“Allah
Biyung”
M. Bambang Pranowo, GURU BESAR UIN CIPUTAT,
DIREKTUR LEMBAGA KAJIAN ISLAM DAN
PERDAMAIAN
Sumber : SINDO, 22 Desember 2011
Kiai Haji Mustofa Bisri, pemimpin
Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, dalam acara Kick Andy di Metro
TV Oktober lalu menyatakan bahwa dia tidak pernah melakukan salat istikharah
untuk minta petunjuk Allah dalam memutuskan sebuah pilihan.
Padahal bagi kaum santri, salat istikharah hampir-hampir menjadi kewajiban agar pilihannya benar seperti yang dikehendaki Allah. Lantas, kenapa kiai yang penyair ini tak mau melakukan salat istikharah? Jawabnya: karena ibu saya masih hidup. “Saya selalu bertanya kepada ibu untuk menentukan pilihan jika dihadapkan pada beberapa persoalan. ’Jawaban ibu itulah yang saya pegang’,” kata Kiai Mustofa Bisri. Apa yang dikatakan Kiai Bisri juga dilakukan Amien Rais. Pak Amien yang terkenal gagah berani melawan rezim Orde Baru ternyata akan patuh seratus persen dengan apa yang dikatakan ibunya.
Bayangkan, ketika hampir semua partai politik, rakyat, TNI, dan para aktivis mendorong Amien Rais untuk jadi presiden RI keempat menggantikan Habibie, ternyata Pak Amien menolak. Semua orang kaget, kok Pak Amien menolak menjadi presiden, padahal suasana sangat kondusif untuk menjadikan Amien sebagai presiden. Kenapa? Ternyata, ibunya melarang Amien menjadi presiden. Dan Pak Amien pun manut. Pak Amien tak pernah bisa menolak permintaan ibunya. Itulah alasan sesungguhnya kenapa Pak Amien tak mau menjadi presiden menggantikan Habibie. (Hanum Salsabiela dalam Menapak Jejak Amien Rais,2010). Pak Amien dan Kiai Bisri sama-sama orang Jawa.
Bagi orang Jawa, ibu adalah segalagalanya. Ibu seolah pengganti Tuhan. Itulah sebabnya, kenapa ketika Lebaran orang Jawa berdesak-desakan ingin mudik menemui ibunya. Karena ibu adalah pusaka. Orang Jawa sering menyebut ibu sebagai “Gusti Allah ndonya” atau “Tuhan yang mengejawantah di dunia”. Orang Jawa kalau sakit atau menanggung derita yang berat, mulutnya akan mengucapkan kata-kata Allah Biyung… Allah Biyung! Maksudnya,Ya Allah Ya Ibu..Ya Allah Ya Ibu! Di Tegalroso, Magelang, tempat penelitian saya untuk disertasi dalam bidang sosial antropologi di Monash University (“Creating Islamic Tradition in Rural Java”, 1991), da kisah menarik tentang orang yang tidak berbakti kepada orang tua.
Pak Kardi,orang yang terkenal brangasan di kampungnya, suka menyiksa ibunya, Mbok Piyah. Suatu ketika, Pak Kardi bertengkar dengan ibunya. Dia tak bisa mengendalikan emosinya sehingga memukul simboknyadan mengejar Mbok Piyah untuk memukulnya. Untung Mbok Piyah selamat karena ditolong Pak Purwanto dan disembunyikan di rumahnya. Saking sakitnya, Mbok Piyah berkata, “Saya tidak akan melupakan dan memaafkan perangai buruk Kardi. Ia pun berujar marah: ‘Lihat siapa yang akan mati dulu.Aku atau Kardi’.” Ternyata dua minggu kemudian Pak Kardi sakit keras.
Pak Kardi berobat ke manamana, tapi sakitnya tak sembuh-sembuh. Orang-orang kampung pun ngrasani, penyakit Pak Kardi tidak akan disembuhkan Allah jika tidak minta maaf kepada ibunya.Pak Kardi itu kuwalat karena melawan ibunya. Pak Kardi akan terus menderita, tidak mati tidak hidup karena durhaka kepada ibunya. Karena kasihan melihat penderitaan Pak Kardi, beberapa warga desa menghubungi ibunya agar memaafkan anaknya.Mula-mula Mbok Piyah enggan memaafkan Pak Kardi, tapi lama-lama sebagai seorang ibu, dia akhirnya memaafkan anaknya itu.
Apalagi orang-orang dusun itu mengambil contoh kisah Alqomah, salah seorang sahabat Rasul, yang durhaka kepada ibunya dan akhirnya ibunya memaafkan dia. Begitu ibunya memaafkan, Alqomah wafat. Sama dengan kisah Pak Kardi. Setelah ibunya memaafkan, Pak Kardi pun wafat. Apa yang menarik dari kisah Pak Kardi yang durhaka kepada ibunya itu? Orang Tegalroso mengaitkannya dengan kisah Alqomah, salah seorang sahabat Nabi yang menderita menjelang kematiannya karena pernah durhaka kepada orang tuanya.
Pak Lurah Tegalroso, Sudigdo, misalnya, dalam beberapa obrolannya tidak pernah merujuk kisah Malin Kundang atau Sangkuriang yang bermasalah dengan ibunya sehingga mereka dikutuk. Tapi Pak Lurah membandingkannya dengan Alqomah. Ini menggambarkan,dalam konsep penghormatan orang tua, transformasi nilai-nilai Islam telah merasuk ke dalam tradisi Jawa. Sungkem yang dulu hanya merupakan penghormatan kepada orang tua, khususnya ibu, kini mengalami transformasi makna yang lebih mendalam: sungkem bukan hanya merupakan penghormatan kepada ibu,tapi juga sebuah upaya “mencium bau surga”.
Transformasi ini tampaknya muncul dari sebuah hadis Nabi bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Sebuah hadis menceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya sahabatnya. Siapa orang harus kita hormat? Jawab Rasul: ibumu. Terus siapa lagi: ibumu. Siapa lagi: ibumu. Siapa lagi: bapakmu! Hadis ini pun menggambarkan betapa mulianya seorang ibu. Sampai-sampai orang Jawa, jika menghadapi masalah besar, akan berujar Allah Biyung…Allah Biyung.
Dari gambaran itu, sebutan Allah Biyung merupakan simbol proses santrinisasi masyarakat Jawa secara menyeluruh yang luput dari pengamatan Geertz.Dan Allah Biyung inilah yang menggerakkan orang Jawa untuk mudik kapan pun punya kesempatan untuk sungkem kepada orang tuanya. Pinjam konsep peradabannya Redfield, Allah Biyung jelas merupakan ekspresi dari simbol tradisi besar Jawa. Jika kemudian tradisi besar Allah Biyung itu bertautan dengan ajaran Islam, persoalannya siapa yang membonceng atau diboncengi?
Jika kita membaca kebudayaan besar di Benua Atlantik yang hilang karya Prof Arysio Nunes dos Santos dari Brasil (Atlantis the Lost Continents Finally Found, 2005), di mana Pulau Jawa menjadi pusat peradaban masa lalu yang mengubah sejarah dunia (30.000-11.000 tahun lalu), maka bukan tidak mungkin, konsep kebaktian kepada ibu yang luar biasa itu asal-muasalnya dari ajaran para leluhur Jawa yang kemudian memperoleh penguatan dari ajaran Islam. Who knows! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar