Hari-hari belakangan ini energi bangsa Indonesia tersedot di jalanan. Sebagian kota di mana terdapat kampus-kampus besar, dilanda aksi demonstrasi para mahasiswa yang memprotes “keganjilan” isi lima rancangan undang-undang. Di Kota Kendari aksi turun ke jalan itu bahkan menelan korban jiwa.
Teater jalanan yang lebih “gawat” sebelumnya terjadi di Tanah Papua, dari Papua Barat sampai pegunungan tengah di Wamena. Puluhan korban jiwa juga tak terhindarkan! Gedung-gedung pemerintahan dan fasilitas publik dirusak dan dibakar massa.
Di luar urusan yang sangat politis, seperti keinginan menentukan nasib sendiri dari sebagian orang-orang Papua, pertanyaan dasar yang seringkali muncul setiap kali terjadi aksi protes jalanan, benarkah ini menjadi semacam instrumen penyaluran pendapat untuk mengoreksi dan atau mengintervensi kekuasaan?
Dalam sistem pemerintahan tradisional, sebagaimana diteliti oleh antropolog Clifford Geertz (1980), negara berarti theatre state atau negara teater. Dalam sistem ini negara bukan diperintah melalui kekuatan (militer) atau paksaan, tetapi melalui ritus-ritus upacara, yang mengandung simbol-simbol kedewataan.
Kajian Geertz membayangkan para raja (kepala negara) dan para pangeran adalah kaum impresario, pendeta (ulama) sebagai sutradara, dan rakyat sebagai aktor pendukung, penata panggung, tetapi sekaligus menjadi penonton.
Pada masa pra-kolonialisme, terutama dalam kasus kerajaan-kerajaan di Bali, seluruh pementasan teater bergerak menuju pusaran utama, yakni upacara! Upacara sangat menentukan gerak laju sebuah negara, bahkan tanpa upacara, seolah eksistensi sebuah negara tidak memiliki legalitas yang kokoh.
Dalam buku Negara Teater itu, Geertz menemukan rumusan bahwa seluruh energi “bangsa” dikerahkan setinggi-tingginya, justru untuk melayani upacara. Dalam upacara, kewenangan-kewenangan pengambilan keputusan didistribusikan sampai kepada pejabat-pejabat pada tingkat paling bawah.
Sistem theatre state seperti ini, secara samar-samar menorehkan sistem demokrasi modern, yang sekarang kita yakini sebagai satu-satunya “kebenaran” dalam politik kenegaraan.
Sebenarnya, ratusan upacara yang digelar negara dan rakyat, mengerucut pada satu kepentingan mengkultuskan raja-raja dan keturunannya sebagai representasi dari sifat-sifat “kedewataan”. Maka dengan sistem seperti itu sesungguhnya kekuasaan itu semakin kokoh berada di tangannya.
Pada saat terjadi Puputan Klungkung tahun 1908 misalnya, bagaimana upacara digelar raja dan rakyat untuk memperkokoh keyakinan melawan penjajahan. Ketika perang habis-habisan itu akhirnya meletus, maka rakyat menyambutnya dengan penuh suka cita. Mati bukan lagi perkara kesedihan, tetapi sebuah kondisi akhir untuk menyambut kehadiran nirwana.
Kisah para janda raja yang menceburkan diri ke dalam kobaran api, saat suami mereka dikremasi bukan mitos apalagi bualan. Mereka menyambut hari akhir dengan merias diri dan kemudian dengan penuh senyum menceburkan tubuhnya ke unggun api.
Jalan mati seperti itu, bagi seorang perempuan adalah jalan menuju pembuktian kesetiaan kepada suami. Oleh sebab itulah aksi “teatrikal” ini disebut sebagai mesatya, sebuah upacara untuk menunjukkan kesetiaan di bumi dan akhirat.
Tentu rasionalitas kita bisa menggugat, apakah seorang suami (raja) akan berlaku sama, ketika istri (permaisuri) mereka harus dikremasi? Bukankah kedua contoh ini justru memperlihatkan bahwa kekuasaan yang dipegang seorang raja dan nanti keturunannya memperoleh pengesahan dari publik?
Ritus-ritus itu akan memperkokoh eksistensi kekuasaan raja, tidak saja sebatas struktur politik, tetapi merasuk pada state of mind dalam diri rakyat. Bahwa raja memang dipercaya sebagai representasi kehadiran “dewata”di dunia, yang mengayomi rakyat dengan sifat-sifat “kedewataannya”.
Aksi  teater jalanan yang digelar berbagai elemen, terutama oleh kelompok-kelompok mahasiswa, pada satu masa terbukti berhasil menjungkalkan sistem kekuasaan yang otoritarianistik. Revolusi Perancis (1789-1799) membuktikan kekuatan perlawanan di jalanan oleh para mahasiswa dan petani berhasil menumbangkan rezim monarki absolut.
Revolusi ini kemudian meneguhkan tiga hal yang dijunjung tinggi sampai kini, liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ledakan jalanan ini menumbangkan kekuasaan Raja Louis XVI yang  bertakhta sejak 1774. Revolusi ini pulalah yang kemudian bergema ke seluruh daratan Eropa untuk melawan kekuasaan aristokrasi yang cenderung menjadi tirani.
Tahun 1998 aksi mahasiswa di Indonesia, tidak saja menumbangkan rezim otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun, tetapi juga mendesakkan agenda Reformasi. Agenda reformasi itu antara lain berupa penghapusan doktrin dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terselipkan pula dalam agenda itu, menciptakan kebebasan pers dan menjalankan agenda demokrasi.
Aksi-aksi jalanan mahasiswa itu seolah menciptakan pementasan teater besar yang didorong oleh keinginan menggulirkan asas-asas dalam demokrasi. Sejak pementasan besar itulah, kita menuai buah reformasi berupa pemilu yang dilaksanakan secara langsung. Sistem keterwakilan yang diterapkan Orde Baru dianggap terlalu mudah dimanipulasi oleh segelintir oknum yang duduk sebagai wakil rakyat di lembaga seperti DPR dan DPRD.
Tentu saja sedikit berbeda dengan apa yang disimpulkan Geertz ketika meneliti Bali sebagai sebuah negara “tradisional” pra-kolonialisme. Aksi-aksi jalanan serta berbagai agenda pemilihan kepala daerah, wakil rakyat, dan presiden, digelar sebagai pelaksanaan elemen demokrasi. Seluruhnya menjadi amanat undang-undang dan aturan-aturan yang disusun justru untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat.
Namun gelaran aksi-aksi demonstrasi ini,  jika mengikuti terminologi Geertz, adalah bentuk-bentuk “upacara” baru yang digelar justru untuk mengokohkan eksistensi elemen-elemen demokrasi itu sendiri. Jika dahulu, gelaran upacara bersama (raja dan rakyat) kemudian “dinikmati” raja dalam bentuk pengakuan atas sifat-sifat “kedewataan” raja dan keturunannya.
Pada masa kini, teater jalanan digelar sebagai bagian dari pengukuhan eksistensi publik yang memegang hak utama dari sistem demokrasi. Bukankah dalam sistem ini ada idiom yang berbunyi: vox populi, vox dei(suara rakyat adalah suara Tuhan).
Kebenaran itu berada di tangan mayoritas suara, yang dalam penyalurannya diatur berdasarkan undang-undang sebagai bagian dari prosedur ketatanegaraan. Jadi sesungguhnya penyelenggaraan negara modern juga menuntut gelaran teater untuk membuka ruang bagi publik dalam menyalurkan aspirasinya.
Pertanyaannya, bagaimanakah cara menjaga agar pementasan teater jalanan yang sekarang sedang semarak di jalan-jalan itu, tidak jatuh menjadi aksi-aksi anarkis? Teater demokrasi mensyaratkan para impresario, sutradara, dan para aktornya benar-benar menghormati aturan permainan di atas panggung negara, tentu dalam rangka menjaga keutuhan bangsa. Begitu bukan? ***