Muda
Berani Korupsi
Zamhuri, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MURIA
KUDUS (UMK)
Sumber
: SUARA MERDEKA, 13 Desember 2011
SETELAH heboh kasus Gayus Halomoan P
Tambunan, PNS muda usia pada Ditjen Pajak dalam kasus pencucian uang, tindak
pidana korupsi, dan penggelapan, di pengujung tahun ini publik kembali
dikejutkan berita sejumlah PNS muda usia terindikasi korupsi. Hal ini setelah
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyinyalir banyak PNS
muda usia dan muda pengabdian melakukan praktik pencucian uang dari anggaran
negara. Mereka berasal dari Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai (SM,
07-09/12/11). Disebutkan, ada 1.818 rekening bermasalah yang terindikasi
tipikor.
Menurut PPATK, uang haram milik PNS
muda tersebut merupakan hasil pencucian uang dari proyek fiktif, gratifikasi,
dan suap. Modus yang dilakukan mereka yang saat ini berusia 28-38 tahun adalah
dengan mengalirkan dana ke anak, istri, atau suami melalui asuransi. Temuan ini
tentu saja menambah beban kerja aparat hukum, terutama KPK, dan memperburuk
stigma abdi negara.
Perilaku korup yang dilakukan PNS sebenarnya
bukan berita baru. Namun tatkala hal itu dilakukan oleh PNS muda usia, publik
kaget karena semestinya mereka masih idealis, masih bersih, namun faktanya
sudah tereduksi oleh perilaku yang jadi penyakit bawaan birokrat. Tindakan
mereka termasuk berani mengingat pemerintah kini menggalakkan gerakan
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Apalagi Kementerian PAN dan RB gencar
mereformasi birokrasi, salah satunya melalui kebijakan remunerasi.
Temuan awal terkait dengan banyak PNS muda
usia korupsi menunjukkan bahwa korupsi tidak bisa direduksi dengan kebijakan
remunerasi. Penyebab suburnya perilaku korup di kalangan PNS tentu sangat
kompleks dan karena hukum sebab-akibat. Korupsi adalah akibat, yaitu akibat
birokrasi yang permisif, yang memberikan peluang tumbuhnya korupsi dan karena
PNS muda usia tersebut kehilangan idealisme yang seharusnya menjadi roh
pengabdian.
Ladang korupsi subur karena ada persemaian
bibit korupsi sejak proses hulu perekrutan CPNS. Sudah menjadi rahasia umum
dalam proses itu pelamar harus memberikan uang pelicin agar mudah diterima.
Besar kecilnya pelicin bergantung pada jenjang pendidikan dan job yang diincar.
Soal sumpah jabatan dan keharusan mengabdi hanya dianggap ritual mekanis yang
tidak menumbuhkan efek pengabdian dan etos kepatuhan.
Paham
Materialisme
Perilaku korup PNS muda itu karena luruhnya
etos idealisme yang tereduksi oleh pandangan materialisme. Mereka mengganti
medan pengabdian masyarakat dengan penghambaan terhadap materi dan kekayaan.
Paham klasik, sebagaimana dilontarkan Epikuros, mendominasi wacana alam pikiran
bahwa satu-satunya cara untuk tetap diakui eksistensinya dalam dunia
materialisme adalah dengan cara sebanyak mungkin menumpuk harta.
Dalam kondisi pragmatis, keuangan PNS muda
yang bersumber hanya dari gaji tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan materinya
yang fluktuaktif. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah menjadi pemicu
korupsi. Pada sisi lain, menurut Hamdan Zoelfa, salah satu hakim Mahkamah
Konstitusi, cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan
memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan tentang korupsi
mendasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide.
Bisa jadi PNS muda usia yang korup itu
menganggap tindakannya bukan sesuatu yang tercela, dengan mendalihkan pada
beberapa hal. Pertama; upaya mengembalikan biaya yang mereka keluarkan sewaktu
melamar menjadi CPNS. Kedua; alasan pertama menjadi pembenar untuk melakukan
tindakan di level berikutnya karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan materi
terkait dengan gaya hidup (paham materialisme).
Ketiga; pertentangan antara paham
materialisme dalam paham pikiran dan paham idealisme dalam rumusan UU.
Pertentangan antara alam pikiran PNS bahwa tindakannya itu merupakan sikap
realistis karena tuntutan kebutuhan materi, sementara rumusan UU menganut paham
idealisme. Padahal ide tak bisa menjawab realitas material yang
sesungguhnya terjadi.
Fenomena PNS muda usia menjadi generasi muda
koruptor menunjukkan bahwa praktik korupsi bukannya mengendor melainkan makin
menggurita. Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya mengandalkan aparat hukum,
dimotori KPK, tetapi butuh keterlibatan semua komponen bangsa. Amat mungkin
mewujudkan upaya nonhukum (positif) sebagaimana gagasan Mahfud MD tentang
kebun koruptor dan tidak menshalati jenazah koruptor supaya ada efek jera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar