KOLOM POLITIK
Berebut Kursi
Di pusat kekuasaan di Jakarta, posisi-posisi puncak lembaga negara diperebutkan. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 dipegang Puan Maharani, politikus PDI-P. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang putri Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri itu memang sudah lama diprediksi menduduki kursi nomor satu di parlemen.
Dewan Perwakilan Daerah dipimpin La Nyalla Mattalitti. Senator asal Jawa Timur ini dikenal tokoh kontroversial: mulai dari Ketua Umum PSSI, kasus korupsi dana hibah yang kemudian divonis bebas, hingga testimoni dimintai mahar politik Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto serta tokoh di balik penyebaran hoaks terhadap Joko Widodo pada Pilpres 2014.
Dalam Sidang Paripurna DPD, ia merebut suara terbanyak (47 suara), mengalahkan Nono Sampono dari Maluku (40 suara), Mahyudin dari Kalimantan Timur (28 suara), dan Sultan Bahtiar Najamuddin dari Bengkulu (18 suara). Otomatis ketiga senator yang disebut terakhir itu menjadi wakil ketua DPD.
Rebutan kursi MPR juga tak kalah panas. Dua kandidat bersaing ketat: Bambang Soesatyo (Golkar) dan Ahmad Muzani (Gerindra). Komposisi pimpinan MPR lebih ”aneh” lagi. Demi berbagi kursi secara rata, tata tertib pun diubah. Dalam sidang paripurna pada 27 September 2019, sidang paripurna yang dipimpin Ketua MPR Zulkifli Hasan mengesahkan perubahan tatib: jumlah pimpinan MPR berubah dari 8 (periode 2014-2019) menjadi 10 orang (periode 2019-2024). Ini artinya sembilan parpol yang lolos ke Senayan semuanya plus DPD mendapatkan jatah kursi pimpinan.
Ketua MPR dipegang Bambang Soesatyo (Golkar), mantan Ketua DPR. Wakil-wakilnya Ahmad Basarah (PDI-P), Ahmad Muzani (Gerindra), Jazilul Fawaid (PKB), Lestari Moerdijat (Nasdem), Hidayat Nur Wahid (PKS), Syarief Hasan (Demokrat), Zulkifli Hasan (PAN) yang ketua MPR di periode sebelumnya, Arsul Sani (PPP), dan Fadel Muhammad (DPD). Jangan tanya soal urgensi penambahan itu, yang jelas, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, negara menyiapkan dana tambahan.
Pelantikan para pimpinan tersebut dilakukan di saat ”pekan-pekan panas” ketika kompleks DPR/DPD/MPR menjadi sasaran unjuk rasa para mahasiswa bahkan para pelajar. Senayan dan sekitarnya dihujani perang batu dan gas air mata. Mahasiswa, pelajar, dan masyarakat bergerak menolak pengesahan beberapa rancangan undang-undang yang dinilai tidak prorakyat. Bukan cuma di Jakarta, gelombang unjuk rasa juga terjadi di daerah-daerah. Bahkan sampai menyebabkan korban jiwa seperti dua mahasiswa di Kendari. Memang RUU KUHP, Pertanahan, Pertambangan Minerba, Pemasyarakatan, Ketenagakerjaan ditunda tetapi RUU Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak publik justru disahkan begitu cepat.
Padahal penolakan publik terhadap revisi UU KPK adalah cerita klasik perlawanan terhadap upaya pelemahan KPK. Hampir 10 tahun ini, upaya revisi UU KPK selalu kandas karena publik tidak tinggal diam sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menolak usulan revisi UU tersebut. Presiden Joko Widodo juga pernah menunda revisi UU tersebut pada 2015.
Sebetulnya harapan pada Presiden Jokowi sangatlah besar. Pada periode kedua ini Presiden Jokowi diharapkan tidak tersandera lagi dengan beban-beban politik. Ternyata tidak juga. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Jokowi terkepung beban parpol. Euforia kemenangan pilpres yang baru saja dirasakan pun tiba-tiba sirna. Tak heran ada yang serasa patah hati seakan diselingkuhi saat berbulan madu.
Sekali lagi, suara rakyat bukanlah teriakan kosong. Suara rakyat adalah mandat yang menjadikan presiden dan anggota DPR bisa menduduki kursi-kursi terhormat di lembaga-lembaga negara. Namun, suara-suara publik yang keras seperti tiada bunyi. Seakan sunyi. Apakah ini ”habis manis sepah dibuang”?
Tinggallah elite berebut kursi, termasuk sebentar lagi kursi-kursi kabinet.
Sayangnya, suara-suara politikus nyaris tak terdengar keras seperti zaman Pilpres 2019, ketika sekarang asap mencekat leher atau saat kerusuhan di Wamena, Papua yang menimbulkan gelombang eksodus warga.
Sayangnya, suara-suara politikus nyaris tak terdengar keras seperti zaman Pilpres 2019, ketika sekarang asap mencekat leher atau saat kerusuhan di Wamena, Papua yang menimbulkan gelombang eksodus warga.
Soal suara mengingatkan pada kata-kata Malala Yousafzai (22), aktivis muda Pakistan korban kekerasan yang menerima Nobel Perdamaian 2014, ”Saya bicara bukan untuk diri saya sendiri tetapi untuk mereka yang tidak bersuara, mereka yang memperjuangkan hak-hak mereka, hak untuk hidup damai, hak diperlakukan secara bermartabat, hak setara, hak untuk mendapat pendidikan.” Mungkin, para elite kita tengah menikmati kursi-kursi empuknya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar