Wacana kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) menjadi sorotan dalam beberapa minggu terakhir. Ada yang setuju, ada yang menolak.
Asuransi kesehatan pada hakikatnya adalah mengkonversi risiko sakit menjadi biaya. Besar biaya bergantung pada seberapa besar manfaat yang dijaminkan serta tingkat kesehatan masyarakat. Semakin luas lingkup manfaat yang dijaminkan dan semakin besar masalah kesehatan yang dihadapi, semakin besar pula biayanya.
Dalam prinsip asuransi sosial, perkiraan total kebutuhan biaya ditanggung-renteng masyarakat dalam bentuk iuran. Di Indonesia, kepesertaan asuransi sosial berupa program JKN bersifat wajib dan semua peserta berkontribusi.
Bedanya, mereka yang miskin dan tidak mampu kontribusi ditanggung negara sedangkan mereka yang mampu membayar iuran sendiri (Peserta Bukan Penerima Upah) atau bersama-sama dengan pemberi kerjanya (Pekerja Penerima Upah).
Persoalan pokok
Agar dana jaminan sosial (DJS) program JKN-KIS berkelanjutan (secara finansial), pendapatan iuran harus lebih besar dari pengeluaran biaya manfaat. Sedangkan pengeluaran DJS untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta yang sakit dipengaruhi oleh besaran tarif pelayanan kesehatan dan  efisiensi hasil pengendalian.
Pendapatan iuran yang lebih besar dari pengeluaran biaya manfaat memungkinkan BPJS Kesehatan terhindar dari defisit, mampu membayar klaim pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan, dan mempunyai dana cadangan. Sayang, kondisi ideal tersebut belum tercapai dalam enam tahun implementasi JKN.
Di satu sisi, dengan paket manfaat (benefit package) yang paripurna, program JKN-KIS harus menghadapi beban biaya amat besar akibat perubahan pola penyakit yang didominasi penyakit tidak menular. Belum lagi data sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang bermasalah, ketidaksesuaian kelas rumah sakit, dan dugaan fraud pada fasilitas kesehatan.
Ketidakseimbangan pembiayaan itu menyebabkan defisit DJS terus membengkak dari Rp 1,9 triliun (2014),  Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016),  Rp 13,8 triliun (2017), dan   19,4 triliun (2018).
Dalam kondisi itu, sesuai regulasi, ada tiga pilihan intervensi dan kombinasinya yang bisa dilakukan. Pertama, mengurangi manfaat pertanggungan terutama pada manfaat yang secara signifikan dapat mengurangi biaya, seperti tindakan pada penyakit jantung, gagal ginjal, dan kanker. Kedua, pemerintah memberikan dana tambahan. Ketiga, pemerintah menaikkan iuran agar pendapatan dan biaya menjadi seimbang.
Selama ini, pemerintah mengintervensi dengan memberikan dana tambahan Rp 5 triliun (2015), Rp 6,8 triliun (2016), Rp 3,6 triliun (2017), dan Rp 10,3 triliun (2018). Bukan dengan mengurangi manfaat JKN-KIS karena khawatir berdampak pada terhentinya layanan untuk mereka yang membutuhkan atau akan membebani masyarakat dengan pembiayaan pribadi.
Namun, langkah ini belum menyelesaikan masalah karena dana tambahan tersebut sifatnya mengatasi gangguan arus kas  DJS BPJS Kesehatan, sementara masalah mendasarnya adalah ketidakseimbangan antara biaya manfaat Per Orang Per Bulan (POPB) dengan pendapatan iuran POPB, sehingga selisih kesenjangan ini akan kembali terakumulasi meski telah diintervensi.
Karena itu koreksi fundamental melalui penyesuaian iuran diiringi dengan dana tambahan pemerintah adalah suatu keniscayaan untuk menyeimbangkan pendapatan dari iuran POPB dengan biaya manfaat POPB serta  menghindarkan BPJS Kesehatan dari defisit.
Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS semestinya tidak terbelenggu oleh ketidakpastian pembiayaan sehingga  akses dan ekuitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu bisa terwujud.
Namun, kondisi defisit DJS kini telah berdampak signifikan terhadap kesinambungan pelayanan kesehatan. Operasional rumah sakit terganggu sehingga pelayanan kepada peserta JKN pun terganggu. Banyak rumah sakit menunda kewajiban internalnya, seperti membayar jasa medik tenaga kesehatan, maupun kewajiban eksternal seperti membayar obat dan alat kesehatan, logistik, juga makanan pasien kepada penyedia.
Bahkan beberapa rumah sakit menyatakan bahwa jika kondisi ini terus berlangsung, mereka hanya akan sanggup bertahan dalam memberikan pelayanan kesehatan paling lama dua atau tiga bulan ke depan.
Sebaliknya, apabila fasilitas kesehatan sudah dapat dibayar, penyedia layanan kesehatan harus memperbaiki pelayanannya. Antara lain dengan mengembangkan teknologi informasi untuk mengurangi antrean pelayanan, menyediakan ruang perawatan, memperbaiki sistem rujukan, memperlakukan peserta JKN dan non JKN secara setara, tidak mentoleransi pungutan tambahan biaya jika pelayanan tercakup dalam manfaat JKN, mematuhi jadwal pelayanan, dan cepat menindaklanjuti keluhan peserta.
Terlepas dari berbagai kekurangan, JKN-KIS telah memberi manfaat luas kepada masyarakat, terutama yang miskin dan tidak mampu. Tahun 2018 tercatat 147,4 juta kunjungan ke 23.075 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), serta 76,8 juta kunjungan rawat jalan, dan 9,7 juta kunjungan rawat inap ke 2.453 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
Jumlah peserta 223,3 juta jiwa, menggambarkan besarnya cakupan masyarakat yang terlindungi program JKN-KIS. Telah terbukti bahwa JKN-KIS merupakan pilar penting dalam pembangunan kesehatan.
Oleh karena itu, koreksi fundamental dengan menyesuaikan iuran—yang saat ini membutuhkan dukungan masyarakat—merupakan bagian penting untuk memastikan keberlangsungan perlindungan terhadap jutaan peserta JKN-KIS.
Nila F Moeloek ; Menteri Kesehatan RI )