Kebebasan
Akademik dan Penyalahgunaan Otonomi
Chan Basaruddin ; Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Komputer UI
SUMBER : KOMPAS, 5
Juni 2012
Tulisan Prof Syamsul Rizal di harian Kompas
edisi 28 Mei 2012, ”Kebebasan Akademik, Kebebasan yang Mencekik”, menarik
dibahas lebih jauh. Sebab, dikhawatirkan mengambing-hitamkan kebebasan akademik
sebagai pangkal dari beberapa simtom persoalan buruknya kehidupan kampus.
Prof Syamsul menggunakan tulisan Prof
Sulistyowati Irianto yang berjudul ”Kebebasan Akademik Itu...” (Kompas, 5/5)
sebagai landasan argumennya untuk sampai kepada simpulan: kebebasan akademik
ternyata mencekik dan mungkin perlu ditinjau kembali. Di sini perlu ditegaskan,
beberapa contoh penyimpangan (ekses) yang dipaparkan dalam tulisan Prof Syamsul
bukan merupakan akibat dari kebebasan akademik.
Pada akhir 2000, pemerintah mengubah status
empat perguruan tinggi negeri (PTN), yaitu Universitas Indonesia (UI),
Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut
Pertanian Bogor (IPB), menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Empat PTN ini
semula berstatus sebagai unit pelayanan teknis Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.
Pemberian status badan hukum ini dimaksudkan
agar perguruan tinggi jadi otonom karena hanya dengan demikian sebuah perguruan
tinggi dapat melakukan tindakan hukum. Kebijakan ini dicatat sebagai tonggak
penting dalam sejarah pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Berbagai
pakar pendidikan tinggi mancanegara bahkan menyebutnya sebagai salah satu
tonggak penting dalam reformasi pendidikan tinggi di Asia.
Konstruksi hukum dan sistem tata kelola
sebuah BHMN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 61/1999. Dalam PP tersebut
dijelaskan mekanisme dan kerangka akuntabilitas, yang menuntut agar PTN
berstatus BHMN bertata-kelola baik dan akuntabel terhadap pemangku kepentingan
yang diwakilkan kepada Majelis Wali Amanat (MWA). Rektor pemimpin PTN BHMN
bertanggung jawab kepada MWA, sebagai trustee
body.
Mengapa Terjadi Ekses?
Kita harus pisahkan terlebih dahulu antara
hakikat kebebasan akademik yang niscaya bagi ilmuwan dan praktik buruknya
pengelolaan PTN BHMN yang berimplikasi justru merugikan kehidupan akademik
perguruan tinggi. Saya melihat ada beberapa faktor yang menghambat kelancaran
implementasi BHMN sesuai dengan tatanan yang semula dirancang dan diinginkan.
Faktor eksternal yang dianggap paling
menghambat adalah lemahnya komitmen politis pemerintah untuk mendorong
terwujudnya otonomi perguruan tinggi secara konsekuen. Pada saat BHMN
dirancang, sudah diidentifikasi persoalan hukum yang menghadang, yaitu
pengelolaan keuangan yang sangat kaku dan tidak efisien.
Peliknya sistem keuangan negara peninggalan
kolonial yang kita kenal dengan ICW (Indische
Comptabiliteitswet) diharapkan dapat diatasi dengan tatanan baru.
Sayangnya, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara tak mengakomodasi pola pengelolaan keuangan PTN berstatus
BHMN seperti yang diharapkan, yaitu dalam bentuk blok. Pengaturan penggunaan dana APBN masih berparadigma line-item. Padahal, kebutuhan untuk
mengelola perguruan tinggi secara efisien dan efektif butuh fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan, khususnya yang bersumber dari APBN.
Dengan ketiadaan dukungan kerangka hukum yang
memadai, PTN berstatus BHMN didorong untuk melakukan penggalangan dana di luar
dana yang bersumber dari APBN. Inilah yang mengakibatkan pimpinan perguruan
tinggi mencari jalan mudah, menaikkan uang kuliah.
Dana APBN yang dialokasikan ke PTN berstatus
BHMN sebagian besar (lebih 90 persen) berupa gaji untuk dosen dan karyawan yang
berstatus PNS. Rencana untuk mengonversi pegawai yang berstatus PNS jadi
pegawai BHMN menjadi sebuah disinsentif mengingat konversi ini akan berarti
menurunnya alokasi dana rutin ke suatu PTN BHMN. Akibatnya, berbagai tatanan
dan rencana manajemen sumber daya berbasis kinerja yang dirancang di PTN BHMN
menjadi tak dapat dijalankan sama sekali.
Soal Tata Kelola
Sementara itu, di dalam PTN BHMN sendiri
berlangsung transformasi organisasi dan penguatan tatanan manajemen dalam waktu
bersamaan. Philip G Altbach, dalam bukunya berjudul From Dependence to Autonomy: The Development of Asian Universities,
menengarai adanya potensi persoalan jika otonomi diberikan kepada institusi
yang belum memiliki kemampuan untuk mengemban amanat otonomi yang bertanggung
jawab.
Adanya tata kelola yang baik merupakan prasyarat untuk terwujudnya
otonomi secara akuntabel karena jika tidak, maka otonomi cenderung akan
menimbulkan ekses yang sukar dikendalilan.
Meskipun mekanisme checks and balances sudah diupayakan terjadi di PTN BHMN, pada
praktiknya keberadaan organ-organ seperti MWA dan Senat Akademik masih dalam
taraf mencari bentuk dan format yang sesuai dengan budaya organisasi
masing-masing.
Sementara itu, pola perekrutan kepemimpinan
di perguruan tinggi di PTN BHMN masih memberi peluang untuk terpilihnya
petualang politik menduduki pucuk pimpinan. Pola pemilihan oleh Senat Akademik
ataupun MWA belum sepenuhnya mampu menjaring kepemimpinan yang kuat dan
memiliki komitmen untuk mengemban amanat otonomi dan memikul tanggung jawab
akuntabilitas secara bersamaan.
Jangan Bakar Lumbungnya
Sebagai resultan
dari kedua faktor di atas, muncullah berbagai ekses. Sebutlah seperti
terjadinya komersialisasi program pendidikan, proliferasi program studi dengan
mengesampingkan mutu, politisasi kampus atas nama reformasi, hingga menerima
mahasiswa daerah dengan bekerja sama pemerintah daerah dengan motif mencari
dana.
Namun, pantaskah kita menyalahkan konsep
kebebasan akademik sebagai penyebab ini semua? Jika ada tikus di lumbung padi,
apakah kita akan membakar lumbungnya?
Kebebasan akademik adalah keniscayaan. Ia
menjadi landasan moral bagi para ilmuwan untuk mencapai puncak prestasinya dan
berperan aktif memajukan kesejahteraan umat manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar