Kamis, 06 Februari 2014

“Tribute” untuk Penyair

“Tribute” untuk Penyair

Parni Hadi   ;  Wartawan, Aktivis sosbudling, Pendiri Dompet Dhuafa Republika
SINAR HARAPAN,  05 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Kita wajib menziarahi mereka sebagai sumber inspirasi dan wahana instropeksi.”
“Negara lahir dari tangan penyair. Jaya atau jatuhnya di tangan politisi,” kata Mohmmad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal Pakistan. Itulah yang terjadi dengan Indonesia, yang lahir berkat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Secara genealogis, teks Sumpah Pemuda dapat dirunut asal muasalnya pada puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903-7 Oktober 1962), yang berjudul “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember 1922), yang lebih panjang dari puisi sebelumnya, dan “Indonesia, Tumpah Darahku”, 26 Oktober, 1928.

Jika Anda perhatikan naskah aslinya, Sumpah Pemuda adalah deklarasi dalam bentuk puisi. Bangsa Indonesia mulai terbentuk sejak Sumpah Pemuda, yang menyatakan bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Muhammad Yamin sebagai budayawan dan sastrawan dengan berbagai karya monumental lainnya yang berdasar sejarah seperti Sandya Kalaning Majapahit, Gajah Mada, dan Pangeran Diponegoro. Ia kemudian menduduki posisi penting dalam pemerintahan, antara lain sebagai menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di era Bung Karno.

Dilihat dari berbagai segi, Indonesia cenderung durhaka pada puisi. Begitu terungkap dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh karya Jamal D Rahman dkk, yang diterbitkan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin belum lama ini.

Bentuk kedurhakaan itu adalah menjauhkan sastra dari masyarakat Indonesia dan/atau sebaliknya yang berarti memisahkan ibu kandung dari anaknya. Demikian pula sebaliknya, menjauhkan masyarakat dari sastra adalah memisahkan anak dari ibu kandungnya.

Lihat para sastrawan dan budayawan sekarang tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan yang menyangkut keberlangsungan negara. Nasib sebagian besar dari mereka juga memprihatinkan. Ini jauh berbeda sekali dengan zaman kerajaan-kerajaan besar Nusantara ketika sastrawan disebut empu atau pujangga dan dianggap guru spiritual dengan status sosial dan penghormatan yang sangat tinggi.

Kurikulum 2013, menurut buku ini, justru merupakan puncak kedurhakaan itu karena sastra digusur habis tanpa banyak perdebatan. Jika kedurhakaan ini dibiarkan terus berlanjut, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami nasib seperti lazimnya anak-anak durhaka. Kisah Malin Kundang bisa jadi salah satu contohnya.

Kalah Populer

Akibat kedurhakaan itu adalah apa yang terjadi di masyarakat kita sekarang. Coba tanya siapakah tokoh Indonesia, sangat boleh jadi jawabnya adalah para selebriti, pejabat, dan politikus bermasalah.

Maklum, mereka yang terus hadir di panggung dan media massa, baik dalam bentuk pemberitaan, talk show, dan iklan. Mereka dielu-elukan, sedangkan budayawan dan sastrawan hanya dipandang sebelah mata atau bahkan tidak dilihat sama sekali karena dianggap kaum yang lusuh dan sekaligus musuh.

Pelawak, pemain sinetron, penyanyi pop maupun dangdut juga menjadi tokoh-tokoh utama di media massa. Sebaliknya, budayawan dan sastrawan dengan buah karya mereka nyaris tidak tampil dan terdengar. Lihat saja, berapa halaman yang disediakan koran dan majalah untuk budaya dan sastra dan frekuensinya per minggu. 

Jadi, media massa, yang juga dilahirkan para budayawan, ikut berlaku durhaka.
Kedurhakaan selama ini telah melahirkan praktik korupsi yang marak dari atas sampai bawah dan rusaknya lingkungan dari hulu sampai hilir. Ini mengakibatkan banjir di hampir seluruh pelosok tanah air.

Ke-33 sastra tokoh itu, termasuk Muhammad Yamin, telah berjasa besar menyiapkan dan mengisi roh Indonesia merdeka. Ke-32 tokoh lainnya meliputi Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, HB Yassin, WS Rendra, dan beberapa sastrawan yang telah menyejarah dan bahkan melegenda serta tokoh-tokoh baru seperti Wowok Hesti Prabowo sampai selebriti Denny JA.

Terlepas pro dan kontra, buku ini wajib dibaca karena kisah hidup dan karya mereka sangat menarik. Tidak percaya? Harap beli buku itu dan baca sendiri deh! Ditanggung Anda tidak akan kecewa dan pasti tidak akan dicap sebagai pendurhaka. Kita wajib menziarahi mereka sebagai sumber inspirasi dan wahana instropeksi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar