Selasa, 13 Desember 2011

Kepemimpinan ASEAN dan Politik LN


Kepemimpinan ASEAN dan Politik LN
Dion Maulana Prasetya, PENELITI MUDA CENTER FOR EAST ASIA STUDIES
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG (UMM)
Sumber : SUARA KARYA, 13 Desember 2011




Dalam pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-19 Association of South East Asian Nations (ASEAN) Ke-19, baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ASEAN harus mampu mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya dalam berinteraksi dengan mitra wicara, dan dalam kesertaan ASEAN di forum-forum intra kawasan. Poin tersebut merupakan salah satu dari lima hal pokok yang menjadi bahasan pokok pada rangkaian kegiatan KTT ASEAN di Bali dan KTT terkait lainnya.

Empat hal lain yang dibahas berkaitan dengan langkah konkrit untuk memperkuat tiga pilar komunitas ASEAN, penguatan pertumbuhan ekonomi kawasan, menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara serta Asia Timur, dan pelaksanaan keempat hal tersebut secara bersamaan.

Mengapa Presiden SBY menekankan pentingnya menjaga sentralitas dan kepemimpinan ASEAN di dalam percaturan politik global? Sekurang-kurangnya ada dua alasan yang mendasarinya.

Pertama, ASEAN tidak ingin dijadikan sebagai ajang perebutan pengaruh antara Amerika Serikat (AS) dan China. Kedua, sepanjang sejarah, sukses sebuah integrasi sangat dipengaruhi oleh kekuatan besar (great power). Tidak ada integrasi yang sukses murni karena kerja sama fungsional. Tampaknya ASEAN mencoba merubah sejarah, sukses berintegrasi, tanpa bantuan negara adidaya.

Tantangan Sentralitas dan Kepemimpinan

Tidak dapat dielakkan lagi, saat ini terjadi persaingan yang ketat antara AS dan China. Kedua negara tersebut berusaha menancapkan pengaruhnya di percaturan politik internasional, tidak terkecuali di kawasan Asia Tenggara yang berkembang sangat dinamis. Semakin intensifnya ASEAN dalam menggaet aktor-aktor utama internasional ke dalam kerangka multilateralisme, merupakan kemajuan yang sangat positif bagi perdamaian dunia.

Cara ini dapat menghindarkan negara-negara menerapkan politik perimbangan kekuatan (balance of power) yang dominan di era Perang Dunia dan Perang Dingin. Oleh sebab itulah, ASEAN bertekad untuk mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya dalam berinteraksi dengan mitra wicara, dan dalam kesertaan ASEAN di forum-forum intra kawasan.

Akan tetapi, penerapan kebijakan tersebut tidaklah mudah, terutama karena ASEAN masih belum 'satu suara' dalam merespon isu-isu global. Kesepakatan untuk satu suara baru akan dijalankan pada 2020, sesuai kesepakatan pada KTT ke-19 kemarin.

Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena AS dan China terus berkompetisi untuk menancapkan pengaruh di Asia Tenggara, sedangkan ASEAN masih belum satu suara dalam merespon isu tersebut.

Salah satu permasalahan yang tampak di depan mata adalah sengketa Laut China Selatan, antara China dan Filipina. Secara terbuka AS menyatakan mendukung Filipina dalam mempertahankan kekuasaan lautnya, termasuk Laut China Selatan. Hal ini tentunya menciptakan ketegangan baru di kawasan, dan menjadi tantangan besar bagi ASEAN untuk memainkan peran sentralnya dalam politik kawasan.

Sentralitas peran dan kepemimpinan ASEAN di dalam politik internasional kerap kali berbenturan dengan kepentingan negara besar seperti AS. AS memiliki sentralitas peran tersendiri di kawasan Asia Pasifik, melalui US PACOM (Komando Pasifik AS).

AS dengan Komando Pasifik-nya, memiliki misi melindungi dan membela kepentingan-kepentingan AS sendiri, semua wilayah sekutu dan kepentingannya. Bersama semua Negara Sekutu dan negara mitra, mereka menjunjung keamanan regional dan mencegah agresi; dan jika tidak bisa dicegah, AS siap menanggapi seluruh keadaan darurat militer demi memulihkan stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik. Fakta ini yang menjadi tantangan besar bagi ASEAN untuk memainkan peran sentral dan kepemimpinannya.

Mengukir Sejarah Baru?

Sepanjang sejarah, kesuksesan integrasi sangat ditentukan oleh kekuatan besar. Sebagai contoh, kesuksesan integrasi Eropa sangatlah ditentukan oleh dukungan AS dengan program Marshall Plan-nya pada tahun 1948-1951. Program Marshall Plan atau European Recovery Program tersebut ditujukan untuk membantu Eropa memperbaiki perekonomian pasca Perang Dunia II. Program itu ternyata sukses dalam menstabilkan kondisi perekonomian negara-negara Eropa Barat.

Selain dukungan ekonomi, AS juga memberikan payung perlindungan terhadap sekutu-sekutunya di Eropa dengan membentuk North Atlantic Treaty Organization (NATO). Pakta pertahanan ini memastikan keamanan negara-negara Eropa Barat dari ekspansi Uni Soviet dan musuh-musuh lainnya. Dengan dukungan yang maksimal dari AS tersebut, integrasi negara-negara Eropa Barat menjadi Uni Eropa menjadi keniscayaan tersendiri.

Berbeda dengan proses integrasi Uni Eropa, ASEAN justru berusaha melawan sejarah dengan bertekad mempertahankan sentralitas dan kepemimpinannya, selagi membangun integrasi yang lebih dalam di antara negara-negara anggota ASEAN. Ada dua skenario yang mungkin akan terjadi berkaitan dengan hal ini: ASEAN sukses mengukir sejarah baru, integrasi tanpa bantuan negara besar atau justru ASEAN akan kehilangan sentralitas dan kepemimpinan karena dijadikan ajang perebutan pengaruh negara-negara besar.

Satu hal yang pasti, pemilihan kebijakan yang moderat seperti itu terbukti lebih sulit daripada kebijakan yang memihak. Politik luar negeri bebas aktif RI merupakan contoh nyata, bahwa kebijakan tersebut hanya ada di alam pikiran, tidak nyata. Karena, yang nyata adalah keberpihakan Soekarno kepada Uni Soviet dan Soeharto kepada Amerika Serikat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar