|
Setiap tanggal 16 Oktober,
masyarakat memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day/WFD). Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)
menetapkan tema internasional peringatan WFD ke-33 tahun ini "Sustainable Food Systems for Food
Security and Nutrition".
Adapun tema nasional yang ditetapkan pemerintah adalah "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Berbicara tentang pangan sama berbicara hidup atau mati suatu bangsa. Oleh karena itu, kemandirian dan kedaulatan pangan memiliki nilai strategis bagi kejayaan suatu bangsa. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa negara yang ketahanan pangannya rapuh akan gawat pula berbagai sendi kehidupan lainnya, seperti sosial, ekonomi, politik, serta pemerintahan.
Lebih dari itu, menurut FAO, negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak dapat membuat rakyatnya sejahtera jika kebutuhan pangan mereka selalu diimpor. Kebiasaan panen di pelabuhan (baca: impor) sangat tidak sesuai dengan semangat kedaulatan pangan dan tunduk pada keputusan politik negara lain. Apalagi dalam situasi dunia yang tidak menentu seperti sekarang, semua negara cenderung mengutamakan domestic security.
Kebiasaan impor pangan yang menafi kan kedaulatan pangan dalam negeri akan mengakibatkan kebergantungan pangan. Dalam intensitas yang tinggi, kebiasaan ini dapat menyeret Indonesia lebih dalam jebakan pangan (food trap). Somalia merupakan salah satu contoh kasus paling anyar. Negara di tanduk Afrika itu kini dirundung bencana kelaparan akut karena terlalu jauh masuk jebakan pangan.
Defisit
Selama ini, dijumpai banyak ironi negara agraris besar bernama Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan domestik. Sumber daya alam melimpah, tetapi defi sit neraca perdagangan komoditas pertanian sangat besar. Ini menjadi sangat menyedihkan.
Betapa tidak, hanya kurang dari enam tahun meningkat 200 kali lipat. Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia menyebutkan bahwa pada 2006 mengalami defi sit 28,03 juta dollar AS. Angka nominal defisit neraca perdagangan tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dollar AS pada 2011.
Kerawanan pangan seperti ini tentu sangat gawat. Apalagi saat ini Indonesia setidaknya menghadapi sejumlah tantangan pangan, di antaranya pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk kini sekitar 237 juta. Tahun 2015 diprediksi menjadi 247 juta.
Konsekuensi pertambahan jumlah penduduk yang semakin berlipat ini membuat kebutuhan pangan juga makin membesar. Fenomena pemanasan global (global warming) yang memicu perubahan iklim telah berdampak pada banyak sistem fisik dan biologis alam yang ujung-ujungnya akan menyebabkan instabilitas pasokan bahan pangan. Secara umum, kondisi itu juga akan berpengaruh signifikan pada penurunan produksi pangan. Ketatnya kompetisi penggunaan lahan dan air ditandai dengan masifnya konversi tanah subur pertanian.
Hingga 2004 , telah diajukan permohonan alih fungsi lahan seluas 3 juta hektare. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting yang berdampak permanen pada pangan.
Mulai saat ini, Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global sehingga geliat perdagangan komoditas pangan dunia akan langsung berimbas pada pasar domestik. Gonjang-ganjing harga komoditas kedelai di pasar domestik beberapa waktu terakhir menjadi contoh paling aktual. Kegagalan produksi kedelai di Amerika akibat bencana kekeringan serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat harga kedelai dalam negeri meroket.
Upaya
Berbagai upaya harus segera ditempuh, antara lain dengan membatasi angka kelahiran melalui revitalisasi program keluarga berencana. Saat ini, angka fertilitas nasional 2,6 persen dan pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5 persen. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Terkait dengan fenomena perubahan iklim, perlu disusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulangi semua sektor kehidupan, mulai dari sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah. Inovasi teknologi pertanian sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi pangan. Perlu diinovasikan varietas benih yang, selain berproduksi tinggi, mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal, utamanya kekeringan, genangan tinggi, dan salinitas tinggi.
Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian memanfaatkan teknologi transgenik "genetically modified organism" untuk mendapat benih unggul yang sangat berpengaruh pada peningkatan produksi. Upaya berikutnya mencegah konversi lahan subur seminimal mungkin. Antara lain dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui harga pembelian pemerintah yang memadai terhadap komoditas yang dihasilkan.
Sebagai contoh, untuk menggairahkan petani menanam kedelai, pemerintah harus konsisten menjaga harga pembelian pemerintah kedelai dari petani sebesar 7.000 rupiah per kilogram dan menjual kepada perajin sebesar 7.450 per kilogram. Pemerintah juga harus membantu legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifi kasi massal guna kepastian hukum atas aset mereka. Hernando de Soto (2001) menegaskan pentingnya aset bagi pengentasan kemiskinan. Kelemahan negara-negara berkembang, hak atas pemilikan sumber daya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga menjadi "aset mati" yang tidak dapat dikonversi menjadi modal.
Di negara-negara maju, aset dapat dikonversi menjadi modal untuk meningkatkan produktivitas karena kepemilikannya terjamin. Lebih dari itu, program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu tidak membawa hasil optimal dan hanya menjadi utopia jika tidak diikuti dengan reformasi agraria secara struktural persoalan pertanahan. Pemerintah juga harus menjamin perbaikan sarana infrastruktur dan penyediaan sarana produksi yang memadai, termasuk pembiayaan usaha petani.
Sungguh ironis, meski menjadi pilar pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian sangat jauh tertinggal dari sektor ekonomi lainnya. Data Bank Indonesia per April 2013, total portofolio kredit bank umum sektor pertanian secara luas hanya 5,2 persen dari seluruh penyaluran kredit. Untuk melindungi pasar domestik, perlu segera diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Salah satu penyebab gonjang-ganjing harga beberapa komoditas pertanian belakangan ini adalah tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatile saat terjadi turbulensi harga di pasar global. ●
Adapun tema nasional yang ditetapkan pemerintah adalah "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Berbicara tentang pangan sama berbicara hidup atau mati suatu bangsa. Oleh karena itu, kemandirian dan kedaulatan pangan memiliki nilai strategis bagi kejayaan suatu bangsa. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa negara yang ketahanan pangannya rapuh akan gawat pula berbagai sendi kehidupan lainnya, seperti sosial, ekonomi, politik, serta pemerintahan.
Lebih dari itu, menurut FAO, negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak dapat membuat rakyatnya sejahtera jika kebutuhan pangan mereka selalu diimpor. Kebiasaan panen di pelabuhan (baca: impor) sangat tidak sesuai dengan semangat kedaulatan pangan dan tunduk pada keputusan politik negara lain. Apalagi dalam situasi dunia yang tidak menentu seperti sekarang, semua negara cenderung mengutamakan domestic security.
Kebiasaan impor pangan yang menafi kan kedaulatan pangan dalam negeri akan mengakibatkan kebergantungan pangan. Dalam intensitas yang tinggi, kebiasaan ini dapat menyeret Indonesia lebih dalam jebakan pangan (food trap). Somalia merupakan salah satu contoh kasus paling anyar. Negara di tanduk Afrika itu kini dirundung bencana kelaparan akut karena terlalu jauh masuk jebakan pangan.
Defisit
Selama ini, dijumpai banyak ironi negara agraris besar bernama Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan domestik. Sumber daya alam melimpah, tetapi defi sit neraca perdagangan komoditas pertanian sangat besar. Ini menjadi sangat menyedihkan.
Betapa tidak, hanya kurang dari enam tahun meningkat 200 kali lipat. Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia menyebutkan bahwa pada 2006 mengalami defi sit 28,03 juta dollar AS. Angka nominal defisit neraca perdagangan tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dollar AS pada 2011.
Kerawanan pangan seperti ini tentu sangat gawat. Apalagi saat ini Indonesia setidaknya menghadapi sejumlah tantangan pangan, di antaranya pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk kini sekitar 237 juta. Tahun 2015 diprediksi menjadi 247 juta.
Konsekuensi pertambahan jumlah penduduk yang semakin berlipat ini membuat kebutuhan pangan juga makin membesar. Fenomena pemanasan global (global warming) yang memicu perubahan iklim telah berdampak pada banyak sistem fisik dan biologis alam yang ujung-ujungnya akan menyebabkan instabilitas pasokan bahan pangan. Secara umum, kondisi itu juga akan berpengaruh signifikan pada penurunan produksi pangan. Ketatnya kompetisi penggunaan lahan dan air ditandai dengan masifnya konversi tanah subur pertanian.
Hingga 2004 , telah diajukan permohonan alih fungsi lahan seluas 3 juta hektare. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting yang berdampak permanen pada pangan.
Mulai saat ini, Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global sehingga geliat perdagangan komoditas pangan dunia akan langsung berimbas pada pasar domestik. Gonjang-ganjing harga komoditas kedelai di pasar domestik beberapa waktu terakhir menjadi contoh paling aktual. Kegagalan produksi kedelai di Amerika akibat bencana kekeringan serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat harga kedelai dalam negeri meroket.
Upaya
Berbagai upaya harus segera ditempuh, antara lain dengan membatasi angka kelahiran melalui revitalisasi program keluarga berencana. Saat ini, angka fertilitas nasional 2,6 persen dan pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5 persen. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Terkait dengan fenomena perubahan iklim, perlu disusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulangi semua sektor kehidupan, mulai dari sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah. Inovasi teknologi pertanian sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi pangan. Perlu diinovasikan varietas benih yang, selain berproduksi tinggi, mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal, utamanya kekeringan, genangan tinggi, dan salinitas tinggi.
Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian memanfaatkan teknologi transgenik "genetically modified organism" untuk mendapat benih unggul yang sangat berpengaruh pada peningkatan produksi. Upaya berikutnya mencegah konversi lahan subur seminimal mungkin. Antara lain dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui harga pembelian pemerintah yang memadai terhadap komoditas yang dihasilkan.
Sebagai contoh, untuk menggairahkan petani menanam kedelai, pemerintah harus konsisten menjaga harga pembelian pemerintah kedelai dari petani sebesar 7.000 rupiah per kilogram dan menjual kepada perajin sebesar 7.450 per kilogram. Pemerintah juga harus membantu legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifi kasi massal guna kepastian hukum atas aset mereka. Hernando de Soto (2001) menegaskan pentingnya aset bagi pengentasan kemiskinan. Kelemahan negara-negara berkembang, hak atas pemilikan sumber daya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga menjadi "aset mati" yang tidak dapat dikonversi menjadi modal.
Di negara-negara maju, aset dapat dikonversi menjadi modal untuk meningkatkan produktivitas karena kepemilikannya terjamin. Lebih dari itu, program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu tidak membawa hasil optimal dan hanya menjadi utopia jika tidak diikuti dengan reformasi agraria secara struktural persoalan pertanahan. Pemerintah juga harus menjamin perbaikan sarana infrastruktur dan penyediaan sarana produksi yang memadai, termasuk pembiayaan usaha petani.
Sungguh ironis, meski menjadi pilar pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian sangat jauh tertinggal dari sektor ekonomi lainnya. Data Bank Indonesia per April 2013, total portofolio kredit bank umum sektor pertanian secara luas hanya 5,2 persen dari seluruh penyaluran kredit. Untuk melindungi pasar domestik, perlu segera diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Salah satu penyebab gonjang-ganjing harga beberapa komoditas pertanian belakangan ini adalah tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatile saat terjadi turbulensi harga di pasar global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar