Kalau tidak ada aral melintang, mulai Januari 2020 akan diberlakukan Peraturan Menristek dan Dikti No 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Khusus bagi profesor harus ada satu publikasi di Jurnal Internasional Bereputasi (JIB). Kalau tak ada, akan dilakukan pemotongan tunjangan kehormatan yang selama ini melekat di jabatan akademik profesor.
Publikasi ilmiah, apalagi pada JIB, bukan perkara mudah. Kegiatan publikasi pada JIB harus dimulai dengan riset serius. Riset serius harus didukung laboratorium riset memadai. Lab ini mahal sekali harganya. Menurut Pepen Arifin, Ketua Satuan Penjaminan Mutu ITB, biaya terbesar agar institusi terakreditasi secara internasional adalah untuk pengadaan lab (Kompas, 22/8/2019).
ITB, UI, UGM, dan IPB, sebagai perguruan tinggi (PT) terhebat di Indonesia, tidaklah terlalu sulit menghasilkan karya ilmiah yang dapat dimuat di JIB karena dosennya hebat, mahasiswanya hebat, ditunjang lab yang hebat pula. Bagaimana dengan PT lain yang sebagian besar belum maju? Ini harus jadi pemikiran bersama karena semua profesor di Indonesia akan terkena peraturan, hak, dan kewajiban sama meski dengan kendala sangat berbeda dalam menghadapi tugas sehari-hari.
Sudah jadi kebiasaan di Indonesia, sebuah alat lab riset sulit untuk dipakai bersama (resource sharing) bukan hanya oleh PT berbeda, melainkan juga program studi berbeda dari PT yang sama. Akibatnya, alat lab yang dimiliki sebuah prodi akan diusulkan lagi oleh prodi lain karena penggunaannya penting sekali meski mahal. Ini tentu tak efektif, tak efisien, dan boros anggaran negara. Karena tak mungkin kita menghabiskan dana untuk pengadaan alat lab yang sama untuk setiap prodi sejenis, hendaknya alat itu dapat dipakai semua PT yang ada.
Kantor khusus lab riset
Dengan resource sharing seperti ini, semua PT dapat merasa memiliki alat lab yang mahal ini. Bagaimana caranya? Perlu ada kantor atau lembaga khusus yang ditunjuk untuk mengawasi, memonitoring, dan mengevaluasi pemakaian alat-alat ini.
Seluruh alat lab mahal yang ada di berbagai PT hebat atau lembaga penelitian di semua kementerian didata, dicatat jumlahnya, dan diberitahukan di mana posisinya. Lalu alat-alat itu dilabel dengan label kantor yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengevaluasi. Alat- alat ini bukan milik PT dan kementerian, melainkan milik negara dan khusus dikelola kantor/lembaga yang ditunjuk negara.
Lalu diumumkan kepada publik bahwa semua alat lab riset ini bisa digunakan oleh siapa saja yang memerlukan lengkap dengan tarif yang berlaku. Tarif ini berlaku sama pada semua pengguna. Dalam kasus tertentu, peneliti hanya perlu mengirimkan sampel yang kemudian dianalisis lebih lanjut oleh lab itu. Operasionalisasi alat-alat lab ini tetap dititipkan di prodi-prodi atau kementerian tertentu, tetapi pengawasan, monitoring, evaluasi, dan kepemilikannya diberikan kepada kantor khusus yang ditunjuk untuk itu.
Khusus lab komputasi, kita perlu superkomputer yang cepat dan bisa diletakkan di Jakarta, misalnya. Riset dengan komputasi cepat sangat dibutuhkan saat ini, tetapi tak setiap PT harus mengadakannya karena mahal. Server yang kita letakkan di Jakarta hendaknya mampu melayani PT seluruh Indonesia. Dari PT tertentu, kita hanya mengirim kode via internet (submit job) untuk kemudian dieksekusi oleh superkomputer milik bersama. Dengan demikian, riset yang butuh fasilitas komputasi cepat bisa dilakukan oleh PT di seluruh Indonesia.
Banyak sekali keuntungan dari adanya fasilitas alat-alat lab riset bersama ini. Pertama, keterpakaian alat lab riset akan maksimal. Kedua, semua peneliti lebih mudah mengakses alat lab riset yang mahal karena itu milik negara. Ketiga, akan muncul kebersamaan sesama anak bangsa karena PT yang rendah kualitasnya ikut terangkat derajatnya. Para profesor merasa diperlakukan lebih adil oleh negara. Keempat, negara bisa lebih banyak menghemat pengeluaran.
Syamsul Rizal ; Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh