Perang dagang Amerika Serikat-China sepertinya tak akan berakhir dalam waktu dekat. Sampai pertengahan 2019, belum terlihat adanya penurunan eskalasi baik dari sisi AS maupun China. Bahkan, perang dagang ini sepertinya akan memasuki babak baru seiring kian mendekatnya proses pemilu presiden di AS. Donald Trump sebagai petahana menjadikan isu perang dagang salah satu isu utama kampanyenya karena isu ini menjadi isu bersama Partai Republik dan Partai Demokrat.
Kian meningkatnya eskalasi perang dagang AS-China beberapa bulan terakhir ini membawa dampak signifikan terhadap hampir semua negara, termasuk Indonesia, baik positif maupun negatif. Untuk Indonesia, dampak perang dagang terlihat dari fluktuatifnya pergerakan defisit neraca perdagangan. Bahkan, 1,5 tahun terakhir defisit perdagangan jadi salah satu masalah urgen yang menghantui kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Sepanjang 2018, neraca dagang Indonesia hampir selalu berada dalam zona merah dengan defisit 8,18 miliar dollar AS. Sepanjang 2018, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan hanya pada Maret, Juni, dan September, selebihnya negatif. Dengan kata lain, sepanjang 2018, jumlah impor barang dan jasa Indonesia jauh melebihi jumlah ekspornya. Kinerja ekspor Indonesia masih jauh dari harapan, bahkan cenderung jalan di tempat.
Defisit ini masih berlanjut hingga 2019. Pada Januari 2019 mencapai 1,16 miliar dollar AS. Bahkan April 2019 mencapai 2,5 miliar dollar AS dan menjadi defisit neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Secara kumulatif, hingga Juli 2019 neraca perdagangan Indonesia masih mencapai negatif 2,44 miliar dollar AS.
Defisit perdagangan ini ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya defisit transaksi berjalan (CAD) yang sampai saat ini masih cukup besar. Sampai triwulan II-2019, defisit CAD Indonesia mencapai 8,4 miliar dollar AS (3,0 persen PDB) atau naik 1,4 miliar dollar AS dibandingkan semester I-2019 (2,8 persen PDB).
Dampak negatif perang dagang AS-China terhadap defisit neraca perdagangan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut sehingga menekan pendapatan dan belanja negara. Defisit neraca dagang ini dapat dihentikan jika kinerja ekspor didorong lebih baik lagi dengan pendekatan ”unorganic” sehingga tak terpengaruh oleh perang dagang AS-China. Pemerintah harus berupaya keras supaya pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada impor.
Oleh sebab itu, dapat dipahami jika Presiden Jokowi gigih mendorong ekspor secara signifikan. Salah satu usaha riil yang akan dilakukan adalah dengan menambah peran Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dengan peran perdagangan internasional.
Dengan penambahan peran ini, peran Kemlu tidak hanya menjalankan visi diplomatik politik semata, tetapi lebih jauh melakukan negosiasi perdagangan internasional sehingga dapat mendorong kinerja ekspor secara signifikan.
Lima fungsi utama
Namun, langkah revolusioner Presiden Jokowi ini bukannya tanpa risiko. Setidaknya terdapat lima catatan penting terkait tugas dan fungsi baru Kemlu yang harus diperhatikan Presiden supaya langkah ini tak kontraproduktif dengan tujuan utamanya.
Fungsi pertama adalah fungsi promosi. Fungsi ini berkaitan dengan jenis produk yang akan dipromosikan, cara, serta media yang digunakan. Kebijakan terkait jenis produk yang akan dipromosikan tentu akan berarsiran dengan kebijakan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian.
Produk yang dipromosikan harus sesuai dengan jenis produk unggulan yang diproduksi sektor industri dan sektor pertanian serta Kementerian Perdagangan. Oleh karena itu, harus ada koordinasi yang sangat kuat di antara keempat kementerian ini.
Tak mungkin Kemlu dapat mendorong kinerja ekspor jika tidak mendapatkan dukungan kuat dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan sebagai pihak yang memproduksi barang dan jasa yang akan dijual di pasar internasional.
Fungsi kedua, fungsi perundingan. Proses perundingan dilakukan untuk membuka akses pasar. Perundingan diarahkan supaya produk ekspor Indonesia bisa masuk ke pasar internasional tanpa hambatan berarti.
Perundingan perdagangan internasional ini mencakup perundingan bilateral, regional, dan global. Pengalaman Kemlu dalam negosiasi politik diharapkan dapat menjadi modal dasar dalam melakukan perundingan dagang sehingga dapat meningkatkan kinerja ekspor nasional secara signifikan.
Fungsi ketiga, fungsi pengamanan perdagangan. Selama ini tak jarang produk-produk Indonesia terhambat oleh berbagai peraturan yang dibuat negara-negara tertentu untuk menghambat masuknya produk-produk Indonesia. Hambatan-hambatan itu bisa berupa hambatan tarif atau hambatan nontarif.
Di era perdagangan bebas saat ini, hambatan nontarif banyak digunakan sejumlah negara untuk melindungi pasar dan industri dalam negerinya. Sering kali negara-negara tujuan ekspor Indonesia membuat aturan-aturan nontarif yang mampu menghambat masuknya produk Indonesia ke pasar mereka.
Hambatan-hambatan itu berupa persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi suatu produk sebelum memasuki pasar mereka. Hambatan-hambatan itu selama ini telah menjadi faktor penghambat meningkatnya kinerja ekspor Indonesia.
Penambahan fungsi perdagangan internasional ke dalam fungsi Kemlu diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan hambatan ini.
Namun, harus disadari, persetujuan penghilangan hambatan-hambatan ini tak bisa terjadi secara instan. Persetujuan penghilangan hambatan nontarif itu tak akan bisa langsung dilaksanakan tanpa ada proses ratifikasi terutama berkaitan dengan sinkronisasi peraturan dan perjanjian internasional.
Presiden sebaiknya dapat memahami kemungkinan terjadinya proses yang relatif panjang ini sehingga tak terlalu berharap pada dampak yang instan pasca-penambahan fungsi perdagangan internasional ke dalam fungsi Kemlu saat ini.
Fungsi keempat, fasilitas perdagangan. Fasilitas ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi para eksportir sehingga produknya bisa lebih berdaya saing dan mampu bersaing dengan produk-produk ekspor dari negara lain.
Fasilitas perdagangan ini juga bisa diberikan kepada para pelaku industri yang selama ini masih belum mau menjual produknya ke pasar global. Para pelaku industri nasional yang masih fokus di pasar dalam negeri jika diperlukan diberi berbagai fasilitas dan insentif supaya mau menjual produknya ke pasar internasional sehingga kinerja ekspor Indonesia dapat meningkat signifikan.
Fasilitas perdagangan ini tentu harus diberikan secara tepat jangan sampai menyalahi peraturan anti-dumping internasional sehingga tidak kontraproduktif dengan tujuan peningkatan ekspor.
Fungsi terakhir, fungsi penyedia informasi. Kemlu yang baru ini harus dapat menyediakan berbagai informasi perdagangan internasional secara komprehensif, valid, dan reliable. Informasi yang harus disediakan Kemlu ini mencakup dua sisi sekaligus, sisi penawaran dan sisi permintaan.
Informasi ini mencakup jenis produk dan komoditas yang diperdagangkan, dari mulai jumlah yang diminta dan yang ditawarkan, kualitas produk dan komoditas yang tersedia, sebaran, fasilitas produksi, dan informasi teknis lain yang menunjang proses ekspor produk-produk ekspor Indonesia.
Dengan ketersediaan informasi yang komprehensif, valid, dan reliable, eksportir Indonesia dapat menyediakan produk yang sesuai permintaan pasar dan lebih jauhnya dapat turut serta dalam rantai pasokan global untuk produk unggulan Indonesia.
Jika Presiden Jokowi mampu mendorong dan memastikan bahwa Kemlu yang baru nanti bisa mengembangkan kelima fungsi tadi dengan baik, neraca perdagangan tidak akan lagi dipengaruhi oleh perang dagang AS-China atau kejadian eksternal lainnya yang menimbulkan efek negatif.
Tentu tidak mudah dan tidak bisa instan, tetapi langkah ini perlu mendapat apresiasi dan dukungan dari semua pihak sebagai salah satu langkah riil dari presiden terpilih untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan kita yang masih perlu ditingkatkan ini.
(Agus Herta Sumarto ; Dosen FEB UMB dan Peneliti Indef)