Bonus
Demografi Berlanjut
Sri Moertiningsig Adioetomo ;
Guru Besar Ekonomi Kependudukan FEUI;
Ketua Program
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Sekolah Pascasarjana UI
|
KOMPAS,
01 Februaru 2014
PROYEKSI penduduk Indonesia
2010-2035 yang diresmikan Presiden 29 Januari 2014 memperlihatkan bahwa bonus
demografi berlanjut, jendela peluang melebar 2020-2035, dan angka
ketergantungan 47 per 100 pekerja.
Hal yang meleset adalah momentum
terbukanya jendela peluang (Kompas, 16
Januari 2014). Menjelaskannya tidak cukup hanya dari hasil regresi,
tetapi juga harus mendalami perubahan perilaku melahirkan dan perubahan pola
kematian. Mari kita memanusiakan angka.
Indonesia menikmati bonus
demografi sebagai dampak keberhasilan program KB dan peningkatan upaya
kesehatan dengan menurunnya angka kelahiran (TFR) dan meningkatnya usia
harapan hidup. Di sini terjadi peningkatan tajam proporsi penduduk usia
produktif. Transisi demografi ini menyumbang 30 persen keajaiban ekonomi Asia
Timur, termasuk Indonesia (Bloom dkk,
2003).
Dikaitkan dengan stabilnya
pertumbuhan ekonomi, Indonesia menghasilkan kelas menengah cukup besar
sehingga berhasil mengatasi tantangan krisis keuangan global 2008 yang antara
lain karena besarnya konsumsi domestik. Dibandingkan jumlah anak banyak masa
lalu, keluarga dengan jumlah anak dua atau tiga menikmati kehidupan yang
lebih berkualitas.
Menikmati jendela peluang
Namun, ekspektasi TFR 2.01 dan
angka ketergantungan 44 orang per 100 pekerja tahun 2020 tidak terpenuhi
(proyeksi PBB versi 2002). Proyeksi dengan simulasi jika tren penurunan
fertilitas masa lalu berlanjut tanpa memperhitungkan kondisi program KB yang
jalannya business as usual
mengakibatkan jendela peluang hanya terbuka lima tahun, 2020-2025. Dampak
diserahkannya program KB ke daerah tahun 2004 baru kelihatan di Sensus 2010,
TFR meningkat dari 2.3 menjadi 2.4. Dari Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2012, TFR menjadi 2.6 anak per wanita.
Proyeksi penduduk yang baru saja
diresmikan memperhitungkan kenaikan fertilitas dan mengingat perilaku
pasangan usia subur 15-24 tahun yang pada saat program KB gencar-gencarnya
dilaksanakan masih kecil atau belum lahir. Jadi, belum mengerti pentingnya
perencanaan keluarga. Selain itu, penurunan angka kematian bayi (AKB) juga
makin sulit dilaksanakan karena kemiskinan.
Melalui rembuk berkali-kali
antarsektor terkait, terutama masukan para pakar demografi, akhirnya
disepakati bahwa skenario terbaik TFR 2.1 dan NRR 1.0 (penduduk tumbuh
seimbang) dicapai tahun 2025 dan jendela peluang melebar menjadi 2020-2035
dengan angka ketergantungan stabil pada 47 per 100 pekerja. Agak konservatif
memang.
Bonus akan berakhir?
Perkiraan berakhirnya bonus
demografi atau menutupnya jendela peluang tahun 2035 ditandai dengan
meningkatnya penduduk lansia dan angka ketergantungan. Para ahli ekonomi
kependudukan membuktikan bahwa meningkatnya penduduk lansia lebih disebabkan
oleh kecepatan penurunan fertilitas ketimbang peningkatan usia harapan hidup
(HelpAge Internasional, 2013).
Karena itu, banyak usulan: kalau
begitu diundurkan saja peningkatan penduduk lansia agar beban keuangan negara
untuk perlindungan sosial lansia terkurangi. Namun, ini berarti fertilitas
dibiarkan meningkat yang tentunya tak dikehendaki karena memicu kemiskinan (Birdsall and Sinding, 2001). Lagi
pula, naiknya fertilitas akan sangat membebani keuangan negara (meningkatkan
investasi tumbuh kembang anak, meskipun penting, selain pemenuhan kebutuhan
lainnya yang tak produktif).
Upaya pencapaian penduduk tumbuh
seimbang, yaitu menyeimbangkan proporsi anak, proporsi usia kerja, dan
proporsi lansia—serta mempertimbangkan dampaknya pada kemampuan keuangan
negara—perlu kebijakan menyeluruh yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Sarannya adalah tetap meneruskan upaya penurunan fertilitas dibarengi
sosialisasi kaum muda dan fasilitasi pemerintah agar kelak tercipta lansia
yang aktif, berproduksi, dan mampu membayar iuran jaminan sosial nasional.
Jumlah penerima bayaran iuran (PBI) pun akan berkurang.
Harus dimanfaatkan
Perubahan struktur umur penduduk
tak otomatis memicu pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi dapat terus
dinikmati melalui harmonisasi kebijakan mengacu satu tujuan: menurunnya laju
pertumbuhan penduduk dan meningkatnya produktivitas pekerja Indonesia. Ini
dicapai melalui revitalisasi program KB, menyiapkan pekerja sehat dan
produktif melalui kecukupan pangan dan gizi, serta perawatan penyehatan
preventif sejak dini.
Saat bersamaan dibarengi upaya
peningkatan pendidikan berkualitas karena keterampilan kognitif terbukti
lebih berperan dalam memicu pertumbuhan ekonomi (Hanushek dan Woesmann,
2008). Penting juga menggalakkan dan memperluas pelatihan keterampilan masa
transisi dari sekolah menuju dunia kerja dan mengurangi skill
gap dan mismatch di pasar kerja. Agar pekerja ini terserap di
dunia kerja, kebijakan ekonomi dan penciptaan iklim investasi yang kondusif
terhadap perluasan kesempatan kerja sangat diperlukan.
Transformasi struktural yang
berfokus pada penciptaan kesempatan kerja akan menyerap tenaga kerja yang
makin berkompeten. Hal ini memerlukan tata pemerintahan yang baik dan benar.
Cita-cita ini hendaknya jadi desain akbar pembangunan berwawasan kependudukan
yang pada akhirnya Indonesia akan terhindar dari jebakan kelas menengah yang
kini menjadi isu mengemuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar