Setelah
UU BPJS Disahkan
Kartono Mohamad, MANTAN KETUA UMUM PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 23 Desember
2011
Setelah tarik ulur cukup ramai antara
parlemen dan pemerintah, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan
menjadi undang-undang.
Dapat dikatakan bahwa UU BPJS memperbaiki
atau bahkan merevisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam UU BPJS
ditegaskan bahwa setiap penduduk Indonesia (termasuk orang asing) wajib menjadi
peserta sistem jaminan sosial, akan hadir dua BPJS (dari tarik-menarik antara
empat dan satu), menetapkan badan pengawas, dan menekankan sifat BPJS yang
nirlaba.
Meskipun demikian, masih perlu waktu cukup
lama sebelum rakyat benar-benar dapat menikmati jaminan sosial, seperti tidak
lagi harus membayar sendiri ketika berobat jalan maupun menginap di rumah
sakit. Masih banyak hal yang harus disiapkan dan ditata sebelum sistem jaminan
sosial berjalan penuh.
Hal pokok yang harus dilakukan pemerintah
adalah membentuk BPJS dengan segala kelengkapannya, menetapkan besaran iuran
yang harus dibayar oleh peserta, hingga memikirkan mekanisme penarikan iuran. Untuk
pegawai negeri dan pekerja formal, penarikan akan lebih mudah karena ada
pemberi kerja yang dapat diminta memotong gaji. Namun, untuk pekerja nonformal,
perusahaan kecil dengan karyawan di bawah 10 orang, dan pekerja mandiri, perlu
dicarikan mekanisme lain.
Penarikan
Iuran
Cara pertama adalah menggunakan uang pajak.
Dari pajak yang diterima negara, sebagian dialokasikan untuk membiayai jaminan
sosial. Ingmar Bergman, sutradara film Swedia tahun 1960-an, mengkritik cara
ini. Ia mengatakan bahwa mereka yang bekerja keras harus membiayai
kesejahteraan kaum hippies yang malas bekerja.
Cara lain adalah menambahkan sejumlah
persentase tertentu di atas pajak perorangan (penghasilan) seperti di
Australia. Cara ini secara sosial mempunyai makna positif, yaitu yang
berpenghasilan besar membantu yang berpenghasilan kecil.
Untuk negara yang sebagian besar penduduknya
sudah rajin membayar pajak dan tidak banyak dikorupsi, cara pembiayaan melalui
pajak akan lebih praktis. Namun, untuk negara yang jumlah pembayar pajaknya
masih kecil, seperti Indonesia, ditambah tingginya angka korupsi, pembiayaan
melalui pajak akan sangat memberatkan negara. Banyaknya penduduk dan
meningkatnya biaya pengobatan membuat pajak yang terkumpul nantinya tidak cukup
lagi untuk biaya jaminan sosial.
Cara lain adalah memotong gaji setiap
peserta. Sekarang sudah ada dua jalur untuk itu, yaitu melalui Askes untuk
pegawai negeri dan melalui Jamsostek untuk karyawan perusahaan swasta. Setelah
ada BPJS, seharusnya hanya ada satu pintu untuk penarikan iuran melalui
pemotongan gaji dan besarannya pun harus disamakan.
Hal yang sulit adalah menjangkau perusahaan
kecil yang sering tak terdaftar, seperti toko, bengkel, dan salon. Untuk
pekerja mandiri, seperti pedagang kios, pasar, dan sopir, perlu dipikirkan
beberapa cara. Salah satunya adalah mewajibkan penyisihan sekian persen dari
tabungan mereka di bank (sekarang banyak pedagang kecil mempunyai tabungan di
bank), seperti dilakukan Singapura. Bisa juga dengan mengorganisasikan mereka
ke dalam kelompok-kelompok kerja (guild) atau koperasi. Yugoslavia (dulu)
menggunakan mekanisme koperasi buat petani, pekerja informal, atau pekerja
mandiri.
Bagaimana untuk anggota TNI dan Polri? Mereka
yang menjadi anggota TNI/Polri aktif selayaknya ditanggung negara seluruh biaya
perawatan kesehatannya karena risiko tugas mereka. Akan tetapi, mereka tetap
harus membayar iuran untuk jaminan kesehatan keluarganya.
Untuk yang miskin, sesuai dengan UU BPJS,
iuran dibayar oleh pemerintah. Namun, apa pun cara yang dipilih, pelaksanaannya
memang harus bertahap, termasuk bagaimana mengintegrasikan jaminan kesehatan
daerah (jamkesda) ke dalam sistem jaminan nasional ini.
Pengawasan
Dengan menguasai dana pembiayaan pengobatan
seluruh rakyat Indonesia, BPJS mempunyai kekuatan besar untuk memaksa penyedia
layanan (rumah sakit, klinik, dokter, sarana diagnostik) menjaga mutu,
efisiensi, ketepatan waktu, dan efektivitas layanan, sekaligus menghapus sistem
fee for service yang mudah disalahgunakan dan mahal.
BPJS juga mempunyai posisi tawar kuat untuk
menekan harga obat. Tugas pengawasan mutu ini dapat diserahkan kepada sebuah
badan khusus yang dibentuk BPJS atau badan pengawas yang diamanatkan
undang-undang. Artinya, selain mengawasi BPJS juga sekaligus mengawasi penyedia
pelayanan.
Keuntungan lain dari adanya satu BPJS adalah
efisiensi karena biaya birokrasi BPJS hanya ada di satu BPJS. Alokasi untuk
pemasaran dapat digunakan untuk sosialisasi BPJS dan pendidikan kesehatan
kepada masyarakat agar tetap sehat. Dana yang tersedia dapat dihemat kalau
rakyat tetap sehat. Idealnya, kalau BPJS berjalan dengan baik, beban
Kementerian Kesehatan akan banyak terkurangi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar