“Tribute”
untuk Penyair
Parni Hadi ; Wartawan, Aktivis sosbudling, Pendiri
Dompet Dhuafa Republika
|
SINAR
HARAPAN, 05 Februari 2014
“Kita wajib menziarahi mereka sebagai sumber
inspirasi dan wahana instropeksi.”
“Negara
lahir dari tangan penyair. Jaya atau jatuhnya di tangan politisi,”
kata Mohmmad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal Pakistan. Itulah yang terjadi
dengan Indonesia, yang lahir berkat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Secara genealogis, teks Sumpah Pemuda dapat
dirunut asal muasalnya pada puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903-7 Oktober
1962), yang berjudul “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa”
(Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember 1922), yang lebih panjang dari puisi
sebelumnya, dan “Indonesia, Tumpah Darahku”, 26 Oktober, 1928.
Jika Anda perhatikan naskah aslinya, Sumpah
Pemuda adalah deklarasi dalam bentuk puisi. Bangsa Indonesia mulai terbentuk
sejak Sumpah Pemuda, yang menyatakan bertanah air satu Indonesia, berbangsa
satu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Muhammad Yamin sebagai budayawan dan
sastrawan dengan berbagai karya monumental lainnya yang berdasar sejarah
seperti Sandya Kalaning Majapahit, Gajah Mada, dan Pangeran Diponegoro. Ia
kemudian menduduki posisi penting dalam pemerintahan, antara lain sebagai
menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di era Bung Karno.
Dilihat dari berbagai segi, Indonesia
cenderung durhaka pada puisi. Begitu terungkap dalam buku 33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh karya Jamal D Rahman dkk, yang diterbitkan Pusat
Dokumentasi Sastra HB Jassin belum lama ini.
Bentuk kedurhakaan itu adalah menjauhkan
sastra dari masyarakat Indonesia dan/atau sebaliknya yang berarti memisahkan
ibu kandung dari anaknya. Demikian pula sebaliknya, menjauhkan masyarakat
dari sastra adalah memisahkan anak dari ibu kandungnya.
Lihat para sastrawan dan budayawan sekarang
tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan yang menyangkut keberlangsungan negara.
Nasib sebagian besar dari mereka juga memprihatinkan. Ini jauh berbeda sekali
dengan zaman kerajaan-kerajaan besar Nusantara ketika sastrawan disebut empu
atau pujangga dan dianggap guru spiritual dengan status sosial dan
penghormatan yang sangat tinggi.
Kurikulum 2013, menurut buku ini, justru
merupakan puncak kedurhakaan itu karena sastra digusur habis tanpa banyak
perdebatan. Jika kedurhakaan ini dibiarkan terus berlanjut, dapat dipastikan
bangsa Indonesia akan mengalami nasib seperti lazimnya anak-anak durhaka.
Kisah Malin Kundang bisa jadi salah satu contohnya.
Kalah Populer
Akibat kedurhakaan itu adalah apa yang
terjadi di masyarakat kita sekarang. Coba tanya siapakah tokoh Indonesia,
sangat boleh jadi jawabnya adalah para selebriti, pejabat, dan politikus
bermasalah.
Maklum, mereka yang terus hadir di panggung
dan media massa, baik dalam bentuk pemberitaan, talk show, dan iklan. Mereka
dielu-elukan, sedangkan budayawan dan sastrawan hanya dipandang sebelah mata
atau bahkan tidak dilihat sama sekali karena dianggap kaum yang lusuh dan
sekaligus musuh.
Pelawak, pemain sinetron, penyanyi pop
maupun dangdut juga menjadi tokoh-tokoh utama di media massa. Sebaliknya,
budayawan dan sastrawan dengan buah karya mereka nyaris tidak tampil dan
terdengar. Lihat saja, berapa halaman yang disediakan koran dan majalah untuk
budaya dan sastra dan frekuensinya per minggu.
Jadi, media massa, yang juga
dilahirkan para budayawan, ikut berlaku durhaka.
Kedurhakaan selama ini telah melahirkan
praktik korupsi yang marak dari atas sampai bawah dan rusaknya lingkungan
dari hulu sampai hilir. Ini mengakibatkan banjir di hampir seluruh pelosok
tanah air.
Ke-33 sastra tokoh itu, termasuk Muhammad
Yamin, telah berjasa besar menyiapkan dan mengisi roh Indonesia merdeka.
Ke-32 tokoh lainnya meliputi Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, HB
Yassin, WS Rendra, dan beberapa sastrawan yang telah menyejarah dan bahkan
melegenda serta tokoh-tokoh baru seperti Wowok Hesti Prabowo sampai selebriti
Denny JA.
Terlepas pro dan kontra, buku ini wajib
dibaca karena kisah hidup dan karya mereka sangat menarik. Tidak percaya?
Harap beli buku itu dan baca sendiri deh! Ditanggung Anda tidak akan kecewa
dan pasti tidak akan dicap sebagai pendurhaka. Kita wajib menziarahi mereka
sebagai sumber inspirasi dan wahana instropeksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar