Pelajaran
dari Luqmanul Hakim
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Maret 2018
SOSOK
Luqmanul Hakim banyak menginspirasi para arifin. Dalam riwayat Ibnu Abbas,
Luqmanul Hakim seorang manusia biasa yang pekerjaan sehari-harinya pencari
kayu bakar di Habsy. Ia bukan nabi, bukan rasul, bukan bangsawan, dan bukan
pula ulama besar.
Ada
riwayat menyebutkan ia seorang hakim di zaman Nabi Daud. Riwayat lain
menyebutkan ia hidup sesudah Nabi Isa sebelum Nabi Muhammad lahir. Ia
memiliki banyak kelebihan di balik kesederhanaannya sehingga namanya
diabadikan di dalam Alquran sebagai Surah Luqman.
Menurut
Ibnu Katsir, nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun. Ia
digambarkan bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah dan ada juga
yang berpendapat ia berasal dari Sudan. Secara fisik sesungguhnya tidak ada
yang menarik dari Luqmanul Hakim. Hanya kecerdasan dan kearifan yang
dimilikinya membuatnya terkenal dan selalu terkenang.
Sebagai
salah satu contoh kasusnya ialah ketika suatu saat Luqmanul Hakim masuk ke
pasar menaiki seekor himar (keledai), sedangkan anaknya mengikuti dari
belakang. Setelah melihat tingkah laku Luqman, ada sekumpulan orang yang
berkata, ”Lihatlah orangtua yang tidak punya perasaan, ia keenakan sementara
anaknya berjalan kaki.” Setelah mendengarkan kata-kata itu, Luqman turun dari
keledai lalu anaknya disuruh naik ke atas keledai, sedangkan ia sendiri
berjalan kaki.
Setelah
melihat kenyataan itu, orang-orang pasar kembali mencemoh, “Lihat orangtua
itu, ia berjalan kaki, sedangkan anaknya keenakan di punggung keledai,
sungguh anak itu tidak tahu malu.” Setelah mendengar itu, Luqmanul Hakim juga
naik ke keledai bersama-sama anaknya. Orang-orang pasar kembali mencemoh,
”Lihat itu ada dua orang menaiki seekor keledai, sungguh menyiksa keledai
itu.”
Karena
tidak suka mendengar cemohan itu, Luqmanul Hakim dan anaknya turun dari
keledai. Orang-orang pasar kembali mencibir, ”Lihat itu, dua orang berjalan
kaki, sedangkan keledai tidak dikendarai.” Akhirnya Luqmanul Hakim mencari
solusi berdasarkan apa yang diyakininya benar, tanpa harus terpengaruh orang
lain.
Pelajaran
berharga yang dapat dipetik dari Luqmanul hakim ialah hampir mustahil
memenuhi seluruh harapan dan kehendak masyarakat, apalagi kalau masyarakat
itu majemuk dan heterogen. Jika kita ingin memperbaiki situasi, masyarakat
harus istikamah di atas tataran nilai luhur yang banyak disepakati orang.
Dengan berpegang teguh pada aturan yang standar, itu akan mengurangi risiko
kehidupan.
Sama
juga dengan menghadapi raja yang zalim, masyarakat atau rakyat harus mampu
beradaptasi dengan rajanya dengan baik. Sebab dalam kaidah (sunni), lebih
utama dipimpin pemimpin yang buruk 100 tahun dari pada kosong kepemimpinan
sehari, yang akan berakibat lebih fatal dan berlaku hukum rimba, yang besar
memangsa yang kecil. Kaidah inilah yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia
yang berhaluan Ahlu Sunnah wa al-Jamaah.
Perlu
dikenang bahwa apa yang dinasihatkan Luqmanul Hakim terhadap anaknya bahwa
sesungguhnya dalam setiap keadaan tidak akan pernah bebas dari komentar
orang. Maka orang yang berakal sehat dan dan beriman tidak akan memilih
pertimbangan selain pertimbangan dan petunjuk dari Yang Mahaobjektif, yaitu
petunjuk dari Allah SWT”.
Kebenaran
itu universal dan ada di mana-mana. Kemudian Luqmanul Hakim berpesan kepada
anaknya, “Wahai anakku, tuntutlah rezeki yang halal supaya kamu tidak menjadi
fakir. Sesungguhnya orang fakir itu akan menjumpai tiga perkara. Pertama,
tipisnya keimanan dalam beragama. Kedua, lemahnya akal (mudah tertipu dan
diperdaya) dan hilang kemuliaan hatinya. Jika hal ini dapat diperhatikan,
langkah kehidupan kita di masa depan akan lebih mudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar