Perempuan
dalam Nalar Uang
Mohamad Fauzi Sukri, MAHASISWA SASTRA INGGRIS (AMERICAN STUDIES)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 22 Desember 2011
Inilah konsensus umum di masyarakat kita: perempuan identik dengan
uang. Kisah perempuan Indonesia terdapat dalam lembaran-lembaran uang. Tapi
kisah
perempuan dalam nalar uang tak sepenuhnya penuh kuasa dan wibawa, terkadang
penuh luka dan stigma. Dan sekarang ada kecenderungan perempuan terjerat uang
korupsi.
Ibunda Ir Sukarno punya pengalaman getir dengan uang. “Dengan
melakukan
ini (menumbuk padi), aku menghemat uang satu sen,” kata Idayu Rai
kepada
Sukarno kecil pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya
panas matahari sampai telapak tangannya merah dan melepuh. Idayu Rai harus berjualan
di pasar untuk membantu keuangan suaminya. “Dan dengan uang
satu sen, kita dapat membeli sayuran, Nak.” Sukarno tersentak dan
insaf perihal
kemiskinan dan kegigihan ibunya. Maka, sejak hari itu dan
seterusnya, selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke
sekolah Sukarno kecil menumbuk padi untuk ibunya (Cindy Adams, 1966: 31).
Pada masa kuliah dan menjalankan pergerakan kemerdekaan, Sukarno banyak
berutang budi kepada istrinya yang kedua, Inggit Garnasih. Kemerdekaan Indonesia
banyak berutang kepada Inggit. Dialah yang telah membiayai agenda pergerakan Sukarno,
untuk suguhan makan pertemuan politik yang diadakan Sukarno di rumahnya. Dialah
yang mengirimi bekal semasa Sukarno menjalani hukuman penjara di Sukamiskin, dan
seterusnya, dengan uang dari hasil jerih payah keringat usaha Inggit sendiri.
Dan kita bisa membuat daftar panjang tentang kegetiran, keuletan, keperkasaan,
dan perjuangan perempuan dalam menghasilkan uang.
Kuasa
Di pasar-pasar di Indonesia, baik tradisional maupun modern,
perempuan mendominasi roda perputaran uang. Pekerja perbankan banyak didominasi
perempuan. Dan kita biasanya langsung berhadapan dengan teller perempuan.
Bendahara, yang identik dengan uang, dalam berbagai kegiatan,
acara, dan
berbagai lembaga, banyak dipercayakan kepada dan dipegang oleh
perempuan.
Contoh yang fenomenal barangkali adalah mantan Menteri Keuangan
Indonesia
dan sekarang Direktur Pelaksana Bank Dunia untuk kawasan Asia,
yang pernah
terpilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia oleh Emerging
Markets: Sri Mulyani.
Karena itu, ada kesadaran bahwa pemberdayaan perempuan harus
melibatkan
pemberian modal bagi perempuan. Contoh yang masyhur adalah apa
yang dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus. Yunus sejak
awal sudah menyadari dan menargetkan pemberian kredit mikro kepada perempuan.
Maka, sebanyak 50 persen lebih dana kredit diberikan kepada perempuan.
“Makin banyak pinjaman yang kami berikan kepada perempuan miskin, semakin
saya menyadari bahwa kredit yang disalurkan kepada perempuan lebih cepat membawa
perubahan daripada yang disalurkan kepada laki-laki,” kata Yunus (2007: 70)
dalam Bank Kaum Miskin (Grameen Bank). Maka, dalam pidato Nobel
Perdamaian di Oslo pada 10 Desember, Yunus memberi apresiasi penuh untuk
perempuan: “Berkat hadiah Anda, sembilan perempuan desa Bangladesh yang
berbangga ini telah hadir di upacara hari ini sebagai penerima Nobel, memberikan
makna yang sama sekali baru bagi Hadiah Nobel Perdamaian.” Kita banyak berutang
budi kepada perempuan perihal keuangan.
Di Jawa, kita ingat wejangan Ki Ageng Suryomentaram tentang
kriteria untuk dumadi perempuan. Salah satunya adalah “wanita kedah
gemi, nastiti, surti, ngati-ati” (wanita mesti hemat, tak berlebihan dalam
belanja, hati-hati mengelola rezeki, dan pintar dalam administrasi rumah
tangga)” (Bandung Mawardi, 2011). Ini adalah wejangan dan ajaran penting bagi
perempuan dalam menghadapi, mengelola, dan memelihara keuangan rumah tangga. Wejangan
ini juga sesuai dengan nalar pengelolaan keuangan modern saat ini. Perempuan
dalam nalar uang menemukan kecocokan dan kekuasaan, bahkan pembebasan.
Itulah salah satu alasan kaum feminis esensialis untuk memasukkan
perempuan
dalam penentuan hajat orang banyak dalam politik anggaran dan keuangan
publik. Secara alami, perempuan tidak rentan terhadap korupsi, manipulasi, dan
rekayasa keuangan rakyat. Naluri perempuan adalah mengayomi, memelihara, menjaga,
dan mengarah pada kesejahteraan rakyat seperti saat mereka menghadapi keluarga
sendiri.
Dan memang banyak kasus korupsi dilakukan oleh laki-laki, tapi
juga tidak bisa dimungkiri bahwa sekarang ada kecenderungan bahwa perempuan
juga ada yang menjadi tersangka, seperti Artalyta Suryani dan Inong Malinda “Dee”,
Mindo Rosalina Manulang, atau yang masih dalam proses hukum, seperti Nunun
Nurbaetie, Angelina Sondakh, Miranda Goeltom, dan sebagainya. Kita berharap hal
ini hanya sekadar jerat struktural korupsi dan jejaring korupsi yang tak bisa
dihindari dalam wabah korupsi yang melanda Indonesia.
Stigma
Selain itu, uang sering menyudutkan perempuan dengan stigma
perempuan mata duitan dan “matre” (materialistis). Pekerjaan perempuan hanya menghabiskan
dan memboroskan uang terus, yang sebenarnya lebih banyak terjadi dalam
masyarakat patriarkis yang tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk
menghasilkan uang. Maka, untuk merendahkan perempuan yang tak memiliki kuasa
dalam keuangan, mereka mencemooh dan memberi stigma kepada perempuan sebagai
mata duitan.
Uang juga sebagai pengesahan vonis ekonomis-seksis bahwa, jika
seorang pekerja/buruh itu perempuan, mereka mendapatkan gaji yang lebih sedikit
atau timpang dibanding pekerja lakilaki. Yang paling parah barangkali adalah
apa yang dialami oleh pekerja migran perempuan (TKW), yang lebih mendominasi
dibanding laki-laki. Mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa, tapi yang
sering kita temukan dalam berita adalah derita, luka, penganiayaan, bahkan
kematian mereka. Mereka menghasilkan uang, tapi mereka tidak mendapat
perlindungan hukum, tidak mendapat apresiasi, tidak mendapat penghargaan yang
layak.
Ternyata, meski perempuan bisa mendapatkan kebebasan dan kekuasaan
dalam nalar uang dan kuasa uang, perempuan juga masih sering mendapat
stigma buruk sebagai perempuan matre, mata duitan. Ya, bangsa ini
sering
memanfaatkan uang perempuan dan meludahkan sepahnya kepada
perempuan.
Ironis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar