Jumat, 20 September 2013

Menyalalah Nurani Dunia untuk Suriah

Menyalalah Nurani Dunia untuk Suriah
Novriantoni Kahar ;  Dosen Universitas Paramadina, Pengamat Timur Tengah
TEMPO.CO, 20 September 2013


"Ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang hanya lautan, di hadapan kalian hanya lawan. Demi Tuhan, kalian tak punya pilihan selain kesetiakawanan dan ketahanan diri. Dan ketahuilah, di Semenanjung ini, kalian hanya kumpulan yatim di perjamuan orang-orang tanpa empati. Musuh telah siap menyambut kalian dengan bala tentara dan persenjataan. Perbekalan mereka sungguh berlimpah. Adapun kalian, tiada beban selain pedang, dan tiada pula pangan selain yang berhasil kalian rampas dari musuh-musuh kalian…."

Penggalan orasi Thariq bin Ziyad (670-720), panglima perang legendaris Islam dalam Penaklukan Andalusia sekitar tahun 711, itu saya kutip untuk menggambarkan bagaimana kini dunia menyikapi Suriah. Ya, kini hampir semua pemimpin dunia memilih pendekatan Bin Ziyad dalam menghadapi krisis Suriah. Dan, selama dua tahun lebih perang berkecamuk di Suriah, seluruh pihak yang bersengketa tak jua menemukan jalan ketiga. Tiada suara lebih nyaring dari genderang perang berdarah-darah. 

Persoalan bermula dari mimpi rakyat Suriah untuk mencicipi Musim Semi kebebasan sebagaimana di negara-negara tetangga. Namun, rupanya, Musim Semi tetaplah unik di tiap negara dan ia tidak datang dengan hawa yang sama. Di Tunisia, Musim Semi cukup berbunga setelah Presiden Ben Ali ditampung Arab Saudi. Di Yaman, dunia-terutama Saudi-berjasa penting dalam mengatasi kebuntuan politik menjelang lengsernya Presiden Ali Abdullah Saleh. Di Mesir, kekuasaan Husni Mubarak diambil alih Dewan Tinggi Militer, dan kita tahu kisahnya kini. Di Libya, Muammar Qadhafi tumbang lewat aksi bersenjata NATO dan dunia dengan mudah memakluminya.

Tapi di Suriah, Musim Semi tidak mudah dan mengalami kebuntuan yang nyata. Dunia seolah tak berdaya mencarikan pemecahan masalah. Ada apa? Jelas kini, Presiden Bashar al-Assad semakin paham betapa lemah para pemimpin negara jirannya dalam menanggapi aspirasi perubahan. Mereka seakan tak punya kawan yang rela membela dalam senang dan susah. Assad bisa saja disetarakan Qadhafi dalam menyikapi momen ini sebagai pertarungan hidup-mati. Bedanya, Assad lebih mampu beraliansi sekalipun harus berperang sebagai proxy bagi kekuatan-kekuatan besar di belakangnya.

Iran sampai kini berada di balik Suriah karena khawatir, bila sekutunya itu tumbang, berarti jalan bagi pelemahan posisinya di kawasan kian terbuka. Sokongan Saudi terhadap oposisi Suriah lebih merefleksikan kekhawatiran regional karena terkepungnya negara Wahabi itu oleh negara-negara berbasis Syiah. Bayangkan saja, di timur Saudi, ada konsentrasi Syiah yang sedang marah. Di selatan, terdapat Yaman selatan, yang juga berpopulasi mayoritas Syiah. Di Barat, ada pergolakan Syiah Bahrain dan musuh bebuyutan Saudi, Iran sendiri. Irak pasca-Saddam di utara, kini didominasi Syiah; sementara Libanon dan Suriah pun kuat dipengaruhi Negeri Para Mullah.

Kekuatan-kekuatan global pun terpilah dalam permusuhan geopolitik antara Saudi dan Iran ini. Dalam kasus Suriah, yang terjadi bukan lagi pertarungan rezim Assad melawan aspirasi kebebasan yang didambakan rakyatnya. Pertarungan geopolitik dan buntunya diplomasi di antara kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam persengketaan ini membuat dunia seakan hanya punya opsi Thariq bin Ziyad di kantong mereka. Dampaknya, tatkala gajah-gajah belum rampung bertarung, rakyat Suriah hanyalah para pelanduk yang terjepit dalam sengit pertarungan itu.

Mana jalan ketiga?

Menyaksikan pertarungan global di Suriah, saya tak melihat kuatnya inisiatif jalan ketiga. Padahal Suriah kini bukan lagi sedang bergeliat dalam pertarungan menuju demokrasi. Dan rakyat Suriah kini telah seperti "kumpulan yatim dalam perjamuan orang-orang tanpa empati". Anak-anak yatim Suriah itu kini berjibaku dalam memproteksi diri dengan cara melarikan diri (displacement) dari konflik, dan hanya itulah cara bertahan yang kini diterapkan oleh tak kurang dari sepertiga mereka (sekitar 6 juta orang).

Jika obyektif melihat krisis Suriah, rakyat Suriah kini sesungguhnya menunggu jalan ketiga. Sebab, andai saja Assad tumbang, mereka pun terancam seperti keluar dari mulut singa untuk masuk ke moncong buaya. Laporan-laporan internasional kini menyebutkan, kubu oposisi yang berupaya menjungkalkan Assad pun didominasi kaum mujahid ekstrem bentukan Saudi, Turki, dan negara-negara Teluk. Ungkapan filsuf Slovenia, Slavoj Žižek, benar belaka bahwa kasus Suriah adalah pertarungan yang lancung (pseudo-struggle), dan tak sulit menebak arah angin Suriah pasca-Assad: Afganistan era Taliban! (The Guardian, 6 September 2013). 

Inilah yang menjelaskan mengapa Amerika dan sekutunya begitu enggan terlibat langsung dalam intervensi bersenjata. Penggunaan senjata kimia sebagai garis merah (red lines) yang dipatok Presiden Barack Obama untuk terlibat dalam opsi bersenjata di Suriah bisa dibaca sebagai bentuk keengganan Obama kembali melakukan kesalahan fatal pendahulunya dalam kasus Irak. Namun kini, lain Washington lain pula niat Riyadh dan Ankara. Kini, Kerajaan Saudi dan Turki adalah dua negara yang paling bersemangat mengipas-ngipasi Amerika untuk turun kancah langsung di Suriah.

Aliansi tak suci

Namun kini, dunia pun terfokus pada proposal Rusia, yang dituding menunda ajal rezim Assad, yang dikonfirmasi PBB telah menggunakan senjata kimia dalam sengketa. Tapi bukankah konflik ini telah dua tahun lebih? Wajarlah bila sinisme muncul: Assad hanya haram menggunakan senjata kimia, sementara senjata jenis lainnya seolah absah digunakan Assad ataupun para mujahid penentangnya. Yang kini paling miris adalah kasus Suriah, di mana kewajiban moral dunia untuk melindungi warga sipil dalam situasi konflik dan perang (responsibility to protect) atau R2P yang disahkan PBB pada 2005 kini seakan alpa dari perdebatan para pemimpin dunia (Elizabeth Ferris, Brooking.Edu, 10 September 2013).

Dalam kasus Suriah kini, dunia perlu opsi ketiga di luar "lautan" dan "musuh" yang ditawarkan ilustrasi Thariq bin Ziyad tadi. Dunia perlu ketok palu, Suriah adalah kasus Musim Semi yang gagal tumbuh dan bersemi. Kini tiba saatnya menjamin seluruh tumpah darah Suriah untuk kembali ke masa transisi lewat perundingan semua pihak yang bertali-temali dengan sengketa berdarah ini. Inisiatif tersebut hanya mungkin ditempuh dengan melibatkan Iran dan Rusia sebagai patron Assad, Saudi dan Turki sebagai patron mujahid, serta Amerika dan Eropa sebagai "pihak penengah". 


Jika inisiatif ini tidak terealisasi, berarti telah terjadi aliansi tak suci di antara kekuatan-kekuatan jahat yang menginginkan perang lebih dahsyat lagi. Aliansi tak suci itu melibatkan Saudi, Turki, lobi Israel (AIPAC), yang kini giat mendorong Obama untuk melancarkan aksi militer ke Suriah, juga Iran dan Rusia yang keras kepala. Jika aliansi itu yang menang, dunia sungguh telah disuguhi tontonan tentang "perjamuan orang-orang tanpa empati" di tengah lapar sengsara "anak-anak Yatim Suriah" yang tak jelas masa depannya. Rasanya, Indonesia pun punya kewajiban moral untuk ikut mendorong proses ini agar nurani dunia tetap menyala.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar