Siklus
Korupsi dan Koruptor
Romli Atmasasmita, GURU BESAR HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN,
ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI
NASIONAL DEMOKRAT (NASDEM)
Sumber : SINDO, 22 Desember 2011
Korupsi dalam pandangan masyarakat
internasional bukan kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan transnasional.
Ini berbeda dengan pengakuan masyarakat Indonesia bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan cara penanganan yang bersifat luar biasa pula, tetapi terbatas hanya sampai proses peradilan minus perlakuan di lembaga pemasyarakatan. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 hanya fokus pada masalah suap aktif dan pasif. Bahkan korupsi dalam lingkup aktivitas politik dipandang memiliki dampak signifikan dibandingkan dengan suap dalam lingkup aktivitas birokrasi sehingga muncul subjek hukum baru yang disebut political exposed persons (PEP’s).
Merujuk pada UU RI No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001, PEP’s belum secara eksplisit termasuk subjek hukum khusus yang dapat dipidana karena tindak pidana korupsi, sedangkan ketentuan subjek hukum ini menjadi penting untuk mengantisipasi Pemilu 2014 yang akan datang. Korupsi tumbuh dan berkembang dalam aktivitas kehidupan masyarakat baik di negara maju maupun berkembang. Semula korupsi merupakan resultan sistem birokrasi semata-mata, tetapi saat ini merupakan kolaborasi sektor publik yang korup dan sektor swasta yang berplat hitam.
Memutus mata rantai kolaborasi tersebut suatu keniscayaan, tetapi bukan suatu kemustahilan. Hanya diperlukan komitmen, keberanian, keteladanan, dan siap untuk menjadi martir dalam suatu sistem birokrasi khususnya di Indonesia yang terkenal korup. Kenaikan IPK Indonesia tahun 2001 dari 2,8 menjadi 3,00 membuktikan hal tersebut. Kenyataan korupsi di Indonesia sejak era Reformasi 1998 bagai pepatah “hilang satu tumbuh seribu” sehingga Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK, secara dini telah mengklaim ada kaderisasi koruptor di Indonesia walaupun masih perlu pembuktian.
Klaim Busyro juga mengandung sisi kontraproduktif karena potensial menciptakan eksklusivisme dalam tatanan kehidupan bangsa ini, baik sekarang maupun di masa mendatang. Langkah pemberantasan korupsi sejak era 1950-an sampai saat ini bukanlah menciptakan eksklusivisme sekelompok koruptor, melainkan bercita-cita menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan bebas KKN.
Sebaliknya Konvensi PBB Antikorupsi 2003 menegaskan bahwa negara wajib mewujudkan reintegration to society (Pasal 30 ayat 8), bukan membunuh dan memangsa habis sampai tujuh turunannya, apalagi dengan membangun kebun koruptor.
Memberantas di Hulu
Siapa yang harus disalahkan dalam perkembangan korupsi yang tidak terputus di Indonesia saat ini? Selama ini kita dan bahkan pejabat tinggi dan pimpinan lembaga penegak hukum masih suka beretorika daripada secara sungguh-sungguh dan bersikap korektif dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah diperintahkan undang-undang. Contoh penanganan sejak kasus BLBI, Century, Nazarudin, Nunun hingga Banggar DPR RI, semuanya mencerminkan retorika dalam pemberantasan korupsi.
Secara makro, korupsi adalah by-product dan efek samping negatif dari pembangunan nasional sehingga seharusnya sejak perencanaan pembangunan nasional secara implisit diletakkan ketentuan-ketentuan ketat dalam pengajuan dan perencanaan anggaran kementerian/lembaga serta dalam pembahasannya. Mekanisme itu harus dilakukan baik pada level pemerintah di bawah koordinasi Bappenas maupun pada level pembahasan di DPR RI melalui Banggar. Sampai saat ini tampak belum ada kesepakatan bersama pemerintah dan DPR RI untuk membuat ketentuan bersama mengenai hal tersebut.
Kasus Wa Ode seharusnya merupakan entry-point dan dipandang sebagai justice collaborator atas fakta bahwa celah korupsi telah terjadi sejak perencanaan dan pembahasan RAPBN/RAPBD. Kasus Wa Ode juga telah membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di hilir bukan lagi langkah efektif dan efisien untuk mencegah dan memberantas korupsi. Terbukti bahwa selama 13 tahun era Reformasi, strategi pemberantasan korupsi telah tidak tepat sasaran dan terkecoh oleh gegap gempita langkah KPK yang dianggap spektakuler dalam menangkap dan menahan koruptor, tetapi tidak menyentuh sumber permasalahan yang signifikan dan menentukan, yaitu perencanaan dan pembahasan RAPBN/ RAPBD.
Fakta itu pun membuktikan bahwa korupsi di Indonesia merupakan siklus tahunan dan bahkan daur ulang sampah yang telah “ditelan” begitu saja baik oleh penegak hukum dan KPK maupun oleh masyarakat penggiat antikorupsi (LSM). Kita telah terkecoh! Suka atau tidak suka ternyata kita merupakan “bagian” dari siklus tahunan dan daur ulang korupsi karena kita lengah dan tanpa disadari telah ikut “meramaikan” tontonan koruptor yang tidak diperlukan untuk membangun tata pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN.
Solusi tepat diperlukan untuk menghapuskan kita semua menjadi “bagian” dalam siklus tahunan dan daur ulang korupsi adalah, pertama, perombakan total sistem penyusunan, perencanaan, serta pembahasan RAPBN dan RAPBD dalam bentuk UU Perencanaan dan Pembahasan RAPBN dan RAPBD yang komprehensif tanpa celah hukum.
Kedua, diperkuat oleh perubahan ketentuan UU Perpajakan yang signifikan sehingga tidak ada celah kebijakan impunitas terhadap pelanggaran serius perpajakan yang menjadi sumber utama pemasukan keuangan negara/daerah. Ketiga, perubahan UU Korupsi Tahun 1999/2001 harus memperkuat strategi pencegahan daripada penindakan semata-mata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar