Tahun
Politik, Tahun Pasar Malam
Bre Redana ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 Maret
2018
Partai politik adalah pranata yang membuat warga negara
berkemungkinan ambil bagian dalam proses politik dan bernegara.
Pertanyaannya: mengapa kader partai termasuk para kepala daerah banyak yang
korupsi. Pertanyaan berikut: setelah tertangkap, mengapa mereka sepertinya
tidak merasa bersalah. Tidak menyembunyikan wajah seperti kriminal kelas teri
kalau mengingat korupsi dikategorisasikan sebagai kejahatan besar? Malah
senyum-senyum seperti baru saja mendapat surat cinta di hari libur?
Pertanyaan terakhir lebih serius karena menyangkut
eksistensi diri sebagai manusia. Guru di mana saya banyak belajar menyebut
aksi-reaksi-refleksi. Semua ada di dalam diri sendiri. Aksi adanya di otak,
menyebabkan reaksi pada tubuh, reaksi memancar keluar menjadi semacam
refleksi. Orang yang terlatih akan merefleksikan ketenangan menghadapi
situasi krisis.
Apakah sebegitu terlatihnya mereka dalam korupsi, sehingga
tenang-tenang saja ketika tertangkap? Apa yang membuat tubuh imun dari rasa
bersalah dan malu? Jangan-jangan, inilah gambaran migrasi kebudayaan kita,
termasuk evolusi manusia dari zaman ”old” ke zaman ”now”.
Sebagaimana istilah berantakan yang kian kita terima dan
pakai dengan nyaman tadi, cara kita berbahasa mencerminkan bagaimana kita
mendefinisikan diri. Beberapa kali saya mendapat komentar, bahasa saya rumit.
Kurang komunikatif. Bikinlah yang ringan-ringan saja.
Tentu saya suka mendapat masukan demikian, namun tidak
dengan mudah saya mengucap janji untuk menulis yang dikategorikan ”ringan”.
Saya senantiasa berusaha menyampaikan sesuatu seringan dan sekomunikatif
mungkin. Ketika itu pun kurang berhasil, saya cuma bisa mengatakan—seperti
pernah diungkapkan Barthes—aspek komunikasi hanya dua persen dari urusan
bahasa.
Apa selebihnya? Banyak. Dalam politik tubuh, bahasa
melatih, mendisiplinkan, dan mengonstruksi otak. Bahasa di sini berfungsi
untuk mengondisikan otak, berlanjut ke otak mengondisikan tubuh, atau kadang
bisa pula tubuh mengondisikan otak.
Bagaimana menyederhanakan hal yang saya sadari lumayan
rumit tersebut? Praktikkan secara sederhana, misalnya berpikir yang baik-baik
dan lucu-lucu, tubuh akan santai dan wajah bakal semringah. Dalam hal ini
otak mengondisikan tubuh.
Sebaliknya, kalau pikiran sedang buntu, bawa tubuh dengan
aktivitas misalnya jalan-jalan, pacaran, atau olahraga. Pikiran akan kembali
hidup. Tubuh mengondisikan otak.
Apa hubungannya dengan partai politik?
Ada. Partai politik didirikan dengan basis pemikiran atau
ideologi masing-masing. Gagasan mengenai nasionalisme, misalnya, dulu
melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI); gagasan mengenai sosialisme
melahirkan Partai Sosialis Indonesia (PSI); gagasan tentang revolusi proletar
melahirkan Partai Komunis Indonesia (PKI); dan seterusnya. Lebih lanjut
mengenai politik golongan bisa ditanyakan kepada mereka yang mempelajari
ilmu-ilmu politik.
Sekarang ini, entah terbawa zaman atau dikarenakan
perubahan yang dibawa oleh teknologi informasi, gagasan mengenai partai
politik sepertinya tak penting lagi. Semua partai menyerukan hal yang sama:
membela rakyat, melakukan perubahan, antikorupsi. Menjelang pilkada,
slogan-slogan tadi hadir bersama foto besar-besar tampang
agraris yang mimpi jadi kepala daerah.
Kegiatan politik tak ubahnya pasar malam. Masing-masing
partai membuka lapak dengan dagangan maupun atraksi yang dirasa bisa menarik
perhatian massa. Dulu ada atraksi menceburkan diri dari panggung kampanye ke
tengah kerumunan massa. Padahal ia paling pandai semasa sekolah teruna,
seorang pendukung berujar haru. Ada lagi yang naik kuda seperti John Wayne
zaman Wild West. Belakangan ada yang mempertontonkan diri berlatih tinju, seperti
Mike Tyson, meski agak kurang sangar.
Partai politik pasca-pemikiran?
Begitulah sekarang zaman mengondisikan otak kita. Kalau
ada calon pemimpin yang memperlihatkan keterampilan naik motor seperti dalam
atraksi tong setan, kemungkinan saya akan pilih dia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar