalayak yang
tertarik tersebut dikirimkan kepada pengiklan.
Perih rasanya, saat melihat
para pengiklan memasang iklan saat laporan langsung reporter dari medan
bencana. Belum lagi, saat sejumlah breaking news bencana tersebut, ternyata
disponsori sejumlah brand ternama.
Rasanya program peduli atau
kasih yang memberikan bantuan kepada para korban menjadi sekadar keharusan
belaka. Namun, program tersebut tak jarang yang justru kembali dijual kepada
publik sebagai sebuah acara televisi. Apalagi, sejumlah artis atau publik
figur yang ikut mendompleng. Namun, saat sorotan kamera padam, secepat itu
pula kepedulian mereka terhadap para korban surut.
Ketiga,
komodifikasi pekerja (labour). Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi
sampai distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal
dengan cara mengonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana menyenangkannya
jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun dengan upah yang
tak seharusnya.
Hati bertambah perih, tatkala
reporter muda hanya boneka bagi kaum kapitalis untuk merebut keuntungan.
Idealisme menggebu sebagai pewarta, justru dimanfaatkan kaum kapitalis dengan
mengomodifikasi liputan langsung di lokasi bencana.
Bencana, tak lagi hanya sebuah
informasi bagi kotak ajaib bernama televisi. Tiap tangis balita maupun
ibu-ibu, hawa dingin di tenda pengungsian, menjadi komoditas yang punya nilai
jual tinggi. Televisi telah menjadi sarana empuk untuk memperkaya diri para kaum
kapitalis. Lalu di mana hati nurani? Masihkah ia bernyanyi bagi mereka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar