Jumat, 23 Maret 2018

Masa Depan Perda

Masa Depan Perda
Despan Heryansyah  ;   Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) 
Fakultas Hukum UII Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 21 Maret 2018



                                                           
Semua rezim UU tentang Pemerintahan Daerah,  selalu memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menilai dan membatalkan peraturan daerah. Dalam ilmu hukum, model ini dikenal dengan executive review, yaitu kewenangan badan eksekutif untuk meninjau kembali. Jika suatu peraturan daerah dinilai bertentangan dengan kehendak pemerintah pusat atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, perda tersebut dapat dibatalkan presiden (praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri).

Jika pemerintah daerah keberatan dengan Keputusan pembatalan perda dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat menggugat Keputusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).  Putusan MA nantinya menjadi final dan mengikat. Sayang, hal ini jarang dilakukan mengingat kendali atas finansial masih menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat.

Tahun 2016 Presiden Jokowi pernah membatalkan 3.143 Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Pada tahun yang sama, ketentuan mengenai kewenangan pemerintah pusat membatalkan perda ini di-judicial review – kan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 memutus bahwa pembatalan peraturan daerah tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan sepenuhnya kewenangan Mahkamah Agung.

Putusan bermasalah

Putusan MK tersebut   sesungguhnya bukan tanpa masalah. Setidaknya kita dihadapkan pada tiga persoalan utama.

Pertama, Indonesia memiliki lebih dari 500 kabupaten/kota ditambah dengan 34 provinsi. Dapat dibayangkan bagaimana menumpuknya perkara yang akan diajukan ke MA, sementara di MA sendiri menurut informasi ada lebih dari 2.000 perkara yang sedang mengantre. MA harus menyiapkan mekanisme tersendiri menghadapi fenomena pengujian perda ini.

Kedua, pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat masih sangat rendah, terutama di daerah-daerah terpencil luar Jawa. Jika pada suatu ketika muncul peraturan daerah yang “sangat” bermasalah, maka kecil kemungkinan akan ada masyarakat yang berani dan mau menggugat perda tersebut ke MA. Harapan sebenarnya ada pada pemerintah pusat untuk bersedia mengajukan permohonan pembatalan ke MA, namun dengan sekian banyak perda yang ada, apakah pemerintah mau menjalani sidang berkali-kali di MA?

Ketiga, letak MA di ibu kota negara Jakarta membutuhkan akses dan pembiayaan yang tidak sedikit bagi daerah-daerah yang lokasinya jauh dari Jakarta. Ini tentu menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk menjadi pemohon, meskipun setelah berkas perkara diajukan ke MA, pemohon tidak perlu ke Jakarta untuk menghadiri sidang.

Namun demikian, ketentuan ini sesungguhnya dalam konteks negara hukum yang demokratis adalah jauh lebih fair dan menjamin keadilan substantif. Harus dipahami bersama bahwa perda juga dibentuk dengan prosedur yang hampir sama dengan pembentukan undang-undang, bedanya cakupan berlaku yang hanya untuk daerah tertentu saja sedangkan undang-undang untuk seluruh wilayah Indonesia.

Suatu perda disetujui bersama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah dan DPRD memiliki legitimasi serupa dengan Presiden dan DPR, yaitu dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak bisa jika produk hukumnya hanya dibatalkan oleh lembaga yang berkedudukan sama sebagai pemerintah di bidang eksekutif. Sebagaimana halnya suatu produk hukum, hanya boleh dibatalkan oleh lembaga yudikatif (MA dan MK).

Awal tahun 2018 pemerintah dan DPR mengesahkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memunculkan banyak kewenangan baru kepada lembaga-lembaga tersebut. Salah satu kewenangan itu terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 249 ayat (1) huruf J di mana DPD berwenang memantau dan mengevaluasi peraturan daerah.

Tentu saja ini menjadi rezim baru bagi keberadaan peraturan daerah,  yang patut disikapi dengan tidak kalah seriusnya. Patut menjadi perhatian apakah yang dimaksud dalam frasa “memantau dan mengevaluasi”.

Mengikat atau tidak?

Bagaimana kekuatan dari hasil evaluasi yang dimaksud, apakah mengikat atau tidak? Jika mengikat tentu menjadi tidak tepat setidaknya karena dua hal.

Pertama DPD adalah nomenklatur pemerintah pusat yang mewakili masing-masing daerah untuk menyuarakan aspirasi daerah, bukan malah mengevaluasi pemerintah daerah.

Kedua, harus diingat bahwa DPD adalah lembaga legislatif bukan lembaga yudikatif. Jika hasil evaluasinya mengikat, tentunya kurang tepat. Daerah adalah tiang tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), peraturan daerah (perda) adalah tiang bagi berlangsungnya pemerintahan daerah. Maka keberadaan perda patut menjadi perhatian utama karena kesejahteraan tiap daerah adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar