Senin, 09 September 2013

Bias Gender dan Pemihakan Kurikulum Kita

Bias Gender dan Pemihakan Kurikulum Kita
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 09 September 2013


ADA pertanyaan menarik menyangkut fakta bahwa anak laki-laki lebih banyak memperoleh pendidikan tinimbang perempuan, yaitu mengapa dunia ini dipenuhi sikap diskriminatif di antara sesama? Mengapa dunia sering kali melihat perempuan dalam posisi yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga pandangan tentangnya lebih banyak miring dan negatif? Apakah karena secara azali perempuan diciptakan setelah pria sehingga kedudukannya harus selalu nomor dua setelah laki-laki?

Pertanyaan tendensius soal isu gender itu selalu menarik untuk dikaitkan dengan kondisi pendidikan suatu bangsa. Padahal, jika dilihat dari peran dan fungsinya, baik laki-laki maupun perempuan berada pada posisi yang saling melengkapi. Namun, mengapa proses pendidikan seperti kehilangan kreativitas dalam menjelaskan posisi perempuan dalam kehidupan sesungguhnya? Bahkan hingga abad modern seperti sekarang ini, kasus penihilan peran perempuan terus berlanjut, bahkan memakan banyak korban? Kasus Malala Yousefzai di

Pakistan yang ditembak kelompok Taliban hanya karena membela hak-hak pendidikan perempuan ialah salah satu indikator bahwa pandangan tentang perempuan sangat negatif.

Meskipun sejak 2000, PBB, Bank Dunia, dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan 191 negara menyepakati target peningkatan peran dan partisipasi perempuan dalam pendidikan, pandangan tentang posisi perempuan belum berubah secara signifikan. Untuk Indonesia, momentum penyempurnaan kurikulum yang lebih menitikberatkan aspek sikap (attitude) daripada keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) harus jelas mengagendakan pandangan yang seimbang tentang posisi perempuan. Melalui pendekatan tematik dan integratif, guru dan siswa tidak saja dapat secara terbuka membuat desain pembelajaran yang pro pada pandangan positif tentang
perempuan, tetapi juga dapat memasukkan isu gender dalam skema hidden curriculum yang terserak dalam kegiatan ekstra kurikuler dan penerapan budaya sekolah yang menghargai peran perempuan.

Ada argumen menarik mengapa isu gender harus dan bisa masuk konstruksi kurikulum, yaitu kenyataan bahwa secara sosial isu gender dikonstruksikan berdasarkan jenis kelamin, bukan pada konstruksi peran dan tanggung jawabnya. Itulah makanya hingga saat ini sangat sulit sekali untuk mengajarkan perbedaan jenis kelamin dari perspektif peran dan tanggung jawab, tetapi selalu melihat perempuan sebagai entitas unik yang selalu bertentangan secara biologis dari laki-laki. Pada tahap ini peran pendidikan dan persepsi guru kita di sekolah tentu harus diubah dengan melihat isu gender itu secara sosial, bukan melulu biologis.

Francis (2000, hlm 15) memberikan argumen menarik soal pandangan ini. Baginya, dunia pendidikan harus melihat lebih banyak persoalan gender dari perspektif sosial dan psikologis tinimbang biologis karena, `there is one (notional) masculinity and one (notional) femininity constructed as oppositional to one another, and consequently shifting, but flexible, and incorporating contradictions'. Walhasil, perbedaan pandangan yang mengemuka lebih banyak pada aspek biologis (laki dan perempuan) sehingga hegemoni maskulin terus berlangsung terhadap maskulinitas. Itu juga menandakan basis pandangan dan argumen biologis dari gender sangat bersifat individual dan tak melihat peran, fungsi dan tanggung jawab secara sosial dan kejiwaan.

Pendidikan, dalam diaspora yang sangat luas, memang memberi banyak kesempatan dan peluang bagi kita untuk merekonstruksi kembali kesalahan pandangan tentang gender. Kita bisa melihat dan belajar dari pengalaman Greg Mortenson (Stones into School: 2010) yang kurang lebih selama 17 tahun bekerja di separuh provinsi yang ada di Afghanistan dan beberapa di Pakistan, dan saat ini Greg dengan lembaganya yang bernama Central Asia Institute (CAI) berhasil membangun sebanyak 131 sekolah yang mendidik lebih kurang 58 ribu siswa tingkat dasar dan menengah, kebanyakan perempuan. Greg menangani kekerasan dengan memberi anak-anak sebanyak mungkin buku, guru, dan sekolah. 

Keyakinan Greg didasarkan pada riset panjangnya mengapa pendidikan, terutama untuk anak perempuan, sangat dibutuhkan masyarakat Afghanistan yang selalu dianggap fundamentalis.
Greg menemukan bukti bahwa seorang perempuan yang terdidik mampu menahan anak paling menderita akibat perang karena konsekuensi sosial dan psikologis akibat konflik lebih banyak datang dan menghampiri mereka. Pengalaman masa kecilnya di Tanzania juga menambah keyakinan Greg bahwa pendidikan untuk anak-anak perempuan jauh lebih penting karena mendidik anak perempuan sama dengan mendidik sebuah komunitas.

Anak-anak yang kurang beruntung baik oleh karena perang, kemiskinan, dan bentuk keterpaksaan lainnya memerlukan penanganan dari orang-orang yang memiliki hati nurani dalam mendidik. Karena itu, sekolah harus mampu menumbuhkan apa yang disebut Charles W Eliot, Presiden Harvard University 1880-an, sebagai mental power, yaitu suatu kemampuan untuk berpikir, bernalar, melakukan observasi, dan mendeskripsikan sesuatu hal secara logis rasional. Dalam konteks ini, memperluas basis pandangan tentang gender secara sosial dan psikologis merupakan salah satu tanggung jawab kurikulum 2013 yang sarat mengagendakan perspektif sikap dan karakter anak.


Kunci utama dalam membangun sebuah kesadaran baru bagi dunia pendidikan ialah rasa saling percaya dan ikhlas, disertai rasionalitas yang sehat dalam memandang perbedaan dan keragaman, termasuk masalah gender. Dalam konteks pemerataan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, dunia pendidikan Indonesia memang belumlah merata, terutama dalam melihat peran dan fungsi wanita secara sosial dan kejiwaan. Masih banyak lubang menganga dan fakta yang menyakitkan tentang realitas pendidikan kita, terutama pandangan yang meremehkan peran perempuan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar