Memacu
Pertumbuhan yang Berkeadilan
Andreas Lako ; Guru Besar Akuntansi Hijau;
Ketua Program Doktor Ilmu
Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang
|
KOMPAS,
22 Maret
2018
Pada awal Februari 2018, Badan Pusat Statistik mengumumkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 adalah 5,07 persen, lebih tinggi
dibandingkan 2016 sebesar 5,03 persen. Dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
nasional selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terus
meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) optimistis pertumbuhan ekonomi
pada 2018 akan lebih tinggi dibandingkan 2017. Optimisme itu juga digelorakan
oleh pemerintah dan sejumlah pihak. Meski tren pertumbuhannya meningkat,
sejumlah kalangan justru menilai besaran pertumbuhan tersebut belum optimal
(Kompas, 7/2/2018). Mereka bahkan menganggap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla gagal dalam membangun kinerja perekonomian nasional ke arah yang lebih
baik.
Kinerja ekonomi pada era Jokowi-JK dinilai jauh lebih
rendah dan buruk dibandingkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
(2009-2014). Dalam tiga tahun awal SBY-Boediono memimpin pemerintahan,
pertumbuhan ekonomi 6,1% (2010), 6,17% (2011), dan 6,03% (2012).
Benarkah kinerja pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK jauh lebih buruk? Jawabnya, tidak! Meski dari sisi besaran pertumbuhan pada era SBY-Boediono jauh lebih tinggi, tetapi dari sisi kualitas pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK sesungguhnya jauh lebih berkualitas. Mengapa?
Pertumbuhan berkeadilan
Hasil studi Lako (2018) tentang dampak hasil pembangunan
terhadap kesejahteraan sosial selama 2000-2017 menunjukkan pertumbuhan
ekonomi pada era SBY-Boediono (2009-2014) memang lebih tinggi dibandingkan
pada era Jokowi-JK. Namun, jika dicermati dari tren pertumbuhan selama
2010-2017, terlihat kinerja pertumbuhan ekonomi sesungguhnya mulai menurun
sejak 2012 hingga 2015, yaitu dari 6,17% (2011) menjadi 6,03% (2012), 5,56%
(2013), 5,01% (2014), dan 4,88% (2015). Jadi, lebih rendahnya pertumbuhan
ekonomi selama 2015-2017 sesungguhnya bukan karena buruknya kinerja Jokowi-JK
dalam memimpin negara, melainkan akibat lanjutan dari resesi ekonomi global
yang berlangsung hingga 2016.
Terkait pernyataan saya bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi
era Jokowi-JK lebih baik dibandingkan era SBY-Boediono, kesimpulan itu
didasarkan pada implikasi hasil pembangunan terhadap penurunan kemiskinan,
pengangguran, dan kesenjangan sosial antarkelompok masyarakat. Hasil analisis
menunjukkan, dalam tiga tahun awal pemerintahan SBY-Boediono, pertumbuhan
ekonomi di atas 6% memang berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari
32,53 juta (2009) menjadi 28,59 juta (2012). Juga berhasil menurunkan jumlah
penganggur dari 8,32 juta (2010) menjadi 7,44 juta (2012). Sementara pada era
Jokowi-JK, jumlah penduduk miskin turun dari 28,51 juta (2015) menjadi 26,58
juta (2017). Adapun jumlah penganggur menurun dari 7,561 juta (2015) menjadi
7,005 juta (2017). Dari perbandingan itu, tampak dampak pertumbuhan ekonomi
terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengangguran pada era SBY-Boediono
lebih baik dibandingkan era Jokowi-JK.
Namun, dari sisi penurunan ketimpangan sosial, tampak
terjadi perbedaan yang signifikan. Pada tiga tahun awal SBY-Boediono
memimpin, pertumbuhan ekonomi di atas 6% juga diikuti kenaikan rasio Gini
dari 0,367 (2009) menjadi 0,413 (2012). Bahkan di akhir pemerintahan
SBY-Boediono, rasio Gini mencapai level tertinggi, yaitu 0,414.
Tren sebaliknya terjadi pada era Jokowi-JK. Selama
2015-2017, rasio Gini terus menurun dari 0,403 (2015) menjadi 0,391 (2017).
Dari hasil perbandingan itu, tampak pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
pada era SBY-Boediono justru memacu ketimpangan sosial. Level ketimpangan
sosial Indonesia pun naik dari ketimpangan rendah (low inequality) menjadi
ketimpangan sedang (moderate inequality). Sementara pada era Jokowi-JK, level
ketimpangannya menurun kembali menjadi ketimpangan rendah.
Implikasi positif lainnya dari keberhasilan pembangunan
pada era Jokowi-JK juga bisa dilihat dari penurunan ketimpangan antarkelompok
masyarakat. Laporan BPS menunjukkan, 20% kelompok masyarakat berpenghasilan
tinggi (kaya) yang pada era SBY-Boediono terus meningkat persentase
penguasaannya dari 45,57% (2010) jadi 48,27% (2014), pada era Jokowi-JK
justru turun dari 48,1% (2015) menjadi 45,55% (2017).
Sebaliknya, untuk 40% kelompok masyarakat berpendapatan
menengah yang pada era SBY-Boediono menurun dari 36,48% (2010) menjadi 34,6%
(2014), pada era Jokowi-JK justru meningkat dari 34,5% (2015) menjadi 37,21%
(2017). Tren yang sama terjadi pada 40% kelompok masyarakat berpendapatan
rendah (miskin). Pada 2010, kelompok ini menguasai 18,05%, tetapi menurun
jadi 17,12% pada 2014. Pada 2017, penguasaan dari kelompok ini naik menjadi
17,22%.
Berdasarkan uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa
pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK jauh lebih berkualitas dan mengarah
pada pertumbuhan berkeadilan dibandingkan era SBY-Boediono.
Berkelanjutan dan berkeadilan
Meski tren pertumbuhan ekonominya meningkat dan mengarah
pada pertumbuhan berkeadilan, isu kemiskinan, kesenjangan sosial, dan
ketimpangan antarwilayah masih menjadi persoalan serius bagi bangsa
Indonesia. Pada 2017, jumlah penduduk miskin masih sangat besar, yaitu 26,58
juta orang. Jumlah tersebut sebagian besar berada di Jawa (52,34%). Dari sisi
ketimpangan sosial, rasio Gini 0,391 (2017) sesungguhnya masih cukup lebar
dan harus segera dikurangi agar tak menyuburkan benih-benih radikalisme
sosial. Meski secara nasional rasio Gini kian menurun, ada beberapa provinsi
justru meningkat. DIY, Sulsel, dan Jatim merupakan provinsi yang
ketimpangannya meningkat pesat.
Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya adalah pemerintahan
Jokowi-JK perlu terus melanjutkan gerakan ”pembangunan berkelanjutan yang
berkeadilan” dan memacu pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Dalam upaya
menurunkan kemiskinan dan kesenjangan sosial serta ketimpangan antarwilayah
secara signifikan, pertumbuhan ekonomi pada 2018-2019 seharusnya dapat dipacu
mencapai 5,3%-5,6%. Modal untuk mencapai level pertumbuhan tersebut sangat
besar karena basis dan kondisi perekonomian Indonesia sangat kuat dan
kondusif.
Dalam upaya memacu pertumbuhan berkeadilan, pemerintah
perlu memperluas dan memacu penyelesaian proyek-proyek pembangunan
infrastruktur pada wilayah dengan tingkat ketimpangan antarwilayah dan
kemiskinan tinggi. Pemerintah juga perlu memacu investasi riil dan memperkuat
pembangunan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat basis ekonomi
kerakyatan. Tiga upaya tersebut sangat penting karena saling terkait dan memiliki
dampak yang luas terhadap penurunan angka kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Terkait pembangunan infrastruktur, bukti empiris
menunjukkan kenaikan anggaran infrastruktur yang signifikan dalam APBN
2015-2017 untuk ekspansi pembangunan di hampir seluruh wilayah Indonesia
tidak hanya telah berdampak positif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
menurunkan kemiskinan serta pengangguran, juga berdampak positif menurunkan
kesenjangan sosial dan ketimpangan antarwilayah pada banyak daerah. Pada
2017, tercatat ada 26 provinsi yang mengalami penurunan rasio Gini.
Keberhasilan pembangunan infrastruktur juga berdampak positif pada
peningkatan pergerakan aktivitas perekonomian daerah dan antardaerah,
kenaikan investasi korporasi pada sektor-sektor riil, dan peningkatan kinerja
UMKM. Berbagai dampak positif itu menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi
berkeadilan pada 2015-2017.
Selain tiga upaya di atas, saya berharap pemerintahan
Jokowi-JK juga perlu terus membenahi tata kelola pembangunan ekonomi dan
bisnis yang ramah lingkungan. Tujuannya, selain untuk meminimalkan perilaku
ekonomi tamak (greedy economy) dan meningkatkan tanggung jawab sosial dan
lingkungan korporasi, juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang
berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar