Jumat, 23 Maret 2018

Memacu Pertumbuhan yang Berkeadilan

Memacu Pertumbuhan yang Berkeadilan
Andreas Lako  ;   Guru Besar Akuntansi Hijau;
Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang
                                                        KOMPAS, 22 Maret 2018



                                                           
Pada awal Februari 2018, Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 adalah 5,07 persen, lebih tinggi dibandingkan 2016 sebesar 5,03 persen. Dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terus meningkat.

Badan Pusat Statistik (BPS) optimistis pertumbuhan ekonomi pada 2018 akan lebih tinggi dibandingkan 2017. Optimisme itu juga digelorakan oleh pemerintah dan sejumlah pihak. Meski tren pertumbuhannya meningkat, sejumlah kalangan justru menilai besaran pertumbuhan tersebut belum optimal (Kompas, 7/2/2018). Mereka bahkan menganggap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla gagal dalam membangun kinerja perekonomian nasional ke arah yang lebih baik.

Kinerja ekonomi pada era Jokowi-JK dinilai jauh lebih rendah dan buruk dibandingkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (2009-2014). Dalam tiga tahun awal SBY-Boediono memimpin pemerintahan, pertumbuhan ekonomi 6,1% (2010), 6,17% (2011), dan 6,03% (2012).

Benarkah kinerja pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK jauh lebih buruk? Jawabnya, tidak! Meski dari sisi besaran pertumbuhan pada era SBY-Boediono jauh lebih tinggi, tetapi dari sisi kualitas pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK sesungguhnya jauh lebih berkualitas. Mengapa?

Pertumbuhan berkeadilan

Hasil studi Lako (2018) tentang dampak hasil pembangunan terhadap kesejahteraan sosial selama 2000-2017 menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada era SBY-Boediono (2009-2014) memang lebih tinggi dibandingkan pada era Jokowi-JK. Namun, jika dicermati dari tren pertumbuhan selama 2010-2017, terlihat kinerja pertumbuhan ekonomi sesungguhnya mulai menurun sejak 2012 hingga 2015, yaitu dari 6,17% (2011) menjadi 6,03% (2012), 5,56% (2013), 5,01% (2014), dan 4,88% (2015). Jadi, lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi selama 2015-2017 sesungguhnya bukan karena buruknya kinerja Jokowi-JK dalam memimpin negara, melainkan akibat lanjutan dari resesi ekonomi global yang berlangsung hingga 2016.

Terkait pernyataan saya bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi era Jokowi-JK lebih baik dibandingkan era SBY-Boediono, kesimpulan itu didasarkan pada implikasi hasil pembangunan terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial antarkelompok masyarakat. Hasil analisis menunjukkan, dalam tiga tahun awal pemerintahan SBY-Boediono, pertumbuhan ekonomi di atas 6% memang berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 32,53 juta (2009) menjadi 28,59 juta (2012). Juga berhasil menurunkan jumlah penganggur dari 8,32 juta (2010) menjadi 7,44 juta (2012). Sementara pada era Jokowi-JK, jumlah penduduk miskin turun dari 28,51 juta (2015) menjadi 26,58 juta (2017). Adapun jumlah penganggur menurun dari 7,561 juta (2015) menjadi 7,005 juta (2017). Dari perbandingan itu, tampak dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengangguran pada era SBY-Boediono lebih baik dibandingkan era Jokowi-JK.

Namun, dari sisi penurunan ketimpangan sosial, tampak terjadi perbedaan yang signifikan. Pada tiga tahun awal SBY-Boediono memimpin, pertumbuhan ekonomi di atas 6% juga diikuti kenaikan rasio Gini dari 0,367 (2009) menjadi 0,413 (2012). Bahkan di akhir pemerintahan SBY-Boediono, rasio Gini mencapai level tertinggi, yaitu 0,414.

Tren sebaliknya terjadi pada era Jokowi-JK. Selama 2015-2017, rasio Gini terus menurun dari 0,403 (2015) menjadi 0,391 (2017). Dari hasil perbandingan itu, tampak pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada era SBY-Boediono justru memacu ketimpangan sosial. Level ketimpangan sosial Indonesia pun naik dari ketimpangan rendah (low inequality) menjadi ketimpangan sedang (moderate inequality). Sementara pada era Jokowi-JK, level ketimpangannya menurun kembali menjadi ketimpangan rendah.

Implikasi positif lainnya dari keberhasilan pembangunan pada era Jokowi-JK juga bisa dilihat dari penurunan ketimpangan antarkelompok masyarakat. Laporan BPS menunjukkan, 20% kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi (kaya) yang pada era SBY-Boediono terus meningkat persentase penguasaannya dari 45,57% (2010) jadi 48,27% (2014), pada era Jokowi-JK justru turun dari 48,1% (2015) menjadi 45,55% (2017).

Sebaliknya, untuk 40% kelompok masyarakat berpendapatan menengah yang pada era SBY-Boediono menurun dari 36,48% (2010) menjadi 34,6% (2014), pada era Jokowi-JK justru meningkat dari 34,5% (2015) menjadi 37,21% (2017). Tren yang sama terjadi pada 40% kelompok masyarakat berpendapatan rendah (miskin). Pada 2010, kelompok ini menguasai 18,05%, tetapi menurun jadi 17,12% pada 2014. Pada 2017, penguasaan dari kelompok ini naik menjadi 17,22%.

Berdasarkan uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK jauh lebih berkualitas dan mengarah pada pertumbuhan berkeadilan dibandingkan era SBY-Boediono.

Berkelanjutan dan berkeadilan

Meski tren pertumbuhan ekonominya meningkat dan mengarah pada pertumbuhan berkeadilan, isu kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketimpangan antarwilayah masih menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Pada 2017, jumlah penduduk miskin masih sangat besar, yaitu 26,58 juta orang. Jumlah tersebut sebagian besar berada di Jawa (52,34%). Dari sisi ketimpangan sosial, rasio Gini 0,391 (2017) sesungguhnya masih cukup lebar dan harus segera dikurangi agar tak menyuburkan benih-benih radikalisme sosial. Meski secara nasional rasio Gini kian menurun, ada beberapa provinsi justru meningkat. DIY, Sulsel, dan Jatim merupakan provinsi yang ketimpangannya meningkat pesat.

Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya adalah pemerintahan Jokowi-JK perlu terus melanjutkan gerakan ”pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan” dan memacu pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Dalam upaya menurunkan kemiskinan dan kesenjangan sosial serta ketimpangan antarwilayah secara signifikan, pertumbuhan ekonomi pada 2018-2019 seharusnya dapat dipacu mencapai 5,3%-5,6%. Modal untuk mencapai level pertumbuhan tersebut sangat besar karena basis dan kondisi perekonomian Indonesia sangat kuat dan kondusif.

Dalam upaya memacu pertumbuhan berkeadilan, pemerintah perlu memperluas dan memacu penyelesaian proyek-proyek pembangunan infrastruktur pada wilayah dengan tingkat ketimpangan antarwilayah dan kemiskinan tinggi. Pemerintah juga perlu memacu investasi riil dan memperkuat pembangunan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat basis ekonomi kerakyatan. Tiga upaya tersebut sangat penting karena saling terkait dan memiliki dampak yang luas terhadap penurunan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Terkait pembangunan infrastruktur, bukti empiris menunjukkan kenaikan anggaran infrastruktur yang signifikan dalam APBN 2015-2017 untuk ekspansi pembangunan di hampir seluruh wilayah Indonesia tidak hanya telah berdampak positif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kemiskinan serta pengangguran, juga berdampak positif menurunkan kesenjangan sosial dan ketimpangan antarwilayah pada banyak daerah. Pada 2017, tercatat ada 26 provinsi yang mengalami penurunan rasio Gini. Keberhasilan pembangunan infrastruktur juga berdampak positif pada peningkatan pergerakan aktivitas perekonomian daerah dan antardaerah, kenaikan investasi korporasi pada sektor-sektor riil, dan peningkatan kinerja UMKM. Berbagai dampak positif itu menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi berkeadilan pada 2015-2017.

Selain tiga upaya di atas, saya berharap pemerintahan Jokowi-JK juga perlu terus membenahi tata kelola pembangunan ekonomi dan bisnis yang ramah lingkungan. Tujuannya, selain untuk meminimalkan perilaku ekonomi tamak (greedy economy) dan meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan korporasi, juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang berkeadilan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar