Demokrasi
Liberal Kembali
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
|
KOMPAS,
21 Maret
2018
Demokrasi kita sejauh ini mengalami
defisit: melahirkan terlalu banyak politisi tetapi terlalu sedikit negarawan.
Idealnya, dari pemilu ke pemilu, penyelenggara negara semakin berkualitas
negarawan (kompeten, berintegritas). Namun, politisi pemburu kekuasaan
memotong linearitas korelasi waktu dan kualitas itu.
Diakui atau tidak, kita terjebak demokrasi
liberal. Bukan hanya siapa punya uang banyak, tetapi juga siapa yang bisa
menggoreng isu untuk dipolitisasi. Isu-isu populis dimainkan untuk mengubah
orientasi rakyat, mengaktivasi emosi primordial sekaligus mendeaktivasi akal
sehat yang jernih. Di mulut, kita mengutuk ekonomi liberal, tetapi laku
politik kita demokrasi liberal.
Reformasi kita memang telah memberi jalan
lebar demokrasi, tetapi—seperti dikatakan Bung Hatta di dalam Demokrasi
Kita—kita “melupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi dalam praktik”.
Akibatnya, kita mempraktikkan demokrasi liberal (free fight), “hantam
menghantam … menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha
pembangunan jadi telantar”. Demokrasi seperti itu “tidak kenal batas
kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki”.
Demokrasi dengan partisipasi aktif rakyat
bertujuan untuk menjaring pemimpin berkualitas, yang pada gilirannya akan
memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan luhur demokrasi akan
tercapai “apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada
pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai
yang telah berkali-kali saya peringatkan.” Peringatan Hatta lebih dari
setengah abad lalu ini masih relevan dengan keadaan kita sekarang.
Demokrasi pecah belah
Praktik politik demokrasi liberal pada
dasarnya tanpa etika politik. Segala cara jadi halal, asal lawan kalah. Demi
mengejar kekuasaan, tenun kebangsaan kalau perlu dirobek, rakyat dijadikan
bahan bakar kampanye. Sportivitas pertarungan program dan gagasan jadi tak
relevan. Sebagian kita memaknai ruang demokrasi sebagai kesempatan mengumbar
caci maki, dalam ucap atau tulisan di media sosial, kepada yang tidak
disukai. Tidak hanya sampai di situ, informasi bohong pun disebarluaskan
untuk membentuk opini masyarakat dan membangun sentimen negatif.
Hoaks politik sedang dimainkan sebagai
salah satu strategi pemenangan pemilu di era digital. Lepas dari siapa yang
diuntungkan atau dirugikan oleh politik hoaks, kerugian terbesar tentu
terbelahnya masyarakat ke dalam oposisi biner hanya berdasarkan asumsi
pilihan politik dalam pemilu. Rakyat dan kontestan yang kalah babak belur,
sementara sang pemenang merayakan kemenangan di atas robekan-robekan tenun
kebangsaan.
Bukan itu demokrasi kita sebagai bangsa
yang dulu dikenal mengedepankan musyawarah untuk mufakat, bergotong royong,
dan hidup dalam harmoni. Persatuan bangsa dengan susah payah dipupuk oleh
para pemimpin kita dalam suatu kesadaran bahwa bangsa yang terbelah tak akan
kuat untuk maju dan menghadapi tantangan eksternal. Kekuatan dan kebesaran
bangsa Indonesia hanya pada persatuannya. Hanya dengan cara itu kita menjadi
bangsa yang tak mudah dikuasai dan didikte negara kuat.
Dulu, penguasa kolonial Belanda menjalankan
politik pecah-belah masyarakat agar lebih mudah menguasai sumber- sumber
ekonomi yang melimpah di Tanah Air. Kini, setelah lama merdeka, sebagian
elite politik kita mengadopsi politik yang sama atas nama demokrasi tetapi
untuk menguasai bangsa sendiri. Apabila kita dikuasai asing secara ekonomi,
sebenarnya bukan karena asing musuh kita, melainkan kita menjadi lemah
sendiri sehingga mudah dikuasai asing.
Dikotomi menyesatkan
Ada pandangan terungkap yang melegitimasi
dikotomi negarawan-politisi. Orientasi negarawan adalah mengurus negara,
sedangkan orientasi politisi adalah memburu kekuasaan sampai dapat. Per
definisi, negarawan adalah orang yang paham seluk-beluk pemerintahan, taat
asas menyusun kebijakan publik, visioner (melihat lebih jauh dari yang dilihat
rakyat), dan berwibawa (bijaksana dalam memimpin, dan memiliki integritas
pribadi).
Negarawan lahir melalui jalur-jalur
konstitusional negara, lalu bermetamorfosa dari politisi menjadi
penyelenggara negara yang berintegritas. Idealnya, setelah menjabat sebagai
penyelenggara negara, horizonnya adalah negara dan bangsa. Sekalipun rumah
politik lama berciri partisan, jabatan sebagai penyelenggara negara memberi
horizon lebih luas untuk melihat masalah konstituennya dalam perspektif
bangsa. Memperjuangkan kepentingan konstituen di dalam koridor kebangsaan.
Dalam dikotomi seperti ini, politisi seolah-olah tak wajib memiliki
kualifikasi negarawan sampai yang bersangkutan jadi penyelenggara negara.
Ruang hidup politisi di luar negara dan selama itu ia boleh melakukan manuver
politik apa saja.
Dikotomi ini menyesatkan. Politisi seperti
Tan Malaka tak pernah masuk ke dalam lingkar kekuasaan tetapi buah pikirannya
memperlihatkan betapa besar kepeduliannya atas bangsa dan negara. Tulisannya
terus menginspirasi perjalanan para penyelenggara negara dan politisi kita.
Bung Hatta juga bersikap negarawan ketika berada di luar lingkar kekuasaan.
Namun, benar bahwa tak semua penyelenggara
negara adalah negarawan. Banyak penyelenggara negara dalam praktiknya tidak
profesional mengurus negara sehingga kemajuan bernegara berjalan lambat.
Pencapaian legislator kita terkait legislasi dari tahun ke tahun jauh dari
target dan mereka tak merasa wanprestasi sebagai wakil rakyat.
Dalam ketergesa-gesaan dan tanpa uji
publik, produk legislasi yang mengatur diri mereka langsung digugat
masyarakat ke Mahkamah Konstitusi dan Presiden tak bersedia
menandatanganinya. Publik dibiarkan menilai sendiri siapa yang berkehendak
dengan legislasi itu dan penyelenggara negara mana yang lebih setia kepada
partai daripada kepada negara.
Menyadari panggilan luhur mengemban tugas
negara, Presiden Filipina Manuel L Quezon (1935-1944) bisa berkata,
“Loyalitasku kepada partaiku berakhir ketika loyalitasku kepada negaraku
dimulai.” Karena itu, jadi penting presiden memiliki kesetiaan seperti itu
dari para pembantunya yang notabene berasal dari partai.
Cacat kenegarawanan juga tampak dari
persekongkolan melibatkan penyelenggara negara untuk membobol keuangan negara
secara sistematis dan masif. Itu sebabnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
2017 jalan di tempat pada skor 37 (skala 0-100) seperti tahun sebelumnya,
malah turun peringkat dari 90 (total 176 negara) ke 96 (total 180 negara),
meski banyak operasi tangkap tangan dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi
seperti itu mengkhianati panggilan bernegara.
Politisi dan negarawan, keduanya
mengatasnamakan rakyat dan paham seluk-beluk kenegaraan. Politisi belum tentu
penyelenggara negara tetapi tak boleh kehilangan karakter negarawan dengan
menghalalkan segala cara dalam perjuangan politiknya. Penyelenggara negara
pasti politisi dan seharusnya negarawan dengan tidak menjadi partisan. Tugas
kita semua, pemerintah dan rakyat, untuk keluar dari jebakan demokrasi
liberal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar