Jumat, 23 Desember 2011

Setelah UU BPJS DIsahkan


Setelah UU BPJS Disahkan
Kartono Mohamad, MANTAN KETUA UMUM PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 23 Desember 2011



Setelah tarik ulur cukup ramai antara parlemen dan pemerintah, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan menjadi undang-undang.

Dapat dikatakan bahwa UU BPJS memperbaiki atau bahkan merevisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam UU BPJS ditegaskan bahwa setiap penduduk Indonesia (termasuk orang asing) wajib menjadi peserta sistem jaminan sosial, akan hadir dua BPJS (dari tarik-menarik antara empat dan satu), menetapkan badan pengawas, dan menekankan sifat BPJS yang nirlaba.

Meskipun demikian, masih perlu waktu cukup lama sebelum rakyat benar-benar dapat menikmati jaminan sosial, seperti tidak lagi harus membayar sendiri ketika berobat jalan maupun menginap di rumah sakit. Masih banyak hal yang harus disiapkan dan ditata sebelum sistem jaminan sosial berjalan penuh.

Hal pokok yang harus dilakukan pemerintah adalah membentuk BPJS dengan segala kelengkapannya, menetapkan besaran iuran yang harus dibayar oleh peserta, hingga memikirkan mekanisme penarikan iuran. Untuk pegawai negeri dan pekerja formal, penarikan akan lebih mudah karena ada pemberi kerja yang dapat diminta memotong gaji. Namun, untuk pekerja nonformal, perusahaan kecil dengan karyawan di bawah 10 orang, dan pekerja mandiri, perlu dicarikan mekanisme lain.

Penarikan Iuran

Cara pertama adalah menggunakan uang pajak. Dari pajak yang diterima negara, sebagian dialokasikan untuk membiayai jaminan sosial. Ingmar Bergman, sutradara film Swedia tahun 1960-an, mengkritik cara ini. Ia mengatakan bahwa mereka yang bekerja keras harus membiayai kesejahteraan kaum hippies yang malas bekerja.

Cara lain adalah menambahkan sejumlah persentase tertentu di atas pajak perorangan (penghasilan) seperti di Australia. Cara ini secara sosial mempunyai makna positif, yaitu yang berpenghasilan besar membantu yang berpenghasilan kecil.

Untuk negara yang sebagian besar penduduknya sudah rajin membayar pajak dan tidak banyak dikorupsi, cara pembiayaan melalui pajak akan lebih praktis. Namun, untuk negara yang jumlah pembayar pajaknya masih kecil, seperti Indonesia, ditambah tingginya angka korupsi, pembiayaan melalui pajak akan sangat memberatkan negara. Banyaknya penduduk dan meningkatnya biaya pengobatan membuat pajak yang terkumpul nantinya tidak cukup lagi untuk biaya jaminan sosial.

Cara lain adalah memotong gaji setiap peserta. Sekarang sudah ada dua jalur untuk itu, yaitu melalui Askes untuk pegawai negeri dan melalui Jamsostek untuk karyawan perusahaan swasta. Setelah ada BPJS, seharusnya hanya ada satu pintu untuk penarikan iuran melalui pemotongan gaji dan besarannya pun harus disamakan.

Hal yang sulit adalah menjangkau perusahaan kecil yang sering tak terdaftar, seperti toko, bengkel, dan salon. Untuk pekerja mandiri, seperti pedagang kios, pasar, dan sopir, perlu dipikirkan beberapa cara. Salah satunya adalah mewajibkan penyisihan sekian persen dari tabungan mereka di bank (sekarang banyak pedagang kecil mempunyai tabungan di bank), seperti dilakukan Singapura. Bisa juga dengan mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok-kelompok kerja (guild) atau koperasi. Yugoslavia (dulu) menggunakan mekanisme koperasi buat petani, pekerja informal, atau pekerja mandiri.

Bagaimana untuk anggota TNI dan Polri? Mereka yang menjadi anggota TNI/Polri aktif selayaknya ditanggung negara seluruh biaya perawatan kesehatannya karena risiko tugas mereka. Akan tetapi, mereka tetap harus membayar iuran untuk jaminan kesehatan keluarganya.

Untuk yang miskin, sesuai dengan UU BPJS, iuran dibayar oleh pemerintah. Namun, apa pun cara yang dipilih, pelaksanaannya memang harus bertahap, termasuk bagaimana mengintegrasikan jaminan kesehatan daerah (jamkesda) ke dalam sistem jaminan nasional ini.

Pengawasan

Dengan menguasai dana pembiayaan pengobatan seluruh rakyat Indonesia, BPJS mempunyai kekuatan besar untuk memaksa penyedia layanan (rumah sakit, klinik, dokter, sarana diagnostik) menjaga mutu, efisiensi, ketepatan waktu, dan efektivitas layanan, sekaligus menghapus sistem fee for service yang mudah disalahgunakan dan mahal.

BPJS juga mempunyai posisi tawar kuat untuk menekan harga obat. Tugas pengawasan mutu ini dapat diserahkan kepada sebuah badan khusus yang dibentuk BPJS atau badan pengawas yang diamanatkan undang-undang. Artinya, selain mengawasi BPJS juga sekaligus mengawasi penyedia pelayanan.

Keuntungan lain dari adanya satu BPJS adalah efisiensi karena biaya birokrasi BPJS hanya ada di satu BPJS. Alokasi untuk pemasaran dapat digunakan untuk sosialisasi BPJS dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar tetap sehat. Dana yang tersedia dapat dihemat kalau rakyat tetap sehat. Idealnya, kalau BPJS berjalan dengan baik, beban Kementerian Kesehatan akan banyak terkurangi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar