Atas
Nama Indonesia
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam;
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Maret 2018
SEIRING dengan semakin dekatnya
pergelaran pilkada serentak 2018 yang akan dilanjutkan dengan pemilu pada
2019 mendatang, tensi politik mulai terasa meningkat. Belajar dari
sebelumnya, pertarungan memperebutkan kekuasaan acap berlangsung panas, sarat
dengan perselisihan yang tak jarang menimbulkan gesekan bahkan memanaskan
hubungan antaranggota keluarga ataupun hubungan pertemanan.
Para pihak yang terlibat
dalam kontestasi perebutan kekuasaan harus menyadari akan keberadaan kelompok
ekstrem yang belum menerima NKRI dengan segala kebijakan dan ketentuan
kenegaraan yang telah ditetapkan bangsa ini, termasuk sistem demokrasi dalam
rangka proses pergantian kepemimpinan. Sebagian dari kelompok ini mungkin
secara aktif melakukan perjuangan nyata untuk mengekspresikan penolakan
mereka terhadap Indonesia sebagai negara Pancasila. Sebagian lain mungkin
lebih memilih diam tak menampakkan sikap moral kebangsaannya.
Pantauan
kelompok ekstrem
Keberadaan kelompok
seperti di atas harus selalu hadir dalam pikiran para pihak yang terlibat
dalam pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan, bahwa pertarungan
yang mereka lakukan terjadi dengan para pihak yang sama-sama menerima
Indonesia sebagai negara kesatuan berdasarkan Pancasila. Yang paling penting
bahwa pertarungan mereka senantiasa berada dalam pantauan kelompok ekstrem
yang tidak menerima Indonesia sebagai negara Pancasila.
Hal yang harus
diperhatikan ialah, hampir dalam semua tahapan pertarungan perebutan
kekuasaan seperti pilkada, kelompok ekstrem selalu bisa mengambil keuntungan.
Ketika pertarungan memperebutkan kekuasaan ini berjalan lancar dan
menghasilkan pemimpin terpilih, kelompok ini juga masih bisa mendapatkan
keuntungan. Apabila kepemimpinan yang ada gagal membumikan nilai-nilai
Pancasila, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi dll, kegagalan itu
bisa dijadikan pembenar oleh mereka dalam menolak Indonesia sebagai negara
Pancasila.
Lebih menguntungkan lagi
bagi kelompok ekstrem bila proses perebutan kekuasaan berjalan dengan tensi
politik yang tinggi. Lebih-lebih sampai menimbulkan konflik komunal. Dalam
bahasa mereka, peluang atau konflik internal ini disebut dengan istilah
miftah as-shira’ yang secara bahasa bermakna kunci pembuka konflik.
Maksudnya ialah konflik
komunal yang ada bisa dijadikan sebagai pintu masuk oleh mereka untuk
merekrut anggota baru, melakukan latihan-latihan bersenjata, juga
mengorganisasi penyerangan (termasuk kepada aparat) hingga pembentukan
wilayah basis gerakan yang dalam bahasa mereka disebut dengan istilah qa’idah
aminah (wilayah aman).
Situasi global dan
regional seperti sekarang bisa lebih menguntungkan lagi bagi mereka,
mengingat terjadinya berbagai peristiwa politik di tingkat global yang selama
ini menjadi salah satu faktor bagi tumbuhnya kelompok seperti ini. Mulai dari
memanasnya kembali konflik Israel-Palestina hingga persoalan Rohingnya.
Sebagian sumber dan analis
bahkan memperkirakan medan jihad para teroris ke depan akan mengalami
pergeseran, dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Tidak hanya karena NIIS telah
jatuh di Suriah dan Irak. Tidak juga hanya karena banyaknya kelompok
perlawanan seperti di Filipina. Tapi juga karena banyaknya pendukung tidur
(khalaya na`imah) dari kelompok ini di wilayah Asia Tenggara, tak terkecuali
di Indonesia (As-Sharq Al-Awsat, 20/11/17).
Pembuktian
Indonesia
Karena itulah, daripada
menjadi ajang ketegangan demi ketegangan, pergantian kepemimpinan seperti
pilkada ataupun pilpres harus dimaknai sebagai momentum pembuktian dari
kebenaran pilihan Indonesia sebagai negara Pancasila. Pembuktian seperti ini
menjadi tantangan tersendiri, mengingat proses pergantian kepemimpinan selama
ini hanya dimaknai sebagai pembuktian keunggulan dan kekuasaan kelompok
tertentu (malah mungkin individu tertentu) dalam meraih dan mempertahankan
kekuasaan.
Sementara itu dari sisi
yang berlawanan, sebagian dari kelompok ekstrem tidak mau menerima Indonesia
sebagai negara Pancasila. Mereka menginginkan Indonesia menjadi negara agama,
dan hal itu juga dilakukan atas nama cinta terhadap Indonesia. Inilah politik
atas nama Indonesia dari dua sisi yang saling berlawanan. Dari satu sisi,
atas nama Indonesia sebagian besar masyarakat berjuang untuk mempertahankan
Indonesia sebagai negara Pancasila bersama ketentuan-ketentuan kebangsaan
lainnya. Dari sisi yang lain, juga atas nama Indonesia, sebagian kecil pihak
yang bercita-cita Indonesia menjadi negara agama berjuang untuk mengganti
Pancasila bersama segala ketentuan kebangsaan lainnya.
Akan tetapi, sampai
sekarang kelompok ini gagal mencapai tujuan perjuangan mereka karena
terbentur pilihan dan konsensus final para pendiri bangsa yang menetapkan RI
sebagai negara Pancasila dengan dukungan kuat dari masyarakat luas. Hal yang
harus diperhatikan, dalam konteks di atas, Indonesia sebagai negara Pancasila
bisa mengalami pemudaran secara perlahan lantaran praktik pembajakan
nilai-nilai Pancasila yang dilakukan sebagian elite, khususnya ketika mereka
memegang kekuasaan, hingga akhirnya keistimewaan RI sebagai negara Pancasila
tidak membumi dan tidak dirasakan langsung masyarakat luas, khususnya secara
ekonomi.
Adapun konsepsi RI sebagai
negara agama senantiasa tersimpan rapi dalam sanubari suci mereka (dengan
segala bayang-bayang keberhasilan) lantaran belum pernah diujicobakan. Hal
ini bisa menjadi daya tarik tersendiri, minimal menimbulkan penasaran di
sebagian masyarakat. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus