Kota
dan Nama Jalan sebagai Etalase Sejarah
Sarkawi B Husain ; Dosen “Sejarah Kota” Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga; Penulis buku “Negara di
Tengah Kota: Politik Representasi
dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya
1930-1960)
|
KORAN
SINDO, 20 Maret 2018
POLEMIK
penamaan jalan yang akhir-akhir ini bergulir, baik di Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, dan Surabaya menarik untuk dicermati. Berbeda dengan Jakarta yang
hendak mengganti nama Jalan Warung Buncit Raya di Jakarta Selatan dengan
Jalan Jenderal Besar AH Nasution, dengan maksud menghormati jasa besar AH
Nasution, tiga kota lainnya bermaksud
untuk melakukan rekonsialiasi sejarah agar tidak ada lagi “dendam
sejarah” yang diwariskan turun-temurun kepada generasi baru Jawa dan Sunda.
Terlepas
dari keabsahan atas peristiwa Perang Bubat 661 tahun silam atau tahun 1357
Masehi, antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pasundan yang menjadi dasar
rekonsiliasi itu, polemik sudah menjadi bola liar. Pertanyaannya adalah
mengapa nama jalan menjadi begitu sensitif memicu polemik?
Dalam
studi yang dilakukan oleh P J M Nas dan Freek Colombijn, nama jalan
dikelompokkan ke dalam salah satu simbol politik kota. Menurut keduanya,
studi tentang simbol kota menarik dan penting untuk dilakukan dengan tiga
pertimbangan. Pertama, sebagian besar simbol menggunakan ruang fisik,
misalnya monumen. Kedua, simbol-simbol berpengaruh terhadap penggunaan ruang
lainnya, dan sebaliknya dipengaruhi oleh penggunaan ruang yang lain. Ketiga,
dinamika simbol-simbol kota merefleksikan perubahan dalam struktur kekuasaan.
Nama
jalan tentu bukan sekadar nama, tetapi dia merepresentasikan sesuatu,
terutama yang berhubungan dengan sejarah. Dengan kata lain, nama jalan seperti
juga simbol kota lainnya adalah “etalasi sejarah” dari sebuah kota. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan kalau politik penamaan jalan menjadi hal
yang sangat sensitif. Dan, hal ini pemerintah kadang-kadang kurang peka atas
masalah ini.
Perjalanan
sejarah Kota Surabaya misalnya, mengajarkan banyak hal bagaimana kontestasi
masyarakat begitu besar atas penamaan jalan yang menurut mereka tidak berakar
pada sejarah kota ini. Beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia misalnya, penghapusan nama-nama jalan yang berbahasa Belanda mulai
dilakukan secara besar-besaran.
Bahkan
terdapat kecenderungan mengganti nama jalan tanpa memperhatikan sejarah dan
ciri khas suatu tempat. Hal ini terutama terjadi pada masa DPR-GR. Pada masa itu ditetapkan
nama-nama jalan seperti Jalan Patrice Lumumba, Yos Sudarso, Ade Irma
Nasution, Jaksa Agung Suprapto, (dulu hampir bernama Letjen Suparman), Wali
Kota Mustadjab, Basuki Rahmat, Samodra, dan lain-lain.
Pengantian
nama jalan dilakukan karena nama jalan merupakan salah satu simbol yang
menyimpan kenangan kolektif. Oleh karena itu, setelah kemerdekaan semua
kenangan itu dianggap perlu dihapus. Himpunan nama jalan perkotaan memadukan
ruang dan waktu. Nama jalan menjadi waktu yang membeku di dalam kota. Ia
adalah bayangan dan etos kota, serta melambangkan hakikatnya.
Nama-nama
jalan yang berbahasa Belanda dianggap sebagai bukan kenangan kolektif orang
Indonesia, tetapi kenangan orang Belanda. Sebuah kenangan yang dipaksakan,
yang sedikit sekali relevansinya bagi orang Indonesia yang menganggap masa
kolonial sebagai semata-mata masa penghinaan oleh Belanda.
Oleh
karena itu, dapat dipahami ketika Altingstraat diubah menjadi Jalan
Trunodjoyo, Bothstraat menjadi Jalan Dr Wahidin, Carpentierstraat menjadi
Jalan Untung Surapati, Coen Boulevard menjadi Jalan Raya Dr Sutomo,
Daendelstraat diubah menjadi Jalan Imam Bonjol, van Heutzstraat diganti
dengan nama musuhnya Teuku Umar. Perubahan nama-nama Belanda ini tidak hanya
terjadi di Kota Surabaya, tetapi juga terjadi di sejumlah kota besar lainnya.
Di
Kota Surabaya, penamaan jalan ini terjadi beberapa kali. Bataviaweg misalnya,
sesudah proklamasi diubah menjadi Jalan Djakarta, tetapi pada tahun 1974
diubah lagi menjadi Jalan Sisingamangaraja sebagai “kompensasi” atas penolakan
masyarakat dengan penggantian nama Jalan Jemursari menjadi Jalan
Sisingamangaraja. Namun demikian, jika kita meminta abang becak atau ojek ke Jalan Sisingamangaraja
hampir pasti dia tidak mengetahuinya. Tetapi jika kita meminta diantar ke
Jalan Jakarta pasti mereka tahu.
Kasus
lain misalnya adalah usul penggantian nama-nama jalan yang berbahasa Tionghoa
pada tahun 1958. Pada tahun tersebut, Panitia Pekerjaan Umum Kotapradja
Surabaya mengusulkan agar dilakukan
perubahan nama-nama jalan seperti Jalan Peiping, Tjaipo, Topekong, dan Jalan
Leong menjadi nama-nama Wali Songo. Realisasi atas usulan ini memakan waktu
empat tahun.
Dengan
pertimbangan DPRD Kotapradja Surabaya dan Dewan Pemerintah Daerah, usul ini
tidak dapat dipenuhi. Akan tetapi, dalam rapatnya pada 13/10/1962, DPRD-GR menyetujui perubahan
nama-nama jalan di komplek Topekong ini dengan komprom, yakni tidak mengganti
dengan nama wali tetapi dengan nama komoditas dagang seperti Karet, Teh, Cokelat, dan lain-lain.
Kasus-kasus
seperti contoh di atas banyak terjadi di Surabaya dan bisa jadi juga di
kota-kota besar lainnya seperti Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan
Makassar. Beberapa kasus tersebut menunjukkan simbol kota tidaklah sekadar
simbol, tetapi menjadi salah satu ruang bagi berlangsungnya kompetisi antara
berbagai kepentingan politik. Menurut Brenda S. A. Yeoh (1996), penamaan
jalan tidak hanya berkaitan dengan arti nama-nama tempat, tetapi juga wujud
dari perebutan sosial untuk kontrol atas produksi makna simbolik dalam
pembangunan lingkungan kota.
Oleh
karena itu, belajar dari berbagai kasus penolakan nama jalan baru yang
digagas oleh pemerintah, alangkah baiknya jika pemerintah memperhatikan
beberapa hal. Pertama, harus disadari betul bahwa nama jalan merupakan
refleksi dan “etalase” perjalanan sejarah sebuah kota. Bagi sebagian
masyarakat, mengubah nama jalan berarti mencabut akar sejarah sebuah kota.
Kedua, dengan kesadaran tersebut maka pertimbangan dari berbagai aspek
terutama aspek historis perlu mendapat perhatian serius agar niat baik untuk
melakukan “rekonsiliasi sejarah” bisa tercapai.
Ketiga,
pemerintah perlu memikirkan cara lain selain mengubah nama jalan sebagai cara
untuk menyelesaikan “dendam sejarah“. Keempat, pemerintah propinsi sebaiknya
menghormati ketentuan tentang prosedur penamaan jalan yang sudah diatur dalam
peraturan daerah (Perda). Kelima, karena usulan nama jalan baru berada di
wilayah kota, maka dialog dengan pemerintah kota menjadi hal yang wajib
dilakukan. Terakhir, upaya berdamai dengan masa lalu dan “rekonsiliasi
sejarah” wajib dilakukan, tapi jangan sampai upaya tersebut mewariksan
“dendam sejarah” yang baru kepada generasi berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar