Safari
Kekerasan di Papua
Ansel Deri ; Alumni Undana Kupang, NTT; Pernah Bertugas di
Jayapura & Timika
SUMBER : SINDO, 13
Juni 2012
Sejak
awal 2012 hingga memasuki Juni ini insiden kekerasan berupa penembakan di
sejumlah wilayah di Papua terus terjadi. Peristiwa tragis itu berlangsung di
satu wilayah kemudian bergeser ke wilayah lain.
Tak
terkecuali kasus kekerasan menjelang dan pasca pilkada. Ia bersafari laiknya
pejabat yang turun menyapa rakyat dan melihat langsung dinamika pembangunan. Warga
sipil dan aparat jadi korban sia-sia. Tak terbilang berapa banyak nyawa
melayang. Pelaku dan motifnya beragam dan begitu sulit diidentifikasi. Publik
hanya puas dengan sebuah informasi klasik otoritas keamanan: dilakukan kelompok
orang tidak dikenal.
Di tengah kegaduhan politik nasional dan ingar-bingar upaya pengungkapan sejumlah megaskandal korupsi bernilai miliaran hingga triliunan rupiah, Papua terus berkubang dalam pusaran konflik berdarah dan nyaris luput dari perhatian. Papua seperti negeri dalam dongeng yang kehilangan pemimpin dan diliputi bayang-bayang kehancuran akibat berlaku hukum rimba.
Berbagai insiden kekerasan yang terjadi seperti membenarkan kata-kata imam diosesan Keuskupan Jayapura Neles Tebay Pr: “hanya satu hal yang paling murah di Papua, yakni nyawa orang Papua”. Presiden pun bersuara keras meminta aparat mengusut pelaku.
Konflik
Papua merupakan wilayah yang masih terus dirundung konflik kekerasan berupa penembakan warga jika dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Imparsial dalam Sekuritisasi Papua (2011) mencatat, sejak awal Indonesia merdeka Papua sudah membawa polemik. Parahnya, hingga reformasi bergulir tak kunjung membaik—jika tak ingin menggunakan istilah stagnan atau bahkan memburuk.
Entah berapa banyak lagi korban akibat ulah pihak-pihak yang gelap mata dan ogah menyaksikan keadilan dan perdamaian (justice and peace) bersemi di Bumi Cendrawasih. Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan hal itu, ada saja pihak-pihak yang tetap care dengan Papua, termasuk ikut membicarakan soal-soal yang dihadapi guna meredam konflik yang kerap terjadi.
Sebuah diskusi bertajuk “Resolusi Konflik Papua” digelar di Jakarta pada Kamis, 19 April 2012. Diskusi sekaligus peluncuran buku Negosiasi: Noken Dialog untuk Papua Damai digagas Imparsial. Diskusi menghadirkan anggota DPR Tubagus Hasanuddin, Dekan Fisipol Universitas Parahyangan Mangadar Situmorang, dan Koordinator Forum Akademisi untuk Papua Damai Otto Iskandar Ishak.
Ada hal penting yang perlu dicatat. Memang rencana dialog belum berhasil menyelesaikan konflik di Papua, sementara pendekatan militer hanya akan memicu perlawanan. Karena itu, dialog merupakan jalan damai. Dialog dapat pula membantu melihat secara jernih berbagai persoalan Papua dan mencari alternatif pemecahannya. Termasuk sumbersumber konflik lainnya. Dalam Papua Road Map, (2009), sumber konflik mencakup empat isu strategis.
Yaitu sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua,kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua, dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus serta marginalisasi orang Papua. Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua.
Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. Peneliti politik dan HAM Papua dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Amiruddin al Rahab dalam Heboh Papua (2010) melukiskan, ada ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa dialami rakyat Papua selama ini. Ketakutan dan kekhawatiran itu terbentuk dalam struktur kekerasan yang terjadi.
Jalan Tengah
Membangun Papua dalam bingkai NKRI tak boleh sepotong- sepotong,namun dalam satu kesatuan yang integratif dan holistik. Ini bertujuan agar memberikan perhatian setara daerah-daerah lain di Indonesia sekaligus penghargaan atas provinsi penyokong sumber pemasukan negara dari sumber daya alam yang kaya raya.
Pendekatan militer yang berlebihan, seperti diutarakan anggota DPR asal Papua Diaz Gwijangge, berimbas pada pelanggaran HAM. Begitu pula termarginalkan penduduk lokal. Dua hal ini menjadi sumber kekerasan. Karena itu, ada jalan tengah atau alternatif solusi memajukan Papua sekaligus ikut meminimalisasi kasus-kasus kekerasan. Jalan tengah itu adalah kesejahteraan rakyat diperhatikan serius melalui berbagai program pembangunan.
Hal yang sudah kerap diutarakan berbagai pihak. Mengapa? Salah satu akar kekerasan yakni kesenjangan ekonomi yang berkorelasi dengan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan mengandaikan kepekaan semua stakeholders terutama pemerintah. Sebanyak 65% APBN—menurut analis politik Khudori— berputar di daerah,namun tidak linier dengan peningkatan kesejahteraan.
Sebanyak 18 dari 33 provinsi mengalami peningkatan jumlah warga miskin, di 15 propinsi sisanya jumlah kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan persentase penduduk miskin rentang 2006- 2007 misalnya hanya 0,5, bahkan mendekati nol.
Apakah persentase kemiskinan ini juga berkorelasi dengan meningkatnya aksi kekerasan berupa penembakan di sejumlah wilayah di Tanah Papua misalnya? May be yes, may be no! ●
Di tengah kegaduhan politik nasional dan ingar-bingar upaya pengungkapan sejumlah megaskandal korupsi bernilai miliaran hingga triliunan rupiah, Papua terus berkubang dalam pusaran konflik berdarah dan nyaris luput dari perhatian. Papua seperti negeri dalam dongeng yang kehilangan pemimpin dan diliputi bayang-bayang kehancuran akibat berlaku hukum rimba.
Berbagai insiden kekerasan yang terjadi seperti membenarkan kata-kata imam diosesan Keuskupan Jayapura Neles Tebay Pr: “hanya satu hal yang paling murah di Papua, yakni nyawa orang Papua”. Presiden pun bersuara keras meminta aparat mengusut pelaku.
Konflik
Papua merupakan wilayah yang masih terus dirundung konflik kekerasan berupa penembakan warga jika dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Imparsial dalam Sekuritisasi Papua (2011) mencatat, sejak awal Indonesia merdeka Papua sudah membawa polemik. Parahnya, hingga reformasi bergulir tak kunjung membaik—jika tak ingin menggunakan istilah stagnan atau bahkan memburuk.
Entah berapa banyak lagi korban akibat ulah pihak-pihak yang gelap mata dan ogah menyaksikan keadilan dan perdamaian (justice and peace) bersemi di Bumi Cendrawasih. Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan hal itu, ada saja pihak-pihak yang tetap care dengan Papua, termasuk ikut membicarakan soal-soal yang dihadapi guna meredam konflik yang kerap terjadi.
Sebuah diskusi bertajuk “Resolusi Konflik Papua” digelar di Jakarta pada Kamis, 19 April 2012. Diskusi sekaligus peluncuran buku Negosiasi: Noken Dialog untuk Papua Damai digagas Imparsial. Diskusi menghadirkan anggota DPR Tubagus Hasanuddin, Dekan Fisipol Universitas Parahyangan Mangadar Situmorang, dan Koordinator Forum Akademisi untuk Papua Damai Otto Iskandar Ishak.
Ada hal penting yang perlu dicatat. Memang rencana dialog belum berhasil menyelesaikan konflik di Papua, sementara pendekatan militer hanya akan memicu perlawanan. Karena itu, dialog merupakan jalan damai. Dialog dapat pula membantu melihat secara jernih berbagai persoalan Papua dan mencari alternatif pemecahannya. Termasuk sumbersumber konflik lainnya. Dalam Papua Road Map, (2009), sumber konflik mencakup empat isu strategis.
Yaitu sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua,kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua, dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus serta marginalisasi orang Papua. Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua.
Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. Peneliti politik dan HAM Papua dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Amiruddin al Rahab dalam Heboh Papua (2010) melukiskan, ada ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa dialami rakyat Papua selama ini. Ketakutan dan kekhawatiran itu terbentuk dalam struktur kekerasan yang terjadi.
Jalan Tengah
Membangun Papua dalam bingkai NKRI tak boleh sepotong- sepotong,namun dalam satu kesatuan yang integratif dan holistik. Ini bertujuan agar memberikan perhatian setara daerah-daerah lain di Indonesia sekaligus penghargaan atas provinsi penyokong sumber pemasukan negara dari sumber daya alam yang kaya raya.
Pendekatan militer yang berlebihan, seperti diutarakan anggota DPR asal Papua Diaz Gwijangge, berimbas pada pelanggaran HAM. Begitu pula termarginalkan penduduk lokal. Dua hal ini menjadi sumber kekerasan. Karena itu, ada jalan tengah atau alternatif solusi memajukan Papua sekaligus ikut meminimalisasi kasus-kasus kekerasan. Jalan tengah itu adalah kesejahteraan rakyat diperhatikan serius melalui berbagai program pembangunan.
Hal yang sudah kerap diutarakan berbagai pihak. Mengapa? Salah satu akar kekerasan yakni kesenjangan ekonomi yang berkorelasi dengan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan mengandaikan kepekaan semua stakeholders terutama pemerintah. Sebanyak 65% APBN—menurut analis politik Khudori— berputar di daerah,namun tidak linier dengan peningkatan kesejahteraan.
Sebanyak 18 dari 33 provinsi mengalami peningkatan jumlah warga miskin, di 15 propinsi sisanya jumlah kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan persentase penduduk miskin rentang 2006- 2007 misalnya hanya 0,5, bahkan mendekati nol.
Apakah persentase kemiskinan ini juga berkorelasi dengan meningkatnya aksi kekerasan berupa penembakan di sejumlah wilayah di Tanah Papua misalnya? May be yes, may be no! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar