Kembali
ke Pasal 33 UUD 1945
Mochtar Naim, SOSIOLOG
Sumber : KOMPAS, 22 Desember 2011
Dengan mencontoh negara-negara tetangga yang
mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi kerakyatan dari tingkat terbawah
seperti Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia, Indonesia sudah
sepatutnya melakukan hal yang sama sejak semula.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Sistem
ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan, yang sudah 66 tahun umurnya, praktis sama
saja dengan kita selama sekian abad berada di bawah penjajahan asing. Sistem
ekonomi yang berkembang sampai saat ini masih bersifat
liberal-kapitalistik-pasar bebas, sekaligus dualistik.
Padahal, UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat
1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional” (Pasal 33 Ayat 4).
Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1:
”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2:
”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Ekonomi Dualistik
Semua itu hanya angin surga yang diimpikan para
penggagas dan pendiri republik ini. Sementara yang berjalan dan dipraktikkan
selama ini justru sebaliknya. Selain karena terlalu lama dijajah, juga karena
sistem sosial-budaya yang dimiliki oleh bangsa ini yang dominan adalah
feodalistik, hierarkis-vertikal, sentripetal, etatik, nepotik, dan bahkan
despotik.
Alhasil, itulah yang berlanjut sampai hari
ini, yaitu sistem ekonomi yang dualistik. Terbentuklah jurang menganga antara
95 persen penduduk yang merupakan rakyat asli, pribumi—yang sejak semula hidup
dalam kemiskinan, kebodohan, dan terbelakang—dan penyertaan sekitar 5 persen
dari ekonomi nasional yang ”bergedumpuk” di sektor nonformal. Sementara 5
persen lainnya—umumnya nonpribumi—menguasai 95 persen kekayaan ekonomi negeri
ini: dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan bahkan udara di negara
kepulauan terbesar di dunia ini.
Antara harapan seperti dituangkan dalam Pasal
33 dan 34 UUD 1945 dan kenyataan yang dihadapi bagaikan siang dengan malam.
Orang Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia bangga dengan negeri dan
tanah airnya karena mereka sendiri yang punya dan menguasai bumi, air, dan
segala isinya yang dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Kalaupun ada orang luar
yang ikut serta, mereka adalah tamu dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Di kita, Indonesia, sebaliknya. Kita malah bagaikan tamu atau orang
asing di rumah sendiri. Tanah, air, dan bahkan udara yang kita jawat secara
turun-temurun dari nenek moyang kita hanya namanya kita yang punya, tetapi
praktis seluruhnya mereka yang kuasai.
Padahal, alangkah luas, kaya, dan indah
negara ini sehingga menempati empat terbesar di dunia. Akan tetapi, kita hanya
menguasai secara de jure di atas kertas, de facto dikuasai kapitalis
mancanegara dan konglomerat nonpribumi yang sudah mencengkamkan kukunya sejak
dulu. Lihatlah, hampir semua warga Indonesia terkaya ukuran dunia adalah
mereka, diselingi satu-dua elite pribumi yang hidup sengaja mendekat dan/atau
bagian dari api unggun kekuasaan itu.
Untuk mengembangkan usaha makro di bidang perkebunan,
kehutanan, galian alam, misalnya, pemerintah bahkan mengambil alih tanah ulayat
milik rakyat yang dipusakai turun-temurun. Tanah itu lalu diserahkan berupa hak
guna usaha, yang bisa diperpanjang setelah 30 tahun, ke kapitalis mancanegara
dan konglomerat.
Sekali tanah ulayat menjadi tanah negara,
kendati sudah habis masa pakai ataupun tak lagi dipakai, tak juga bisa
dikembalikan ke pemiliknya: rakyat! Hal itu hanya karena penafsiran Ayat 3
Pasal 33 UUD 1945 yang sangat negara-sentris, harfiah, bahwa ”bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kata ”dikuasai” secara harfiah tentu saja
tidak sama dengan ”dimiliki”. Pemiliknya tetap adalah rakyat yang mengulayati
tanah itu secara turun-temurun.
Jelas sekali bahwa negara sama sekali tak
berpihak kepada rakyat, tetapi kepada para kapitalis multinasional dan
konglomerat nonpribumi yang sekarang menguasai bagian terbesar dari tanah
rakyat itu. Sekarang, yang namanya tanah ulayat di mana-mana habis. Tandas
sudah!
Alangkah tragis, mengingat semua ini terjadi
justru di alam kemerdekaan. Ukuran keberhasilan pembangunan bagi penguasa
negara jadinya bukan ”siapa” dan seberapa besar hasilnya dinikmati oleh rakyat,
melainkan ”berapa” dari target yang diinginkan tercapai dalam angka-angka
statistik. Pencapaian target itu, dalam kenyataannya, nyaris diborong habis
oleh para kapitalis yang sesungguhnya menggerakkan roda ekonomi nasional.
Penduduk asli-pribumi? Kelompok ini hidupnya
masih seperti itu juga dari waktu ke waktu, rezim berganti rezim. Sementara
rakyat pribumi rata-rata memiliki tanah kurang dari setengah hektar per
keluarga, jutaan hektar tanah ulayat diserahkan oleh negara kepada para
pengusaha kapitalis multinasional dan konglomerat.
Kerja sama triumvirat kapitalis multinasional
dan konglomerat nonpribumi di bawah lindungan elite penguasa negara yang
pribumi inilah yang menggelindingkan ekonomi Indonesia selama ini. Sementara
rakyat pribumi yang merupakan ahli waris sah republik ini tetap saja hidup
melarat dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Walau janji-janji dilontarkan oleh penguasa
Reformasi yang sudah jilid dua pula sekarang ini, masih ada saja yang tertulis
di atas kertas yang tak segera terlihat ada implementasinya, seperti program
kredit usaha rakyat dan entah apa lagi namanya itu. Jangan-jangan itu pun hanya
janji gombal karena sebentar lagi pemilu akan datang pula.
Akibat Salah Urus
Bagaimana ke depan? Akan seperti ini juga
tanpa perubahan struktural yang berarti, yang sifatnya harus fundamental,
mendasar; atau seperti selama ini juga, sekadar tambal sulam di permukaan, yang
esensinya itu ke itu juga.
Kuncinya ada pada diri kita sendiri, terutama
pada kelompok elite pribumi yang secara politis mengendalikan negeri dan negara
ini. Seperti kita lihat, selama ini mereka (para elite pribumi) sekadar
menumpang di biduk ke hilir. Mereka lebih suka menerima daripada memberi, lebih
suka dilayani daripada melayani sesuai tugas mereka sebagai abdi negara.
Tanpa bersusah-susah mereka menerima upeti
berbagai macam, yang jumlahnya bisa tak termakan di akal sehat kita. Mereka
datang dari semua lapisan birokrasi: dari eksekutif, legislatif, yudikatif,
polisi maupun militer; dari orang pertama di tingkat atas sampai ke tingkat
bawah; di pusat maupun di daerah.
Dengan kebebasan pers yang kita nikmati
sekarang, semua borok ini jadi terbuka. Tahulah kita betapa sakit negara ini
sehingga dunia menjulukinya sebagai salah satu dari negara terkorup di dunia.
Kita sesungguhnya sedang berada di tepi
jurang kehancuran sebagai negara akibat salah urus dan akibat dari sistem
sosial dan budaya politik yang kita anut selama ini, yang berbeda antara yang
diucapkan dan yang dilakukan. Pilihannya tinggal satu: kembali ke pangkal jalan
dengan mempraktikkan UUD 1945, khususnya Pasal 33 dan 34, secara jujur dan
konsekuen; atau kaput, habis kita! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar