Memahami
Seniman Film
Kemala Atmojo ; Pengamat
Industri Perfilman Indonesia
|
TEMPO.CO,
05 Februari 2014
Sebab, alangkah konyolnya kita, terhadap fakta
yang sering kita lihat di televisi, koran, kita tidak takut. Tapi, terhadap
fiksi, kita malah mengambil respons yang berlebihan.
Badan Perfilman Indonesia (BPI) sudah terbentuk. Suka tak suka, legitimasi badan ini cukup tinggi. Pertama, BPI memang amanat undang-undang. Kedua, proses kelahirannya dibidani oleh lebih dari 30 organisasi atau komunitas perfilman. Pembukaan musyawarah besar pembentukan BPI juga dihadiri petinggi dua kementerian sekaligus, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Proses pemilihan pengurusnya pun dilakukan secara demokratis. Kini yang ditunggu masyarakat perfilman adalah dukungan nyata dari kedua kementerian dan karya nyata para pengurusnya. Dan di antara sekian banyak tugas itu adalah meningkatkan apresiasi publik dan literasi media film melalui berbagai kegiatan. Literasi media film ini tentu tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis-estetis. Pemahaman prinsip-prinsip dasar penciptaan karya seni film juga perlu disampaikan. Hal ini penting agar semua pihak memahami apa itu seni film dan bagaimana kita menanggapinya secara proporsional. Sebab, sejarah perfilman Indonesia pernah mengalami aneka hambatan, baik berupa sensor ketat oleh lembaga resmi maupun aneka protes dari sebagian kelompok masyarakat. Sebagai contoh kecil saja, sebuah FTV yang diproduksi oleh Sinema Sejati terpaksa diganti judulnya. Judul asli film itu Matinya Seorang Penari Telanjang, yang diangkat dari cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma. Tapi Departemen Penerangan waktu itu meminta agar judulnya diganti. Kemudian Lembaga Sensor Film juga memenggal sebagian adegan film tersebut. Akhirnya, film yang disutradarai Nan Triveni Achnas itu diterbitkan dengan judul Penari saja. Padahal feature film pada dasarnya adalah sebuah karya fiksi. Apa pun ceritanya, apa pun genrenya, ia tetaplah sebuah fiksi, bukan fakta. Sebab, dalam feature film selalu ada unsur interpretasi, sudut pandang, gaya penyampaian, dramatisasi, yang bisa berbeda dengan fakta sesungguhnya. Sebab, jika semuanya sama dengan kenyataan, itu namanya film dokumentasi. Maka, melakukan sensor dan protes yang berlebihan terhadap seni film sesungguhnya justru menunjukkan ketidakdewasaan kita dalam memahami karya seni dan seniman. Seniman memang sering memaksa kita menghadapi suatu realitas yang justru kerap ditutup-tutupi. Dalam keadaan seperti itu, karya seni tak jarang bisa berperan membuka tabu-tabu kemunafikan, kebohongan, dan kepalsuan kita. Lewat karya-karyanya, kita justru dapat belajar menjadi manusia yang lebih baik dan lebih luhur. Karena itu, kita justru perlu mendukung terciptanya keadaan yang kondusif agar seniman bisa melahirkan karya-karyanya secara maksimal. Kita perlu memberi ruang kebebasan bagi para seniman untuk mewujudkan gagasan, ide-ide, kritik, perasaan, dan impian-impiannya dalam bentuk karya seni. Lebih penting lagi, pemerintah, birokrat, dan kita semua mesti mengerti cara berpikir seniman. Seniman bukanlah ilmuwan, ideolog, atau filsuf. Yang diungkapkan dalam seni adalah campuran dari macam-macam perasaan, imajinasi, khayalan, impian, dorongan, naluri, ide-ide, pendapat, yang semuanya berpusat pada nilai estetis karyanya. Seniman didorong oleh nilai keindahan, meskipun bukan keindahan dalam pengertian dangkal. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa karya seni bukanlah fakta telanjang, bukan ideologi, dan bukan filsafat yang sistematis. Maka, kita semua tidak perlu takut kepada seniman dan karyanya. Sebab, alangkah konyolnya kita, terhadap fakta yang sering kita lihat di televisi, koran, kita tidak takut. Tapi, terhadap fiksi, kita malah mengambil respons yang berlebihan. Sedikit-sedikit memprotes. Sedikit-sedikit melarang. Seni yang baik memang bisa menimbulkan kontroversi dan kesan provokatif. Sebab, biasanya seorang seniman mampu membuka dimensi yang lebih mendalam tentang realitas manusia. Seniman menghayati sedalam-dalamnya realitas dan mengungkapkan dimensi yang terpendam dari realitas itu ke dalam karyanya, entah itu realitas dunia, realitas sosial, atau realitas personal manusia. Nah, itulah salah satu hal yang perlu diupayakan oleh BPI, agar seniman dan karya-karyanya terus berkembang. Agar kita bisa membedakan mana fiksi, mana fakta. Agar kehidupan bisa terjaga…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar