|
ADA
pertanyaan menarik menyangkut fakta bahwa anak laki-laki lebih banyak
memperoleh pendidikan tinimbang perempuan, yaitu mengapa dunia ini dipenuhi
sikap diskriminatif di antara sesama? Mengapa dunia sering kali melihat
perempuan dalam posisi yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga pandangan
tentangnya lebih banyak miring dan negatif? Apakah karena secara azali
perempuan diciptakan setelah pria sehingga kedudukannya harus selalu nomor dua
setelah laki-laki?
Pertanyaan
tendensius soal isu gender itu selalu menarik untuk dikaitkan dengan kondisi
pendidikan suatu bangsa. Padahal, jika dilihat dari peran dan fungsinya, baik
laki-laki maupun perempuan berada pada posisi yang saling melengkapi. Namun,
mengapa proses pendidikan seperti kehilangan kreativitas dalam menjelaskan
posisi perempuan dalam kehidupan sesungguhnya? Bahkan hingga abad modern
seperti sekarang ini, kasus penihilan peran perempuan terus berlanjut, bahkan
memakan banyak korban? Kasus Malala Yousefzai di
Pakistan
yang ditembak kelompok Taliban hanya karena membela hak-hak pendidikan
perempuan ialah salah satu indikator bahwa pandangan tentang perempuan sangat
negatif.
Meskipun sejak 2000, PBB, Bank
Dunia, dan Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD) dan 191 negara menyepakati target
peningkatan peran dan partisipasi perempuan dalam pendidikan, pandangan tentang
posisi perempuan belum berubah secara signifikan. Untuk Indonesia, momentum
penyempurnaan kurikulum yang lebih menitikberatkan aspek sikap (attitude) daripada keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) harus jelas mengagendakan
pandangan yang seimbang tentang posisi perempuan. Melalui pendekatan tematik
dan integratif, guru dan siswa tidak saja dapat secara terbuka membuat desain
pembelajaran yang pro pada pandangan positif tentang
perempuan,
tetapi juga dapat memasukkan isu gender dalam skema hidden curriculum yang
terserak dalam kegiatan ekstra kurikuler dan penerapan budaya sekolah yang
menghargai peran perempuan.
Ada argumen menarik mengapa isu
gender harus dan bisa masuk konstruksi kurikulum, yaitu kenyataan bahwa secara
sosial isu gender dikonstruksikan berdasarkan jenis kelamin, bukan pada
konstruksi peran dan tanggung jawabnya. Itulah makanya hingga saat ini sangat
sulit sekali untuk mengajarkan perbedaan jenis kelamin dari perspektif peran dan
tanggung jawab, tetapi selalu melihat perempuan sebagai entitas unik yang
selalu bertentangan secara biologis dari laki-laki. Pada tahap ini peran
pendidikan dan persepsi guru kita di sekolah tentu harus diubah dengan melihat
isu gender itu secara sosial, bukan melulu biologis.
Francis (2000, hlm 15) memberikan
argumen menarik soal pandangan ini. Baginya, dunia pendidikan harus melihat
lebih banyak persoalan gender dari perspektif sosial dan psikologis tinimbang
biologis karena, `there is one (notional)
masculinity and one (notional) femininity constructed as oppositional to one
another, and consequently shifting, but flexible, and incorporating
contradictions'. Walhasil, perbedaan pandangan yang mengemuka lebih banyak
pada aspek biologis (laki dan perempuan) sehingga hegemoni maskulin terus
berlangsung terhadap maskulinitas. Itu juga menandakan basis pandangan dan
argumen biologis dari gender sangat bersifat individual dan tak melihat peran,
fungsi dan tanggung jawab secara sosial dan kejiwaan.
Pendidikan, dalam diaspora yang
sangat luas, memang memberi banyak kesempatan dan peluang bagi kita untuk
merekonstruksi kembali kesalahan pandangan tentang gender. Kita bisa melihat
dan belajar dari pengalaman Greg Mortenson (Stones
into School: 2010) yang kurang lebih selama 17 tahun bekerja di separuh
provinsi yang ada di Afghanistan dan beberapa di Pakistan, dan saat ini Greg
dengan lembaganya yang bernama Central
Asia Institute (CAI) berhasil membangun sebanyak 131 sekolah yang mendidik
lebih kurang 58 ribu siswa tingkat dasar dan menengah, kebanyakan perempuan. Greg
menangani kekerasan dengan memberi anak-anak sebanyak mungkin buku, guru, dan
sekolah.
Keyakinan Greg didasarkan pada riset panjangnya mengapa pendidikan,
terutama untuk anak perempuan, sangat dibutuhkan masyarakat Afghanistan yang
selalu dianggap fundamentalis.
Greg menemukan bukti bahwa seorang
perempuan yang terdidik mampu menahan anak paling menderita akibat perang
karena konsekuensi sosial dan psikologis akibat konflik lebih banyak datang dan
menghampiri mereka. Pengalaman masa kecilnya di Tanzania juga menambah
keyakinan Greg bahwa pendidikan untuk anak-anak perempuan jauh lebih penting
karena mendidik anak perempuan sama dengan mendidik sebuah komunitas.
Anak-anak yang kurang beruntung
baik oleh karena perang, kemiskinan, dan bentuk keterpaksaan lainnya memerlukan
penanganan dari orang-orang yang memiliki hati nurani dalam mendidik. Karena
itu, sekolah harus mampu menumbuhkan apa yang disebut Charles W Eliot, Presiden
Harvard University 1880-an, sebagai mental
power, yaitu suatu kemampuan untuk berpikir, bernalar, melakukan observasi,
dan mendeskripsikan sesuatu hal secara logis rasional. Dalam konteks ini,
memperluas basis pandangan tentang gender secara sosial dan psikologis
merupakan salah satu tanggung jawab kurikulum 2013 yang sarat mengagendakan
perspektif sikap dan karakter anak.
Kunci utama dalam membangun sebuah
kesadaran baru bagi dunia pendidikan ialah rasa saling percaya dan ikhlas,
disertai rasionalitas yang sehat dalam memandang perbedaan dan keragaman,
termasuk masalah gender. Dalam konteks pemerataan pendidikan bagi seluruh
lapisan masyarakat, dunia pendidikan Indonesia memang belumlah merata, terutama
dalam melihat peran dan fungsi wanita secara sosial dan kejiwaan. Masih banyak
lubang menganga dan fakta yang menyakitkan tentang realitas pendidikan kita,
terutama pandangan yang meremehkan peran perempuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar