Kamis, 22 Desember 2011

Membangun Perikanan Berkelanjutan


Membangun Perikanan Berkelanjutan
Rokhmin Dahuri, KETUA UMUM MASYARAKAT AKUAKULTUR INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011


Meskipun merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia baru memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangani perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perairan, pembangunan pulau-pulau kecil, produksi garam, pemanfaatan benda-benda berharga dari kapal tenggelam, serta pengembangan sumber daya alam nonkonvensional di wilayah pesisir dan samudra.

Sejak kehadiran KKP tampak sejumlah kemajuan. Produksi perikanan, yang pada tahun 1999 baru 3,5 juta ton (peringkat ketujuh dunia), tahun 2010 mencapai 10,5 juta ton dan Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar ketiga setelah China (55 juta ton) dan India (14 juta ton).

Pada 2010 sumbangan protein ikan dalam total asupan protein hewani rakyat Indonesia baru 50 persen, sekarang 62 persen. Nilai ekspor perikanan juga meningkat dari 1,5 miliar dollar AS (1999) menjadi 3 miliar dollar AS (2010). Demikian pula dengan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto, kini mencapai 3,2 persen dari 1,9 persen pada 1999.

Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Sampai sekarang mayoritas nelayan, terutama nelayan buruh, masih hidup dalam kubangan kemiskinan. Ironisnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, pesisir selatan Sulawesi, Selat Bali, dan Arafura telah mengalami tangkap jenuh (fully-exploited) atau kelebihan tangkap (overfishing).

Ekosistem pesisir seperti estuari, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun banyak yang rusak, baik akibat eksploitasi, konversi (reklamasi), maupun pencemaran. Padahal, ekosistem pesisir adalah tempat pemijahan, asuhan, mencari makan, atau membesarkan diri hampir semua jenis ikan dan biota laut.

Yang memprihatinkan adalah gempuran impor ikan yang menggila dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya kita hanya mengimpor tepung ikan, salmon, dan beberapa produk perikanan yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan dengan nilai yang tidak signifikan (kurang dari 50 juta dollar AS) per tahun.

Sekarang komoditas yang diimpor termasuk yang ada di Indonesia seperti kembung, layang, teri, tongkol, dan malalogis dengan nilai lebih dari 200 juta dollar AS per tahun. Padahal, potensi produksi perikanan Indonesia terbesar di dunia, 65 juta ton per tahun, dan baru dimanfaatkan 10,5 juta ton (16 persen).

Perbaiki pengelolaan

Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan, harus dipastikan bahwa laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak melebihi potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY). Total MSY sumber daya ikan laut Indonesia 6,5 juta ton per tahun. Tahun 2010 total produksi ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY ikan perairan tawar 0,9 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 0,5 juta ton.

Persoalannya distribusi nelayan dan kapal ikan tidak merata. Lebih dari 90 persen armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di perairan pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka, pantura, Selat Bali, dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut, tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber daya ikan pun punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan terbang di pesisir selatan Sulawesi.

Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Samudra Pasifik, Laut Arafura, dan Samudra Hindia bisa dihitung dengan jari. Di sinilah kapal-kapal ikan asing merajalela dan merugikan negara minimal Rp 30 triliun per tahun.

Maka laju penangkapan ikan di perairan yang telah kelebihan tangkap harus dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada kapal ikan modern untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih underfishing atau yang selama ini dijarah nelayan asing. Semua ini akan membantu pengembangan ekonomi daerah berbasis perikanan tangkap.

Kedua, setiap kapal ikan harus dilengkapi dengan sarana penyimpanan ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas ikan sampai di tempat pendaratan ikan. Nelayan harus dilatih dan diberi penyuluhan untuk mempraktikkan cara-cara penanganan ikan yang baik selama di kapal.

Nelayan di seluruh Nusantara harus dijamin dapat mendaratkan ikan tangkapannya di tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi dan higienis, pelabuhan perikanan juga harus dilengkapi dengan pabrik es, gudang pendingin, pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin, koperasi penjual alat tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta pembeli ikan bonafide.

Ketiga, rehabilitasi ekosistem-ekosistem pesisir yang telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan mengembangkan kawasan konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stock enhancement) dan restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di wilayah perairan yang kelebihan tangkap.

Perikanan Budidaya

Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar sesungguhnya terdapat di perikanan budidaya (akuakultur). Namun, sampai saat ini pemanfaatan perikanan budidaya masih sangat rendah, hanya 4,88 juta ton pada 2010 atau 8,5 persen dari total potensi produksi 57,6 juta ton per tahun. Padahal, permintaan terhadap beragam produk akuakultur untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, dan bahan baku industri terus meningkat.

Perairan laut Indonesia yang berpotensi untuk usaha budidaya laut (mariculture) 24 juta hektar dengan potensi produksi lestari 41,6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi 3,4 juta ton atau 3,4 persen. Komoditas budidaya laut yang bisa dikembangkan antara lain kerapu, kakap putih, baronang, bawal bintang, teripang, abalone, kerang hijau, gonggong, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut.

Luas perairan payau yang cocok untuk budidaya tambak 1,25 juta ha. Dengan potensi produksi lestari sekitar 10 juta ton per tahun pada 2010, produksinya baru 1 juta ton atau 10 persen. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di tambak antara lain udang, bandeng, kerapu lumpur, nila, kepiting soka, dan rumput laut Gracilaria spp.

Potensi produksi lestari perikanan budidaya air tawar (danau, waduk, sungai, kolam, saluran irigasi, dan sawah) 6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi sebesar 0,5 juta ton atau 8,3 persen. Beberapa komoditas unggulan yang bisa dibudidayakan di perairan tawar adalah ikan nila, patin, lele, emas, gurami, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar.

Raksasa Tidur

Potensi perikanan budidaya yang luar biasa itu ibarat ”raksasa tidur” yang bisa ditransformasikan menjadi sumber kesejahteraan bangsa melalui penerapan perikanan budidaya di setiap unit usaha. Ini meliputi penggunaan bibit unggul, pakan berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, tata letak dan konstruksi perkolaman, serta keamanan hayati.

Dahsyatnya potensi perikanan budidaya dapat dilihat pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp. Jika kita mampu mengembangkan 100.000 ha tambak (9 persen potensi) untuk budidaya udang vaname, dalam setahun dapat diproduksi 2 juta ton udang vaname dengan nilai 10 miliar dollar AS. Pendapatan petambak bisa Rp 8 juta per ha per bulan dengan tenaga kerja 400.000 orang.

Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18 persen potensi) untuk Gracilaria, setiap tahun dapat dihasilkan 4 juta ton rumput laut kering setara dengan 2 miliar dollar AS, pendapatan petambak Rp 3 juta per ha per bulan, dan lapangan kerja tercipta 1 juta orang.

Jika 1 juta ha perairan laut (4 persen potensi) dikembangkan untuk budidaya Eucheuma spp, dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya 20 miliar dollar AS. Pendapatan pembudidaya Rp 12 juta per ha per bulan dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.

Jika diproses lebih lanjut, rumput laut bisa menghasilkan sekitar 500 produk hilir (end products), termasuk berbagai produk farmasi dan kosmetik, yang nilai ekonominya bisa berlipat ganda.

Sudah tentu resep teknikal pembangunan perikanan di atas hanya bisa mujarab jika kebijakan politik-ekonomi, terutama fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, iklim investasi, dan otonomi daerah, bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor kelautan dan perikanan. Peringatan Hari Nusantara dapat menjadi momentum untuk mengubah paradigma pembangunan berbasis daratan menjadi berbasis kelautan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar