Kemauan
Politik demi Hukum
Manunggal K Wardaya, KOORDINATOR SERIKAT PENGAJAR HAK ASASI
MANUSIA (SEPAHAM) INDONESIA, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED PURWOKERTO
Sumber
: SUARA MERDEKA, 13 Desember 2011
”Yang
ada di Indonesia saat ini bukan kemiskinan melainkan pemiskinan karena negara
membiarkan tumbuh suburnya korupsi”
DALAM penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi manusia (HAM), peran sentral dan vital disandang oleh
negara. Pasalnya, negara memiliki aparat penegak hukum dan birokrasi, dan dapat
memberdayakannya demi terealisasinya pelbagai jaminan hak dan kebebasan
manusia. Salah satu prestasi besar gerakan reformasi setelah pengesahan UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah pencantuman sejumlah klausul hak dan
kebebasan asasi manusia dalam UUD 1945.
Harapan akan kondisi yang lebih baik makin
menguat dengan ratifikasi International Covenant on Economic Social and Cultural
Right (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
pada September 2005.
Tak dapat dimungkiri ratifikasi dua
perjanjian internasional HAM itu dan Deklarasi HAM 1948 sebagai the
international bills of human rights merupakan kemajuan yang makin mengukuhkan
dasar hukum penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Tanah
Air.
Meskipun instrumen yang menjadi bekal
pemerintahan era reformasi kini lebih lengkap ketimbang pada masa Orba, capaian
dan implementasinya yang relatif lebih transparan dan demokratik ternyata tak
menunjukkan kemajuan signifikan. Memang beberapa hak dan kebebasan dasar dalam
bidang sipil dan politik yang terasa lebih baik, misalnya lebih terbukanya
ruang kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun beberapa hak sipil dan politik masih
teringkari dan bahkan mengalami kemunduran. Contohnya antara lain masih tidak
jelasnya nasib dan keberadaan sejumlah aktivis 1997/1998. Hingga kini tak ada
langkah serius pemerintah mengusut keberadaan mereka yang diduga keras
dihilangkan secara paksa.
Terkait dengan perlindungan terhadap pembela
hak asasi manusia, pemerintah juga setengah hati memberikan keadilan atas
terampasnya hak hidup Munir. Hal itu terbukti dengan masih tak terungkapnya
aktor yang mengotaki pembunuhan pembela hak asasi manusia tersebut.
Sementara itu, tataran implementasi kebebasan
beragama yang dijamin kukuh dalam Deklarasi HAM 1948, ICCPR, dan UUD 1945
justru mengalami kemerosotan. Publik melihat masih ada diskriminasi, perlakuan
istimewa (privilege), pengakuan, dan perlindungan hanya terhadap agama
tertentu yang mainstream, yang mayoritas. Padahal Pasal 4 ICCPR menyebutkan
beragama dan berkeyakinan adalah salah satu hak asasi manusia sebagai non-derogable
rights yang dalam masa kegentingan sekali pun tak dapat dikurangi.
Kemauan
Politik
Terkait dengan bidang ekonomi, sosial, dan
budaya, berbagai kasus kekerasan yang menimpa TKI menunjukkan lemahnya posisi
tawar negara melindungi pekerja migran.
Ketidakmampuan negara menciptakan lapangan
kerja di dalam negeri tak dibarengi dengan perlindungan hukum memadai dan
tindakan diplomatik yang preventif manakala warga negara mencari penghidupan di
negara lain.
Kesungguhan pemerintah menuntaskan kasus
korupsi pun tidak menggembirakan. Tahun lalu ikon korupsi uang pajak Gayus
Tambunan meski berstatus tahanan dapat berkeliaran. Pemberian fasilitas
terhadap koruptor adalah bukti ketidaksungguhan memerangi korupsi.
Tertangkapnya Nunun Nurbaetie, tersangka
kasus suap cek perjalanan terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur BI,
belum menjadi indikator keterjaminan penegakan hukum bila nanti aparat penegak
hukum tidak bisa menuntaskan kasus itu.
Tidak salah kiranya bahwa yang ada di
Indonesia bukan kemiskinan melainkan pemiskinan karena tindakan negara yang
secara sistematik membiarkan tumbuh suburnya korupsi yang pada akhirnya
menimbulkan konsekuensi ekonomi berat yang harus dipikul oleh rakyat.
Setumpuk instrumen hukum HAM yang dimiliki
Indonesia bukanlah tongkat ajaib yang bisa dalam sekejap mata membawa ke arah
yang lebih baik. Instrumen hukum apa pun, entah itu ratifikasi perjanjian
internasional, jaminan hak dan kebebasan dasar, baik dalam UUD maupun UU
organik, akan menjadi macan kertas tanpa ada implementasi yang konkret dan
kemauan politik kuat dari pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar