Anomali
Konflik Pilkada
Juri Ardiantoro ; Doktor Ilmu Sosiologi dan KETUA KPU RI 2016-2017
|
KOMPAS,
12 Maret
2018
Pilkada Serentak 2018 di 171
daerah telah menyelesai- kan tahap pendaf- taran dan penetap- an pasangan
calon, setelah terlebih dulu diperiksa pemenuhan persyaratannya oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Ini merupakan pilkada serentak
yang tidak hanya jumlah daerahnya yang besar tetapi juga mencakup
daerah-daerah yang dikategorikan memiliki bobot politik yang seksi dalam
kalkulasi politik nasional. Daerah-daerah lumbung suara seperti Provinsi
Jabar, Jatim, Jateng, Sumut, Sulsel, dan provinsi lainnya menjadi taruhan
politik tidak hanya saat pilkada tapi juga Pemilu 2019, terutama untuk
kepentingan pemilihan presiden.
Meskipun nampak berat, namun dari
sisi pelaksanaan tak perlu kita menumpuk kekhawatiran yang berlebihan.
Sebagai mantan penyelenggara, saya memiliki keyakinan bahwa dengan memiliki
pengalaman panjang dengan sukses dalam melaksanakan pilkada maupun pemilu
penyelenggara akan dapat melaksanakan tahapan Pilkada 2018 dengan sukses
pula.
Saya justru memiliki kekhawatiran
yang sangat dalam terkait potensi konflik pilkada. Apanya yang dikhawatirkan?
Bukankah sejatinya konflik dalam pilkada atau pemilu merupakan hal yang
lumrah dan niscaya karena keduanya merupakan arena kontestasi? Bukankah
konflik dalam pilkada juga dapat menjadi bagian untuk mengukur sejauh mana
proses demokrasi berjalan atau tidak, bahkan konflik dapat menambah bobot
demokrasi itu sendiri?
Singkatnya, bukankah konflik
secara fungsional dapat membangun kesimbangan (check and balances) yang dapat
mencegah adanya dominasi salah satu pihak sehingga dapat mencegah tindakan
yang menciderai prinsip pemilu yang bebas dan adil (free and fair election).
Kekhawatiran mengenai konflik ini
terletak ada pada dua hal, yakni
konflik tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang berkontestasi tetapi
melibatkan masyarakat secara intens dan mendalam dan konflik mestinya
berhenti saat pilkada telah ditetapkan pemenangnya, tetapi berlanjut hingga
selepas pilkada.
Politik kontestasi saat ini tidak
lagi hanya dimonopoli oleh para kontestan, tetapi juga melibatkan masyarakat
secara intens dan mendalam. Pada level ini sebetulnya terdengar
menggembirakan dalam upaya memperdalam makna demokrasi dalam pemilu atau
pilkada. Masyarakat sepertinya sudah berubah posisi dari sekadar obyek
elektoral menjadi subyek yang ikut menentukan dalam kontestasi. Namun
demikian, akhir-akhir ini persepsi ini mulai berubah seiring penampakan peran
politik masyarakat.
Menguatnya politik primordial
dengan isu SARA dan politik transaksional, keterlibatan masyarakat tidak pada
penguatan strategi untuk mendorong proses kontestasi yang demokratis dan
memilih kandidat yang paling baik. Keterlibatan masyarakat justru pada
wilayah penguatan mobilisasi isu SARA di satu sisi, sementara masyarakat di
sisi yang lain sudah berani menghalalkan dan menganggap sebagai keharusan memilih
kandidat dengan motif materi.
Kecenderungan politik kontestasi
semacam ini memperlihatkan bahwa konflik tidak lagi dimonopoli oleh antar
peserta atau antara peserta dengan penyelenggara atau peserta dengan negara
seperti kasus pada pemilu masa Orde Baru, tetapi telah menyeret masyarakat
secara mendalam dan intens. Meskipun ada banyak pandangan yang mengatakan
bahwa perilaku masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan elite
sehingga perilaku seperti apapun yang ditunjukkan masyarakat merupakan
cerminan perilaku elite. Dengan kata lain, pandangan ini mengatakan konflik
di tingkat akar rumput merupakan akibat kehendak dan provokasi elite.
Bagi saya, pandangan ini bisa jadi
masih memiliki alasan empiriknya, namun perlu perhatian serius jika kita
mengikuti perbincangan publik di berbagai media sosial yang sangat nampak
individu-individu dalam masyarakat sangat aktif melakukan penyerangan secara
vulgar terhadap kandidat lawan dan pendukungnya serta pembelaan buta pada
kandidat yang dipilihnya.
Pembelaan dan penyerangan ini
sering kali dibungkus dengan menggunakan isu-isu SARA yang justru semakin
membuat perbedaan semakin tajam dan berhadap-hadapan. Sebuah realitas yang
benar-benar sangat mencemaskan dalam kehidupan sosial kita. Pembelahan masyarakat
yang sangat tajam tidak dapat dihindari.
Potensial
direplikasi
Pilkada atau pemilu sejatinya
adalah sarana mengelola konflik agar persaingan politik berlangsung secara
beradab. Idealnya melalui pemilu atau pilkada, potensi konflik politik dalam
setiap pergantian kekuasaan hendak dilembagakan dalam sebuah mekanisme
kompetisi yang fair. Dengan begitu, konflik dapat dikelola dan menegaskan
bahwa pilkada atau pemilu merupakan unsur terpenting dalam demokrasi. Namun
demikian, saat ini pemilu atau pilkada sebagai cara mengatasi konflik
menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Selain keterlibatan masyarakat
secara mendalam dalam konflik politik itu, saat ini kita menghadapi kenyataan
bahwa konflik terus terjadi meskipun pilkada telah usai. Seperti yang ditulis
Snyder (2003) benar-benar terjadi, yakni gagasan demokratisasi melalui pemilu
yang menjanjikan kedamaian, pada saat yang sama sering kali menimbulkan
konflik yang berkelanjutan.
Jika diasumsikan bahwa pilkada
adalah sarana mengelola konflik akibat kontestasi, mestinya setelah pilkada
usai dan telah ditetapkan pemenangnya, konflik dengan sendirinya berhenti,
apalagi sejak awal masing-masing kandidat dan pendukungnya berjanji siap
memenangi pilkada dan siap pula menerima kekalahan.
Lagi-lagi kita mengambil contoh
pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang telah usai, di mana gubernur terpilih
telah bekerja dan pesaingnya telah mengakui calon terpilih, namun aroma dan
perilaku masyarakat masih terbelah dan terus memeliharanya. Di sinilah letak
kekhawatirannya. Apa yang terjadi di DKI Jakarta terus dipelihara kemudian
oleh para petualang politik akan direplikasi pada pilkada-pilkada yang akan
berlangsung di 171 daerah. Tidak berhenti di pilkada, proyek pecah belah akan
dilanjutkan di Pemilu 2019, terutama pemilu presiden.
Bangsa ini mestinya dapat
mengambil pelajaran atas pilkada DKI Jakarta dan pemilu-pemilu di banyak
negara yang tidak dapat menghentikan konflik meskipun kontestasi telah usai.
Masyarakat terbelah dan rezim baru hasil pemilu tidak seratus persen fokus
menjalankan program-program yang telah dijanjikan tapi banyak disibukkan
dengan urusan mengatas konflik lanjutan ini.
Kita harus berjuang bersama untuk
mengembalikan cita-cita demokratis pemilu atau pilkada, yakni mengatur agar
persaingan politik dapat dilaksanakan secara beradab dan menghasilkan
pemimpin yang diterima semua pihak.
Konflik harus diarahkan sebagai energi atau bahan bakar untuk membuat
demokrasi semakin berjalan di rel yang benar, bukan sebaliknya, yakni konflik
menjadi bara yang terus dipelihara dan dikipasi sehingga akan terus menjadi
anomali dalam proses demokratisasi pilkada dan pemilu di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar