Rabu, 06 Juni 2012

Jakarta tak Perlu Subway


Jakarta tak Perlu Subway
Yusuf Wibisono ; Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI
SUMBER :  REPUBLIKA, 6 Juni 2012


Menjelang pemilukada DKI Jakarta, isu kemacetan dengan kecepatan rata-rata berkendaranya yang kini di bawah 10 kilometer per jam dan diprediksi akan mengalami kemacetan total pada 2014, kembali mendapat perhatian publik.
 
Salah satu isu terpenting di sini yang sayangnya tidak banyak mendapat perhatian adalah rencana pembangunan mass rapid transit (MRT), yaitu proyek subway.

Ketidaklayakan Subway

Jakarta membutuhkan kebijakan besar untuk mengurai kemacetan sekaligus menjadi benchmark bagi kota-kota besar lain yang juga menghadapi ancaman macet total dalam lima sampai 10 tahun ke depan, seperti Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan Semarang. Namun, pemilihan subway sebagai moda utama transportasi Jakarta masa depan perlu mendapat kualifikasi yang memadai.

Dengan lebih dari 20 juta jumlah perjalanan per hari dan tambahan kendaraan bermotor hingga 11 persen per tahun, Jakarta sudah seharusnya serius membangun MRT. Selama MRT belum terbangun, Jakarta setiap tahunnya menanggung kerugian akibat kemacetan hingga puluhan triliun rupiah dan diproyeksikan terus membesar hingga Rp 65 triliun pada 2020. Karena itu, keberadaan MRT bagi Jakarta menjadi sangat mendesak.

MRT tidak hanya subway (metro), tetapi terdapat pilihan lain, yaitu light rail transit (LRT), commuter rail systems, dan bus rapid transit (BRT). Namun, mengapa subway yang menjadi pilihan utama? Subway memang menjanjikan banyak manfaat. Sebagai MRT, subway mampu mengangkut penumpang dalam jumlah 40-100 ribu orang per jam per arah.

Pembangunan subway juga dapat dilakukan secara paralel, yaitu pembangunan jalur bertingkat sehingga akan efisien, baik dari sisi biaya maupun lahan. Pembangunan subway juga potensial disinergikan dengan pembangunan infrastruktur penting kota lainnya, seperti infrastruktur pengendali banjir, sanitasi, dan air bersih.

Namun, subway juga memiliki masalah dan yang paling signifikan adalah biaya yang sangat mahal. Estimasi biaya pembangunan subway menembus Rp 1 triliun per kilometer, jauh di atas BRT yang hanya di kisaran Rp 10 miliar per kilometer. Selain itu, subway membutuhkan teknologi tinggi, mulai dari tahap desain, pembangunan, hingga operasi dan perawatan. Karena itu, subway akan banyak bergantung pada impor dan tenaga kerja asing.

Dengan biaya pembangunan yang sangat mahal, dibutuhkan tingkat permintaan yang sangat tinggi agar subway dapat layak secara finansial. Estimasi tingkat permintaan jangka pendek dan menengah tidak cukup tinggi untuk menjustifikasi pembangunan subway. Subway tidak akan mampu menopang cost-recovery sehingga dapat dipastikan akan membutuhkan subsidi pemerintah secara permanen.

Pembangunan subway tahap satu yang hanya 15 kilometer dibiayai utang JICA sebesar Rp 17 triliun bertenor 40 tahun dengan grace period 10 tahun.
Beban dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Terlihat bahwa Jepang memiliki kepentingan di mana mayoritas kontraktor dan SDM subway harus berasal dari Jepang.

Dengan hitungan konservatif, aliran kas keluar APBD diproyeksikan Rp 651 miliar pada tahun kesatu sampai ketujuh masa proyek, Rp 85 miliar per tahun pada tahun kedelapan sampai kesepuluh, Rp 97 miliar per tahun pada tahun ke-11 sampai ke-17, dan Rp 12 miliar per tahun pada tahun ke-18 sampai ke40. APBD juga akan menanggung subsidi operasional, yang dalam base scenario diproyeksikan Rp 85 miliar per tahun selama 2015-2025 atau Rp 850 miliar untuk 10 tahun.

Deviasi yang besar atas asumsi proyeksi arus biaya dan penerimaan dari proyek MRT ini akan membebani APBD. Bila diperhitungkan pula beban proyek tahap berikutnya yang masih 95 kilometer, subway benar-benar menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan anggaran dan pelayanan publik di Jakarta masa depan.

Busway dan KRL

Prioritas dan fokus kebijakan transportasi Jakarta adalah mengurai kemacetan secepatnya untuk menekan kerugian sekaligus meningkatkan daya saing perekonomian. Busway dan KRL harus menjadi fokus karena biaya keduanya jauh lebih murah dari subway ataupun LRT (monorail). Rencana pembangunan busway hingga 15 koridor akan mencapai 150 kilometer yang mencakup seluruh wilayah Jakarta dengan biaya hanya setara 1 kilometer subway.

Pembangunan subway koridor Selatan-Utara tahap satu saja diperkirakan menelan biaya Rp 17 triliun, mampu untuk membangun jalur busway Anyer-Panarukan! Jika dana Rp 17 triliun ini difokuskan untuk busway, kita akan segera mampu menyelesaikan 15 koridor, menambah jumlah armada bus gandeng secara memadai, dan langkah lainnya.

Adalah keliru mengklaim busway tidak akan mampu menjadi MRT yang andal. Dengan pengelolaan yang baik dan profesional, Bogota dengan tujuh juta penduduk mampu menjadikan Bogota TransMilenio sebagai MRT yang aman dan nyaman dengan daya angkut mencapai 45 ribu penumpang per jam per arah, mendekati kapasitas subway.

Pada saat yang sama, dengan dana yang sama, kita juga akan mampu memberi perhatian penuh kepada KRL Jabodetabek yang selama ini terbukti efektif sebagai kereta komuter. Dengan revitalisasi yang memadai, kapasitas KRL Jabodetabek berpotensi ditingkatkan dari sekitar 600 ribu penumpang per hari saat ini menjadi dua juta penumpang per hari.

Jelas terlihat bahwa berfokus pada busway dan KRL akan secara efektif dan signifikan mengurai kemacetan Jakarta dengan biaya yang jauh lebih murah, dalam waktu yang relatif pendek, dan dalam cara yang merata serta berkeadilan. Lalu, mengapa ngotot membangun subway? Jangan sampai prestise semu atau rente ekonomi, atau kombinasi keduanya, mengalahkan nurani dan akal sehat. 

1 komentar:

  1. Sembari membangun MRT (Subway, Elevated, Lightrail) pemerintah Jakarta juga harus merevitalisasi armada Busway, KRL, Bis Kota, dan angkutan umum lainnya.

    Sistem metro itu sebenarnya juga diperlukan jika dalam keadaan banjir/kemacetan parah. Jangan hanya mengandalkan kendaraan yg di atas saja.

    Seharusnya kita malu ribut sana-sini pro-kontra membahas MRT sedangkan di negeri tetangga sistem metro sudah ada sejak zaman dahulu. Bisa dilihat di London (sejak 1800-an), Jepang (1900-an. Bahkan kota seperti Manila sudah memiliki MRT.

    BalasHapus