Perjalanan demokrasi Indonesia lima tahun ke depan akan sangat ditentukan oleh kiprah para wakil rakyat dan presiden serta wakil presiden terpilih.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan anggota DPR dan DPD RI periode 2019-2024 yang dilantik pada 1 Oktober 2019. Sementara presiden dan wakil presiden akan dilantik 20 Oktober 2019. Sudah seharusnya, mereka merawat daulat rakyat yang sudah dimandatkan kepada mereka untuk lima tahun ke depan.
Setiap terjadi sirkulasi elite lima tahunan, selalu muncul pertanyaan, akankah mereka bekerja nyata dan membuat banyak perubahan ke arah yang lebih baik, atau berputar-putar tanpa tujuan bak berjalan di labirin kekuasaan.
Menunaikan janji
Meminjam ilustrasi matematikawan Jerman, August Ferdinand Mobius, perjalanan sebuah bangsa kerap kali seperti menyusuri pita Mobius (Mobius strip). Pita dengan karakter  non-orientable object ini membuat kita bergerak dari satu sisi dan tak akan pernah berakhir di satu tepian pembatas. 
Analogi pita Mobius ini, menggambarkan kekuasaan yang kerap tak memiliki perhatian pada tujuan besar sebuah bangsa yang ingin dicapai, hanya terus bergerak dan menyusuri proses dengan ketidakjelasan tujuan akhir.
Sepanjang masa kampanye Pemilu 2019, banyak janji bertebaran di berbagai spanduk, poster, reklame, iklan, media sosial dan ragam diskusi publik lainnya. Janji yang menjadi ikrar presiden dan wakil presiden serta para wakil rakyat ini telah terpahat abadi di ragam jejak digital dan dokumen-dokumen yang bisa dikaji dan ditagih publik setiap saat.
Sejatinya, janji yang sudah diucapkan tersebut menjadi bentuk komunikasi yang tak mungkin ditarik lagi. Salah satu prinsip komunikasi, menurut  Larry A Samovar dan Richard E Porter  dalam bukunya Communication Between Cultures (2102), bahwa komunikasi bersifat irreversible. Artinya, komunikasi tidak dapat ditarik kembali, jika seseorang sudah mengatakannya.
Nilai pembedanya dalam ujian kesejarahan mereka, terletak pada komitmen dan konsistensi agar satunya ucap dan perbuatan. Meskipun banyak rakyat diam dan seolah tidak peduli, sesungguhnya mereka akan menilai dan bersuara dalam diamnya.
Tengoklah sejarah, siapa yang diberi apresiasi dan penghormatan sebagai pemimpin prorakyat setelah mereka kembali menjadi warga biasa. Siapa pula yang meneguhkan memori kebencian kolektif rakyat dan diingat sebagai pemimpin yang berkhianat.
Sebagai bangsa, masih banyak agenda besar yang harus dijalankan agar bangsa ini tumbuh kuat dan disegani, bukan terus-menerus menjadi bangsa yang memiliki ketergantungan pada pihak lain. Salah satu landasan kokohnya ada pada pengelolaan negara yang bebas korupsi.
Komitmen pemberantasan korupsi masih jadi tanda-tanya besar baik untuk DPR maupun pemerintah. Di tengah wabah korupsi yang kian menjadi-jadi, justru rakyat dapat kado pahit di penghujung masa jabatan DPR RI 2014-2019 dengan disahkannya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah pasal jelas-jelas berpotensi melemahkan KPK. Wajar, jika segenap elemen kritis termasuk gerakan mahasiswa kembali turun ke jalan.
Isu pelemahan KPK bukan semata isu elite Jakarta, tetapi meluas hingga ke berbagai daerah di Nusantara. Hal ini, semestinya menjadi “lampu kuning” bagi pemerintahan Jokowi yang mau mengawali periode kedua. Bahwa resistensi atas UU KPK yang baru disahkan ini bisa menjadi titik balik kepercayaan publik.
Memang ada jalan konstitusional yang bisa ditempuh lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi, tetapi juga ada peran nyata yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi, salah satunya melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Saat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden di Pilpres 2014, Jokowi-Jusuf Kalla memiliki sembilan agenda prioritas yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Janji soal antikorupsi,  ada di poin nomor empat. Janji tersebut berbunyi:  ‘Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.’ Pernyataan serupa terucap saat Pilpres 2019. Jokowi dan Ma’ruf Amin telah mengikrarkan janji yang sama soal antikorupsi di visi nomor enam. Bunyinya: ‘Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.’
Kita masih butuh KPK yang kuat. Publik pun masih memercayai KPK. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang dirilis di Jakarta, Kamis (29/8/2019) menempatkan KPK masih menjadi lembaga yang paling dipercaya publik. Sebesar 84 persen dari 1.220 responden yang diwawancarai 11-16 Mei 2019, percaya KPK. Kepercayaan pada DPR relatif rendah 61 persen, sementara parpol menempati posisi paling rendah 53 persen.
Memercayai bukan berarti mengkultuskan lembaga atau orang-orang di dalamnya. Tetap dibutuhkan kejernihan nalar publik untuk tetap mengkritisi KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi tidak dengan cara melemahkannya apalagi atas nama UU.
Dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) dari Transparansi Internasional, pada lima tahun terakhir justru posisi Indonesia cenderung stagnan. Skor CPI Indonesia dari tahun 2015-2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37 dan 38. Padahal, pimpinan KPK 2015-2019 menargetkan skor Indonesia akan mencapai angka 50. Hal ini, mempertegas bahwa di balik adanya upaya positif antikorupsi, serta perhatian yang meningkat pada korupsi di sektor swasta dan korupsi politik, penegakan hukum masih menjadi ancaman nyata di Indonesia.
Kita juga mesti mewaspadai kondisi demokrasi Indonesia yang belum sepenuhnya optimal. Indeks demokrasi dari The Economic Intelligent Unit 2018, Indonesia masuk kategori negara demokrasi tidak sempurna dengan poin 6,39. Hanya unggul 1 poin dari Singapura 6,38 dan berada di bawah Filipina dengan skor  6,71 dan Malaysia 6,88.
Beberapa indikator yang menjadi ukuran adalah pluralisme, kebebasan sipil, dan budaya politik. Indeks demokrasi dari Freedom House tahun 2018, menunjukkan Indonesia meraih skor 64 dan masuk kategori kuning atau ‘bebas sebagian’ dari 195 negara yang disurvei. Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) RI, skornya 72,39 meningkat hanya 0,28 dari 2017 di mana saat itu skornya 72,11.
Tentu semua indeks itu, bisa menjadi bahan evaluasi kita, untuk terus berbenah di tengah ragam masalah. Bukan menjadi bahan yang membuat kita pesimistis tapi justru menjadi lecutan, bahwa kita tak bisa hanya jalan di tempat. Banyak agenda reformasi yang harus dituntaskan secara bersama-sama. Elite di DPR dan pemerintah harus mengelola mandat kuasa rakyat jangan sampai muncul kekecewaan mendalam yang membuat rakyat tak lagi memiliki harapan kepada mereka yang diberi kewenangan untuk berperan.
Jebakan mayoritarian
Koalisi besar parpol sebagai bentuk kerja sama dalam membangun pemerintahan yang kuat, jangan sampai terjebak ke dalam model mayoritarianKoalisi besar parpol sebagai bentuk kerja sama dalam membangun pemerintahan yang kuat, jangan sampai terjebak ke dalam model mayoritarian.
Adam Przeworski dan  Jose Maria Maravall dalam bukunya Democracy The Rule of Law (2003), menyebut mayoritarian sebagai agenda dan filosofi tradisional yang menyatakan bahwa mayoritas  dalam populasi merupakan kelompok utama dan berhak membuat keputusan yang berpengaruh bagi masyarakat keseluruhan.
Praktik koalisi besar parpol di DPR,  yang memungkinkan untuk meloloskan apapun yang dikehendaki mereka menjadi UU, jangan sampai menegasikan suara rakyat. Benar, bahwa keputusan mengesahkan UU jika tak disetujui aklamasi, pada akhirnya akan ditentukan oleh suara mayoritas dari pemilik kursi DPR. Sebut saja setelah UU KPK direvisi, akan ada revisi UU Pertanahan, UU KUHP, UU Minerba dan lain-lain.
Ditunda bukan sekadar “membeli waktu” tetapi harus mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat, terkait dengan beberapa pasal dan ayat kontroversial yang memantik resistensi.
Jangan karena menguasai suara mayoritas di DPR lantas dengan arogan menggunakan mayoritas suara, meski berlawanan dengan kehendak rakyat. Dan Slater dalam tulisannya di Jurnal Cornell University Southeast Asia Program (2004), “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition” (2004), menyatakan,  bahwa Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan kolusi demokrasi (collusive democracy).
Kondisi itu sangat mungkin melahirkan tendensi mayoritas (majoritarian tendency) tak semata di legislatif, tetapi juga di eksekutif. Penyakit ini, biasanya adalah winner takes all karena ada pemanfaatan suara dominan untuk memuluskan seluruh agenda mereka dan menutup segala akses kompetitor.
Solusinya, DPR periode 2019-2024 dan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin, seyogianya terus berkomunikasi dengan rakyat. Model komunikasi timbal balik yang dapat memangkas jarak komunikasi. Tiga pilar utama dalam berkomunikasi efektif dengan rakyat, yakni mengembangkan sikap hormat (respect), berkomitmen pada niat baik menyelesaikan masalah (good will) dan pemahaman bersama (mutual understanding).
Ini bukan soal siapa yang mampu menghadirkan suara mayoritas di DPR, tetapi soal siapa yang mampu menciptakan keselarasan untuk kemaslahatan rakyat.
Tak lagi cocok jika elite menggunakan model komunikasi linear atau searah dalam penyusuanan dan pengesahan UU atau bentuk peraturan lainnya. Perlu membangun dialog yang memadai dengan seluruh para pemangku kepentinan (stakeholder) yang akan terdampak dengan UU yang akan disahkan.
Dalam komunikasi, tak ada krisis yang tiba-tiba ada! Biasanya bermula dari persoalan laten, yang lantas aktual ke permukaan dan berjalan menjadi krisis mulai dari permulaan hingga akut. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini dan ke depan adalah sosok-sosok pemimpin transformatif. Bukan hebat atau jagoan sendirian, tetapi mampu menggerakkan perubahan sebagai bagian dari kerja kolektif berbalut sinergi dan kolaborasi.
(Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Anggota Dewan Pakar ISKI)