Salah satu isu yang sering memicu keberatan mengenai penetapan Garis-garis Besar Haluan Negara oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah masalah pertanggungjawaban Presiden. Banyak yang mengira, jika GBHN ditetapkan oleh MPR, Presiden harus bertanggung jawab langsung kepada MPR. Menurut mereka, apabila Presiden dipilih langsung oleh rakyat, apa relevansinya harus bertanggung jawab langsung kepada MPR? Pikiran seperti itu juga digayuti oleh bayangan traumatik masa lalu ketika pertanggungjawaban Presiden kepada MPR bisa menjadi pintu masuk ke arah pemakzulan Presiden.
Perlu ditekankan di sini bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), versi asli sekalipun, tidak terdapat pasal yang menentukan bahwa Presiden bertanggung jawab langsung terhadap MPR. Benar ia dipilih oleh MPR (Pasal 6 Ayat 2), tetapi ia memegang jabatannya selama masa lima tahun (Pasal 7) dan tidak ada ketentuan yang menyatakan MPR berhak melepaskannya dalam jangka waktu lima tahun itu (Wolhoff, 1955).
Dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memang ada keterangan ”Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis”. Namun, di sana tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis. Mekanisme pertanggungjawaban Presiden secara implisit terkandung dalam penjelasan bahwa ”Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa meminta pertanggungan jawab kepada Presiden”.
Dengan kata lain, mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis dalam menjalankan GBHN tidak bersifat langsung, tetapi melalui mekanisme pengawasan secara reguler oleh DPR. Bahkan, dalam kasus Presiden dipandang melanggar haluan negara, MPR tidak bisa meminta pertanggungjawaban Presiden secara langsung, tetapi melalui mekanisme pengajuan dari DPR.
Singkat kata, berdasarkan UUD 1945 asli, mandataris MPR sesungguhnya ada dua. Mandataris MPR dalam kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden, sedangkan mandataris MPR dalam kekuasaan legislatif adalah DPR. Mengingat MPR hanya wajib bersidang sekali dalam lima tahun, mekanisme pertanggungjawaban Presiden dalam menjalankan pemerintahan (haluan negara) sehari-hari ditempuh lewat mekanisme pengawasan oleh DPR.
Berkat kerangkapan keanggotaan DPR di MPR, ia dapat wewenang pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan Presiden menurut UUD 1945, dalam mewujudkan GBHN (Abdulkadir Besar, 2002). Mekanisme pengawasan DPR dalam konteks pertanggungjawaban Presiden ini tertuang dalam Pasal 20-24 UUD 1945. Menurut Mr Assaat (1951), hak inisiatif yang diberikan kepada DPR disertai hak kontrol, ”yaitu kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta tanggung jawab dari pemerintah terhadap politik dan kebijaksanaannya menjalankan pemerintahan”. Selanjutnya dia tegaskan, ”Dengan dalil ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa Dewan Perwakilan kita berhak meminta tanggung jawab dari pemerintah, sekalipun hak itu tidak diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar Proklamasi”.
Alhasil, sekalipun GBHN ditetapkan oleh MPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat, mekanisme pertanggungjawaban Presiden tetap sama, yakni melalui mekanisme pengawasan secara reguler oleh DPR. Selain itu, pertanggungjawaban Presiden kepada MPR juga tak perlu dikhawatirkan bisa jadi bola liar ke arah pemakzulan. Setelah amendemen konstitusi, MPR tidak mudah memakzulkan Presiden karena sudah dipagari berbagai prosedur yang pelik serta harus melalui mekanisme pengadilan di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, diskusinya harus lebih diarahkan pada haluan negara seperti apa yang tepat guna bagi transformasi tata kelola kenegaraan. Seperti kita ketahui, meski Konstitusi Proklamasi menentukan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN, kelembagaan MPR yang permanen sebagai mandat daulat rakyat tidak pernah terbentuk hingga selepas Pemilu 1971, di awal pemerintahan Orde Baru. Wajar apabila bayangan banyak orang tentang GBHN itu asosiasinya identik dengan GBHN versi Orba. Padahal, GBHN versi Orba hanya salah satu tafsir tentang haluan negara, yang tidak menutup kemungkinan tafsir lain.
Namun, harus diingat, apa pun tafsir kita tentang haluan negara itu, desain tata kelola negara tak bisa dibentuk hanya asal copypaste dari model tata kelola negara lain. Lewat studi komparatif secara ekstensif, Clayton M Christensen et al (2019) menunjukkan kegagalan banyak negara setelah melakukan amendemen konstitusi dan ”mengimpor” kelembagaan demokrasi, karena tidak mempertimbangkan pengalaman kesejarahan dan nilai kultural bangsa yang bersangkutan.
Desain tata kelola yang efektif harus merefleksikan nilai budaya inti, yang tumbuh dari proses panjang pembelajaran bangsanya. Profesor MIT, Edgar Schein (1988), mendefinisikan ”budaya” yang dimaksud sebagai ”cara bekerja sama menuju tujuan bersama yang telah terbukti berhasil dan diikuti secara berulang oleh masyarakat, yang membuat banyak orang bahkan tidak terpikir untuk mencoba cara lain”.
Setelah melalui pengkajian dan pembelajaran lintas kultural dan lintas zaman, para pendiri bangsa sepakat, nilai budaya inti yang telah terbukti manjur dalam usaha transformasi masyarakat majemuk adalah nilai gotong royong, yang dalam politik diwujudkan dalam institusi musyawarah. Apa pun desain kelembagaan dan pengambilan kebijakan (termasuk haluan negara) harus didasarkan pada semangat musyawarah—baik dalam bentuk penyertaan ragam kekuatan rakyat maupun dalam cara pengambilan keputusannya yang bersifat inklusif. ***