Jumat, 23 Desember 2011

Quo Vadis Indonesia? (2)


Quo Vadis Indonesia? (2)
Bacharuddin Jusuf Habibie, MANTAN PRESIDEN RI
Sumber : REPUBLIKA, 23 Desember 2011


Bukan kebetulan dunia ekonomi makro hanya memperhatikan pengembangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran antarnegara (Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, ASEAN, dan sebagainya). Masalah lapangan kerja terbatas pada kepentingan nasional dan sudah tercermin tidak langsung pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran.

Bukankah sebagian besar negara berkembang sebelumnya adalah wilayah yang dijajah dan dikuasai untuk mengeruk sumber daya alam sekaligus berfungsi sebagai 'pasar domestik' untuk mengonsumsi produk nilai tambah masyarakat penjajah? Bagaimana sekarang? Masyarakat yang dahulu dijajah sudah menjadi merdeka dan bebas. Mereka lebih sadar akan masalah ketenteraman yang erat kaitannya dengan pemerataan pendapatan dan pemerataan berkembang dan bekerja yang harus diselesaikan.

Apalagi, dengan meningkatnya kemampuan memanufaktur produk konsumsi-yang tadinya diproduksi di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Utara-oleh masyarakat Cina dan India, produk-produk mereka mulai dan bahkan telah membanjiri pasar global! Produk konsumsi yang dahulu dikuasai oleh industri manufaktur penjajah tak dapat bersaing dengan produksi negara berkembang, baik di pasar jajahannya dahulu dan Cina maupun di pasar domestik Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran di beberapa masyarakat Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Ini tercermin pada perbandingan utang terhadap kemampuan prestasi ekonomi (GDP) negara tersebut yang sudah mendekati 100 persen. Bahkan, Amerika Serikat (AS) telah melampaui 100 persen dan Jepang 200 persen GDP.

Jikalau utang Jepang diperoleh dari masyarakatnya sendiri dengan suku bunga yang rendah, maka utang di AS diperoleh dari  pasar global dengan suku bunga yang relatif tinggi. Mengapa demikian? Bagaimana dengan risiko dan jaminan pinjaman? Apa akibatnya? Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab!

Mengapa demikian? Setelah Perang Dunia II pasar domestik AS berkembang menjadi pasar yang terbesar di dunia karena ekonomi Eropa, Jepang, dan Asia hampir hancur dan tidak berfungsi sesuai harapan. AS memberi bantuan pembangunan ekonomi dan mata uangnya menjadi andalan bagi hampir semua mata uang mancanegara.

Cadangan emas tidak lagi menjadi satu-satunya andalan mata uang. Permintaan atas dolar AS meningkat dan melampaui kebutuhan pasar domestik AS. Anggaran untuk membiayai kehadiran AS sebagai adikuasa di dunia meningkat dan ekonomi Amerika Utara, Eropa, Jepang, dan negara berkembang lainnya mulai menyaingi produksi AS hampir dalam segala bidang dan sebagainya.

Skenario yang telah diutarakan sebelumnya terjadi dan utang AS melampaui 100 persen kemampuan GDP-nya, bahkan Jepang lebih besar lagi. Namun, demikian nilai dolar AS-mata uang yang menjadi andalan mata uang mancanegara-tetap dicegah menurun. Karena jikalau nilainya menurun, maka nilai cadangan mancanegara-seperti Cina, Jepang, dan beberapa Negara di Eropa-akan menurun pula dan merugikan semua.

Dua Ekstrem

Lain halnya dengan Jepang. Pasar domestik Jepang cukup besar, namun mata uang yen Jepang tidak dimanfaatkan sebagai andalan perdagangan dan cadangan mancanegara. Dengan insentif perpajakan dan insentif lain yang diberikan oleh Pemerintah Jepang dan bank yang mencetak mata uang Jepang, suku bunga yen dapat ditekan serendah mungkin sehingga kurang menarik bagi investor global.

Bagaimana dengan risiko dan jaminan pinjaman? Dengan undang-undang, regulasi pemerintah dan bank sentral Jepang, risiko dan jaminan direkayasa secara pragmatis. Dengan suku bunga yang rendah dan sistem perpajakan yang terarah pada peningkatan 'jam kerja' atau lapangan kerja secara 'gotong royong', pinjaman dari masyarakat sendiri dapat diperoleh dan diperhitungkan risikonya. Misalnya, pembiayaan proyek yang menciptakan lapangan kerja dengan pemberian suku bunga yang sangat rendah dan jenjang pelunasan yang panjang dimungkinkan karena suku bunga memang sangat rendah dan dapat mencegah pengangguran.

Lain halnya dengan kebijakan Pemerintah dan Bank Central AS yang mencetak dan mengeluarkan mata uang dolar AS. Mereka sangat menyadari bahwa mancanegara yang berhasil mengekspor komoditas ke pasar AS sangat berkepentingan memelihara pasar AS tetap sehat dan befungsi sehingga lapangan kerja di mancanegara dapat dipertahankan.

Mata uang dolar AS pun dipertahankan stabilitasnya melalui mekanisme pasar komoditas uang untuk mencegah menurunnya nilai cadangan dolar AS mereka. Semua pemikiran dan kebijakan diarahkan pada pertumbuhan GDP, pengendalian inflasi, dan akhirnya penyediaan lapangan kerja. Mancanegara lainnya bergerak di antara dua skenario model Jepang dan AS.

Apa akibatnya? Bursa yang tadinya berfungsi sebagai 'mekanisme pengumpulan dana' yang cukup transparan dan dapat diandalkan berubah menjadi 'pusat keunggulan berspekulasi dan berjudi'. Informasi diperluas dengan gosip akan sangat merugikan kreditibilitas bursa. Gosip adalah analisis yang belum tentu benar untuk diperhitungkan dan merupakan pemberitaan distortif yang cepat dan membingungkan.

Kita dapat belajar dari tradisi masyarakat Jepang dan Jerman yang selalu memperkenalkan produk barunya di dalam negeri sampai teruji dulu sebelum diekspor. Produk industri pangan walaupun karena globalisasi lebih murah jika diimpor, masyarakatnya ternyata masih tetap memilih produksi dalam negeri.

Sejak berdirinya EEC ada perubahan di Jerman terhadap impor dari masyarakat EEC lainnya. Masyarakat Jepang tetap memilih beras Jepang walaupun lebih mahal dari beras impor Thailand. Perilaku ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam tiap produk tersembunyi jam kerja yang terkait dengan proses pemerataan dan kesejahteraan. 

VOC Baru?

Bagaimana masa depan Anda jikalau pengeluaran Anda melampaui pendapatan? Bagaimana masa depan dunia jikalau pengeluaran melampaui pendapatan dunia?

Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juni 2011 yang lalu,  pada kesempatan yang diberikan oleh Pimpinan MPR untuk menyampaikan pandangan mengenai Pancasila dalam forum Sidang Paripurna MPR, saya memperingatkan agar jangan sampai proses globalisasi berkembang menjadi jaringan baru seperti terjadi pada era jajahan masa lalu! Hindari jaringan globalisasi berkembang menjadi 'jaringan neokolonialisme' dengan adikuasa-adikuasa baru! (Jangan sampai terjadi 'VOC-baru' di Indonesia!)

Perhatikan neraca jam kerja dan sadarlah bahwa membeli produk apa pun yang dibuat di dalam negeri sama dengan mempertahankan dan mengembangkan lapangan kerja atau jam kerja yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan pemerataan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat kita.

Ketika nilai sumber daya alam dari benua maritim Indonesia di pasar dunia-khususnya di pasar Eropa-meningkat, maka terjadi pendekatan para pedagang secara sistematik dan kekerasan yang melahirkan kolonialisme yang dilawan bersama oleh masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, ketenteraman dan kedamaian masyarakat yang pluralistik ini tetap dipelihara karena sikap toleransi yang ada.

Sejarah telah membuktikan bahwa hanya sumber daya manusia yang merdeka, bebas berpikir, dan bebas berkarya saja yang dapat meningkatkan produktivitas dan keunggulannya. Sejarah juga telah membuktikan bahwa semakin pluralistik masyarakat, semakin toleran perilakunya, semakin tinggi daya saing dan kreativitasnya.

Rakyat Indonesia telah meletakkan jejak yang menentukan untuk menjadikan sumber daya manusia sebagai andalan masa depan, yaitu dengan adanya: Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), juga Kebangkitan Teknologi Nasional (1995). Ketiga kejadian tersebut telah berdampak pada proses-proses: Kemerdekaan pada 1945;   Kebebasan pada 1998; dari masyarakat madani di Indonesia.

Dengan demikian prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk mengembangkan produktivitas dan keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang merdeka dan bebas telah dipenuhi. Yang masih harus diperhatikan dan dikembangkan adalah prasarana dan konsep teruji proses 'pembudayaan', prasarana dan konsep teruji proses 'pendidikan dan penelitian', prasarana dan konsep teruji penyediaan 'lapangan kerja'.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar