Kamis, 06 Februari 2014

Perubahan?

Perubahan?

Franz Magnis-Suseno   ;  Dosen STF Driyarkara
TEMPO.CO,  05 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"Rakyat bosan dengan reformasi!" Benarkah? Jelas, "rakyat" (termasuk penulis ini) bosan, ya, marah, terhadap banyak hal di negara kita yang tercinta ini. Marah bahwa rakyat, terutama di pedesaan, tetap miskin. Bahwa negara kurang berani melindungi identitas, bahkan nyawa, saudara-saudari sebangsa yang kepercayaannya berbeda. Bahwa di negara kita ini, orang beragama asli tidak mendapat KTP. Marah terhadap obral kekayaan alam kita. Dan marah terhadap sumber segala petaka, korupsi (yang, jangan dilupakan, dijadikan sistem oleh Soeharto).

Dalam rangka itu, ada tuntutan perubahan undang-undang dasar. Tuntutan ini cukup masuk akal. Asalkan jelas apa yang hendak diubah. Misalnya satu amendemen lagi untuk membetulkan sekian kepincangan kehidupan demokratis kita sekarang, karena memang tidak semua masalah dapat diantisipasi dalam amendemen-amendemen pada permulaan reformasi.

Namun ada perubahan yang mutlak tidak boleh diizinkan. Kita jangan pernah mengizinkan patok-patok keberadaban dan kemanusiaan, yang oleh MPR pimpinan Amien Rais dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, dibongkar lagi. Masukan-masukan yang menjamin bahwa negara kita diperintah secara demokratis dan menjamin hak-hak asasi manusia. Karena masukan-masukan itulah yang hendak memastikan bahwa kita tidak lagi jatuh ke tangan seorang diktator, bahwa kita tidak lagi bisa dikuasai oleh sebuah oligarki, entah feodal, ideologis, religius, atau militer. 

Maka, sudah jelas, segenap usaha untuk membongkar lagi demokrasi serta jaminan hak-hak asasi manusia dari undang-undang dasar kita, tak kurang, merupakan suatu kejahatan yang harus dilawan mati-matian. Bahwa demokrasi kita masih punya banyak kepincangan, itu bukan alasan untuk membongkarnya, melainkan untuk memantapkannya.

Khususnya hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia mau menjamin bahwa tidak lagi ada orang bisa dibunuh begitu saja, orang seenaknya ditangkap, orang ditahan tanpa dibawa ke pengadilan, disiksa, diperkosa, dan dihancurkan eksistensinya, kritik dibungkam, koran seenaknya ditutup, orang kalau tak mau menjadi "korban pembangunan" diancam (cap PKI terhadap lebih dari seribu orang Kedungombo di masa Orde Baru!), dan bahwa pemerintah maupun massa mayoritas tidak berhak menentukan apa yang boleh diyakini orang dan apa yang tidak.

Lha kok sekarang berani-berani lagi ada suara-suara mengumandangkan semboyan "kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen"? Mereka berani menggergaji lagi jaminan konstitusional agar kemanusiaan yang adil dan beradab bisa menjadi kenyataan! Apakah mereka mengira kita lupa kejahatan-kejahatan yang menjadi mungkin, karena "kembalinya" itu di masa Orde Baru?

Kalau kita mau setia kepada semangat Undang-Undang Dasar 1945, kita harus setia kepada yang dimaksudkan sebagai undang-undang dasar itu oleh para pendiri negara kita--dan mereka justru berharap agar undang-undang dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu dilengkapkan dan dikembangkan demi kehidupan bangsa yang bebas, adil, dan beradab. Kita jangan mau dibujuk kembali ke masa lampau. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar