Selasa, 22 Januari 2013

Ijtihad RSBI


Ijtihad RSBI
Sukemi ;  Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
SINDO, 22 Januari 2013



Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 8 Januari 2013 telah mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Koalisi Pendidikan ke MK. 

Putusan MK itu menghapus dasar hukum sekolah negeri berlabel internasional (baca: Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/RSBI). Dasar hukum yang terdapat dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 50 ayat 3 itu lengkapnya berbunyi: Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. 

Dasar hukum itu pulalah yang kemudian melahirkan Permendiknas Nomor 78/2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Bagi pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi dan menghormati putusan MK tersebut, sebagai lembaga yang memang bertugas melakukan judicial review terhadap undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UU Dasar 1945. Itu sebabnya, Mendikbud Mohammad Nuh dalam kesempatan pertama menanggapi putusan itu menyatakan, pihaknya akan patuh dan menghormati apa yang telah diputuskan oleh MK. 

Tentu dalam perjalanannya hormat dan kepatuhan dalam menjalankan keputusan itu harus dipilah dan dipilih. Ini karena persoalan pendidikan, memang bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan atau mematikan sakelar listrik on-off. Itu sebabnya, MK pun sepakat jika keputusan berkait dengan penghapusan RSBI dilakukan secara bertahap. Dalam ungkapan lugas, Mendikbud menyatakan, RSBI tetap berjalan hingga berakhirnya semester ini. Apalagi dalam kalimat lain dinyatakan, RSBI bukan ideologi terlarang, yang harus sertamerta dienyahkan. 

Tentu apa yang disampaikan Mendikbud bukan dalam kapasitas pembangkangan, sebagaimana disampaikan segelintir orang. Tapi lebih pada upaya memikirkan keberlangsungan sebuah proses pendidikan yang memang tengah berjalan. Apalagi diyakini, RSBI adalah sebuah kebijakan, dia tidak hadir dan berdiri sendiri. Sehingga Pemerintah harus mencarikan solusi terbaik, tidak sekadar menutup. 

Sebuah Cita-Cita 

Tentu tulisan ini tidak hendak melakukan pembelaan atau menyebabkan dibatalkannya putusan MK tersebut, tapi lebih pada ijtihad tentang RSBI. Berangkatnya dari pemikiran sederhana, bahwa orang boleh memberi penafsiran terhadap lahirnya sebuah undang-undang, sama seperti ketika ulama atau kiai memberi penafsiran terhadap sebuah firman Allah SWT. 

Bisa jadi antara ulama atau kiai satu dengan lainnya berbeda dalam memberi pemahaman. Dengan menggunakan cara pandang itulah harus pula dipahami bahwa lahirnya UU Nomor 20/2003 yang di dalamnya memuat sebuah cita-cita luhur agar bangsa ini memiliki lembaga pendidikan bertaraf internasional, ditampung dalam Pasal 50 ayat 3. Dalam perjalanannya, karena memerlukan proses dan tidak bisa sebuah keinginan luhur itu dicapai dalam waktu singkat, maka dilakukanlah rintisan dalam bentuk RSBI. 

Dapat dipahami terhadap keinginan itu, karena dalam suasana awal-awal reformasi, bangsa ini berada di dalam keterpurukan yang sangat, akibat dampak krisis global dan krisis multidimensi saat itu, sehingga wajar jika muncul cita-cita itu, yang kemudian muncul dan dibahasakan dalam sebuah ayat dalam UU Sisdiknas. Pertanyaannya, apakah tidak boleh bangsa ini memiliki cita-cita luhur, di mana sekolahnya bertaraf internasional? Apakah konstitusi kita melarang bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju lebih dulu? Jawabnya tentu tidak.

Cita-cita kemerdekaan kita jelas dalam konstitusi kita, untuk bisa maju bersama-sama bangsa lain, yang saat itu sudah merdeka, sudah lebih maju, yang dalam UU Sisdiknas diidealisasikan sebagai bentuk cita-cita bertaraf internasional. Lalu di mana salahnya RSBI? Tidak ada yang salah jika pola pikirnya seperti itu, sehingga sebenarnya tidak bertentangan dengan konstitusi. Tapi harus diakui, dalam praktiknyalah kesalahan RSBI itu muncul, sehingga memunculkan diskriminasi; keterbatasan masyarakat tidak mampu di dalam mengakses RSBI; melakukan pungutan; dan lainnya. 

Persoalannya jika praktiknya yang bermasalah, mestinya praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma undang-undang. Dalam bahasa Mendkibud, norma tidak bisa disandingkan dengan praksis, sehingga putusan MK terhadap RSBI lebih menekankan undang-undang sebagai realitas, padahal undang-undang harus ditempatkan sebagai idealitas. 

Ijtihad 

Itu pula lah mungkin “ijtihad” yang dijalankan oleh Hakim MK, Achmad Sodiki, satu dari sembilan hakim di MK yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) ketika memutuskan perkara RSBI ini. Konsistensi terhadap putusan MK selama inilah yang dipegang Sodiki, karena dia “berijtihad” bahwa kesalahan dalam parktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma undang-undang. Ada delapan putusan MK sejak 2009-2012 yang cara berpikirnya seperti itu. 

Hakim Sodiki menilai, tidak ada kata-kata dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai bahwa pendidikan bertaraf internasional, bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa, menimbulkan liberalisasi, diskriminasi dan kastanisasi pendidikan, serta menghilangkan jati diri bangsa. 

Apa yang dikemukakan sebagai keberatan oleh para pemohon adalah gejala-gejala dalam dunia praktek pada sebagian penyelenggaraan sekolah yang bertaraf internasional, bukan normanya yang mengandung arti liberalisasi atau diskriminasi (Gatra, 23 Januari 2013). Pada titik inilah hakim Sodiki—meminjam istilah Andi Irman Putra Sidin—sedang mengingatkan MK untuk melihat undang-undang sebagai idealitas. Jika penerapan di lapangan buruk, bukan berarti normanya juga buruk. 

Taruhan Kualitas 

Tulisan ini tentu bukan sedang “menggugat” keputusan delapan hakim MK. Tapi sebagai sebuah diskursus intelektual yang dalam bahasa agama disebut sebagai ijtihad, yang jika salah sekalipun tetap dapat pahala satu di hadapan Yang Maha Kuasa. Apalagi disadari sebagai manusia kita tidak lepas dari sifat hilaf. 

Ke depan kita berharap yang menjadi fokus dan perhatian dari Kemdikbud adalah, bagaimana meski tanpa embel-embel RSBI atau SBI, upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah dan lulusannya, menjadi taruhan. Itu sebabnya, wacana memanfaatkan dana yang selama ini sudah diputuskan pada APBN dalam DIPA RSBI untuk digunakan bagi peningkatan mutu sekolah melalui cara hibah kompetisi, seperti selama ini dilakukan untuk perguruan tinggi, perlu didukung. 

Mekanismenya memang perlu disiapkan dan secara transparan harus dikomunikasikan kepada semua satuan sekolah, sehingga tidak ada lagi anggapan terjadi diskriminatif sebagaimana dalam praktek RSBI. Kita juga berharap, upaya Kemdikbud untuk melakukan koordinasi, baik dengan DPR maupun Kementerian Keuangan, berkait revisi penggunaan anggaran, dalam waktu yang tidak terlalu lama, tidak menemukan kendala. 

Karena ke depan, taruhan kualitas pada satuan pendidikan di berbagai jenjang menjadi sebuah keniscayaan, mengingat salah satu tolok ukur keberhasilan kita yang bisa dilihat dalam hasil Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) tahun 2011, yang diselenggarakan International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, AS. Dalam penilaian itu Indonesia berada di peringkat ke-40 untuk bidang sains dan peringkat ke-38 untuk matematika dari 42 negara. 

Fakta ini harus dijadikan sebagai salah satu upaya untuk terus meningkatkan mutu dan kualitas dunia pendidikan kita, sebagaimana dinyatakan Mendikbud, ada atau tidak ada RSBI/SBI, komitmen Kemdikbud untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan pendidikan yang bermutu pada semua satuan dan jenjang pendidikan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar