Urgensi
Kurikulum Kebencanaan
Asori Ibrahim ; Instruktur Nasional
Kurikulum 2013;
Guru SMP Negeri 5 Petarukan,
Kabupaten Pemalang
|
KOMPAS,
12 Maret
2018
Kejadian kebencanaan setiap tahun
selalu terulang dan menelan banyak korban. Terakhir adalah bencana tanah
longsor di Kabupaten Brebes, dengan 11 orang meninggal dan 7 orang hilang.
Musim hujan saat ini memang memicu
bencana alam di beberapa daerah, termasuk banjir dan tanah longsor. Bencana
alam sudah seiring dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Posisi Indonesia yang berada dalam
rangkaian cincin api atau pegunungan aktif dunia, menjadi faktor lain.
Indonesia juga subduksi atau pertemuan tiga lempeng dunia: lempeng Australia,
lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Maka tidak hanya banjir dan longsor,
Indonesia juga menjadi daerah rawan gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Selain gunung meletus sebagai
akibat langsung bencana gunung api, tak kalah penting adalah bencana sampingan
berupa banjir bandang yang membawa lahar dingin dan dapat merusak tanaman
penduduk.
Ragam kebencanaan
Tidak hanya gunung api, daerah subduksi pun sampai sekarang masih aktif. Jika
gempa terjadi di daratan maka potensi kerusakannya luar biasa. Jika gempa
terjadi di laut maka bisa berpotensi tsunami seperti di Aceh tahun 2004.
Saat ini, dengan perubahan
hidrometeorologi dunia, bencana terjadi kian sering dan bervariasi. Tidak
hanya banjir dan banjir bandang, tetapi juga kekeringan dan cuaca ekstrem berupa
angin puting beliung, abrasi, gelombang tinggi, serta dan kebakaran lahan dan
hutan.
Meningkatnya jumlah penduduk yang
diikuti meningkatnya kawasan permukiman, membuat bencana alam berpotensi
menjadi bencana antropogenik dengan pemicu manusia. Semakin menariknya
Indonesia sebagai tujuan investasi global serta meningkatnya intensitas
keluar masuk manusia, berpotensi meningkatkan penularan berbagai penyakit.
Pesatnya pertumbuhan industri dan
pembangunan semakin menambah
potensi bencana antropogenik.
Data dari BNPBP tahun 2017
menunjukkan bahwa kejadian bencana telah meningkat signifikan dalam dekade
terakhir. Pada kurun waktu tersebut Indonesia dilanda 11.274 kejadian bencana
yang telah menelan 193.240 korban jiwa. Total kerugian minimal Rp420 triliun.
Terus meningkat
Kejadian bencana itu antara lain gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias (2004),
gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa bumi Sumatera Barat
(2007), banjir Jakarta (2007), gempa bumi Bengkulu (2007), gempa bumi
Sumatera Barat (2009), tsunami Mentawai (2010), banjir bandang Wasior (2010),
erupsi Gunung Merapi (2010), lahar dingin Gunung Merapi (2011), serta banjir
Jakarta (2012, 2013 dan 2014), erupsi Gunung Sinabung (2013, 2014), erupsi
Gunung Kelud (2014), Tanah longsor di Banjarnegara (2016) dan yang terbaru
tanah longsor di kecamatan Salem Kabupaten Brebes (2018).
Diperkirakan dalam lima tahun
mendatang, bencana meningkat dengan adanya permasalahan : fenomena geologi
yang semakin dinamis, perubahan iklim yang semakin ekstrem, peningkatan
degradasi lingkungan, dan bonus demografi yang tidak terkelola dengan baik.
Berdasarkan Indeks Risiko Bencana
Indonesia tahun 2013, jumlah penduduk yang terpapar oleh potensi bencana
adalah sebanyak 205 juta jiwa. Berdasarkan hasil evaluasi penanggulangan
bencana di Indonesia 5 (lima) tahun terakhir dari National Assessment Report
(NAR) 2013 diidentifkasi adanya kendala-kendala sebagai berikut: (1)
koordinasi dalam penyadaran masyarakat rentan bencana; (2) sinkronisasi
kebijakan vertikal (pusat dan daerah); (3) pengurangan risiko bencana (PRB)
belum menjadi isu strategis Pemerintah; (4) ketidakpastian anggaran
penanggulangan bencana di daerah; (6) masih lemahnya penegakan hukum terkait
penanggulangan bencana.
Melihat kondisi tersebut dapatlah
dikatakan bahwa Indonesia sangat akrab dengan bencana alam. Bencana alam yang
terjadi bisa saja itu murni kehendak yang maha kuasa. Bisa saja ada campur
tangan tingkah laku manusia yang tidak mau bersahabat dengan alam.
Dengan seringnya bencana alam yang
dihadapi oleh Indonesia, maka perlu dipikirkan solusi pencegahan untuk
meminimalisasi jumlah korban. Bencana alam sebenarnya bisa diantisipasi
dengan membaca perilaku alam. Terkadang manusia tidak peduli ketika alam
sudah mengingatkan. Masyarakat baru geger ketika bencana alam sudah menelan
banyak orang.
Antisipasi yang bisa dilakukan
adalah melalui pembelajaran kebencanaan dengan kurikulum tersendiri.
Pembuatan kurikulum kebencanaan sesuai dengan Nawacita kedelapan yaitu
“Merevolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan
nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang
menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah
pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat
bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia”.
Kurikulum kebencanaan
Nawacita kedelapan bisa dimaknai bahwa berkaitan dengan kebencanaan maka
merevolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum
pendidikan nasional untuk mengembangkan budaya aman bencana, melalui
penerapan kurikulum kebencanaan, Sekolah/Madrasah Aman Bencana, pengembangan
Iptek dalam kebencanaan. Kurikulum yang dimaksud saya sebut dengan kurikulum
kebencanaan.
Gagasan kurikulum ini adalah untuk
membelajarkan masyarakat akan faktor kebencanaan yang terjadi pada lingkungan
sekitar. Tujuannya adalah biar mereka mampu mengantisipasi dan meminimalisasi
kerusakan dan korban kebencanaan.
Kurikulum kebencanaan yang
diterapkan pada satuan pendidikan, mengacu pada persiapan anak didik untuk
memahami dan mempersiapkan diri akan adanya potensi bahaya kebencanaan
di sekitarnya. Kurikulum seyogianya kurikulum kearifan lokal, yang dalam
dunia pendidikan disebut muatan lokal.
Kurikulum kebencanaan sebaiknya
tidak membebani jumlah jam belajar. Kurikulum kebencanaan juga janganlah
hanya sebuah materi sisipan pada mata pelajaran tertentu. Materi kebencanaan
sebaiknya menjadi materi muatan lokal sendiri yang tidak menambahi jumlah jam
belajar anak. Kurikulum kebencanaan menjadi materi tersendiri, mengingat
kebencanaan di Indonesia adalah hal keniscayaan. Kebencanaan masuk muatan
lokal karena setiap daerah memiliki karakteristik kebencanaan sendiri sendiri
sesuai dengan spesifikasi wilayahnya
Sesuai kondisi
Contohnya adalah ketika suatu daerah lebih banyak didominasi pegunungan,
maka materi kebencanaan dititikberatkan pada kebencanaan kegunungapian.
Pada daerah rawan longsor, materi dititikberatkan pada kebencanaan tanah
longsor. Struktur kurikulum dibuat dengan menitik beratkan pada
pengetahuan kebencanaan serta sikap dan perilaku terhadap lingkungan.
Praktik penyelamatan terhadap
bencana seperti peringatan dini, evakuasi sampai persiapan logistik. Selain
praktik kebencanaan, juga perlu materi penyadaran bahwa manusia tidak dapat
hidup tanpa alam sekitarnya.
Kearifan lokal untuk kurikulum
kebencanaan dapat mengacu pada perilaku masyarakat sekitar untuk melestarikan
sumber daya alam. Misalnya kesepakatan masyarakat adat menjaga sumber air
dengan cara nyadran. Kearifan lokal seperti itu sekarang tidak menarik karena
dianggap takhayul. Maka yang perlu dielaborasi adalah makna yang bagus untuk
menyayangi dan melindungi tempat tersebut.
Kurikulum kebencanaan juga dapat
dibuat untuk masyarakat umum. Justru ini sangat penting mengingat justru
perilaku orang dewasa yang langsung tidak langsung memengaruhi kualitas
lingkungan dan kebencanaan.
Materi kebencanaan untuk
masyarakat umum bisa bersifat kompleks mulai dari sikap kesadaran untuk
menjaga alam hingga pengetahuan kebencanaan itu sendiri. Selain itu perlu ada
praktik simulasi penyelamatan jika terjadi bencana.
Materi bisa diberikan di sela
kegiatan di desa, rapat, atau lewat sosialisasi kebencanaan. Mengingat posisi
Indonesia di daerah rawan bencana, sangat diperlukan pembekalan kebencaanaan
melalui kurikulum yang terintegrasi dengan semua unsur penanggulangan
kebencanaan.
Semoga bencana yang terjadi dapat
diantisipasi dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar