Peta
Jalan Menuju Bebas Korupsi
Masdar Hilmy, DOSEN IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
Sumber
: KOMPAS, 23 Desember
2011
Kebenaran yang tidak sistemik
akan terkalahkan oleh kebatilan yang sistemik
(Ali, Sahabat Nabi Muhammad SAW)
Pemberitaan korupsi di media kian memiriskan
hati. Sekadar menyegarkan ingatan kita, terdapat 175 kepala daerah—terdiri atas
17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota—yang tersangkut korupsi. Hampir
setiap pekan seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Pendek kata,
tiada hari tanpa berita dan analisis tentang korupsi di media.
Yang menjadi pertanyaan klasik adalah, meski
sudah banyak yang mendapatkan hukuman, mengapa korupsi yang melibatkan kepala
daerah masih saja terjadi? Mengapa korupsi bisa bersanding dengan kesalehan?
Ada apa dengan bangsa ini?
Meski tak mudah dijawab, tak tersedianya peta
jalan yang terukur dan terstruktur menuju Indonesia bebas korupsi merupakan
salah satu faktor signifikan di balik lambannya pemberantasan korupsi.
Mengakhiri 2011 dan menyongsong 2012, inilah refleksi paling relevan sekaligus
tantangan paling nyata bagi negeri yang tengah bergelut dengan endemi korupsi.
Tanpa
Integritas
Selama ini pemberantasan korupsi terkesan
berjalan sporadis, fragmentatif, dan setengah-setengah. Upaya pemberantasan
korupsi terkesan tebang pilih akibat kompromi politik tingkat tinggi. Sejumlah
kasus megakorupsi yang menyeret nama-nama penting menguap begitu saja. Tidak
berlebihan publik menyangsikan etos, komitmen, dan integritas penyelenggara
negara dalam pemberantasan korupsi.
Terapi
Gagal
Ibarat mengobati penyakit kanker, proses
terapi tak kunjung memberikan harapan kesembuhan. Bertahan dari kematian saja
sudah luar biasa. Barangkali analogi semacam inilah yang sedang dialami bangsa
ini dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu pengobatan komprehensif yang
mencakup seluruh level; level moral-psikologis dan level fisik-biologis.
Di tingkat moral-psikologis, bangsa ini
tengah mengidap krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara negara untuk
memberantas praktik korupsi hingga ke akar-akarnya. Sementara itu, di tingkat
fisik-biologis, persoalan korupsi di Indonesia memiliki anatomi yang hampir
muskil disembuhkan dalam waktu singkat.
Ini semua karena persoalan korupsi di negeri ini
sangat kompleks, rumit, dan multifaset. Ia bukan saja sebagai kebiasaan buruk
individu yang bereskalasi menjadi kebiasaan buruk kolektif, melainkan juga
karena korupsi telah berjalan sistemik, bertali-temali dengan faktor-faktor
ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.
Pada tingkat ekstrem, kejahatan korupsi
bahkan telah menyentuh kesadaran eksistensial bangsa. Seolah berlaku asumsi,
tiada cara lain ”menjadi” Indonesia kecuali melalui korupsi. Kompleksitas
semacam inilah yang membuat persoalan korupsi kian sulit diurai. Siapa pun
presidennya, secanggih apa pun peraturan dan lembaga dibuat, siapa pun ketua
KPK-nya, rasanya sulit menghentikan laju korupsi di negeri ini. Padahal,
mengidentifikasi dan mengurai persoalan korupsi merupakan prasyarat guna
merumuskan peta jalan menuju Indonesia bebas korupsi.
Peta jalan ini berisi pemetaan terhadap
anatomi persoalan korupsi, akar penyebab, langkah solusi, penentuan skala
prioritas, hingga penentuan jangka waktu penanganan bertahap dan simultan;
pendek, menengah, atau panjang. Dengan cara ini, kita dapat mengetahui secara
obyektif di mana posisi kita dalam agenda pemberantasan korupsi dan kapan
bangsa ini bisa terbebas dari endemi korupsi.
Persoalannya, pernahkan bangsa ini memikirkan
dan menyusun peta jalan komprehensif menuju Indonesia bebas korupsi? Inilah
inti persoalan korupsi di negeri ini. Upaya pemberantasan korupsi tidak pernah
menyentuh akar persoalan sesungguhnya karena dilakukan secara sporadis,
fragmentatif, dan tidak berintegritas. Memenjarakan koruptor ternyata tidak
menjerakan yang lain. Sebagai kejahatan luar biasa dan musuh bersama,
semestinya agenda pemberantasan korupsi merepresentasikan upaya terkonsentrasi
dari seluruh komponen bangsa.
Kenyataannya, agenda pemberantasan korupsi
selalu diasumsikan menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah terpilih.
Padahal, pemerintah terpilih merupakan bagian dari sistem politik makro yang
juga korup. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah mampu menjalankan
agenda pemberantasan korupsi jika di dalam dirinya tidak bersih dari korupsi?
Analoginya, bagaimana mungkin membersihkan lantai dengan sapu kotor?
Struktur
Budaya Politik
Kompleksitas persoalan korupsi terletak pada
kenyataan telah melembaganya perilaku korupsi di setiap lini kehidupan, dari
individu hingga kolektif, dari privat hingga publik, dari swasta hingga negeri,
dan seterusnya. Kultur kolektif semacam ini lama-kelamaan menciptakan jejaring
kekuasaan yang bersifat quasi-koersif bagi setiap individu yang memasukinya.
Jika di negara dengan indeks korupsi rendah korupsi dianggap penyimpangan, di
negeri ini korupsi dianggap normal, memandu dan menginspirasi kejahatan politik
secara lebih sistemik.
Pada kenyataannya, realitas jagat politik di
negeri ini digerakkan oleh dua dunia: ”dunia tampak” dan ”dunia tidak tampak”.
Dunia yang tampak adalah seluruh norma dan mekanisme politik yang diatur secara
eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, dunia tidak tampak
adalah realitas di balik layar yang berisi lobi, kontrak, dan kesepakatan
politik tidak tertulis yang justru jauh lebih dominan ketimbang dunia yang
tampak. Termasuk dalam konteks ini adalah dana politik yang peredarannya mudah
terendus, tetapi sulit teridentifikasi.
Pada tingkat struktur di permukaan, jagat
politik kita—seolah-olah—digerakkan oleh dunia yang tampak. Ada banyak
undang-undang politik dan lembaga yang didesain untuk menghentikan laju
korupsi. Namun, itu semua tidak membuat ciut nyali para (calon) koruptor. Hal
ini karena pada tingkat struktur yang lebih dalam jagat politik kita sebenarnya
lebih banyak digerakkan oleh dunia yang tidak tampak itu. Akibatnya, siapa pun
yang memimpin, secanggih apa pun jerat-jerat hukum dibuat, negeri ini sulit
terbebas dari endemi korupsi. Pernyataan Ali sebagaimana dikutip di awal
tulisan ini seharusnya menyadarkan dan menginspirasi seluruh komponen bangsa,
terutama para penyelenggara dan pengambil kebijakan negara, guna merumuskan
peta jalan yang terukur dan terstruktur menuju Indonesia bebas korupsi. Bisakah
kita menjadi Indonesia tanpa korupsi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar