Mengapa
Demokrasi Melahirkan Banyak Koruptor?
Luthfi Assyaukanie ; Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Maret 2018
HAMPIR
setiap minggu kita mendapatkan berita tentang penangkapan kepala daerah atau
pejabat pemerintah oleh KPK. Dengan sumber daya yang terbatas saja, KPK
begitu sering membongkar kasus korupsi, apalagi jika mereka memiliki sumber
daya lebih besar. Mungkin setiap hari kita akan disuguhkan berita penangkapan
para koruptor.
Begitu
seringnya KPK menangkapi para pejabat yang korup, Ketua MPR, Zulkifli Hasan,
sampai khawatir jika KPK meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah
para pejabat, suatu saat nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri
ini karena semuanya telah tertangkap KPK.
Pertanyaannya,
apakah banyaknya kasus korupsi itu karena ada KPK? Artinya, kalau tidak ada
KPK yang beroperasi, negeri kita aman-aman saja, tidak ada korupsi? Ini ialah
pertanyaan keliru dari logika yang sesat. Ia sama dengan pertanyaan ini,
mengapa banyak orang sakit gigi? karena banyak dokter dan klinik gigi. Jika
tak ada dokter gigi, tak akan ada orang yang sakit gigi.
Menarik
mencermati bagaimana masyarakat kita menyikapi korupsi. Pada satu sisi, ada
orang-orang yang menganggap korupsi suatu hal yang biasa dan bukan sebuah
kejahatan besar. Bahkan ada yang menganggap bahwa korupsi untuk tujuan
tertentu, misalnya demi syiar agama (korupsi syari atau suap syari)
dibolehkan, seperti belum lama ini disuarakan seorang ustaz.
Alih-alih
mengecam, agama digunakan melegitimasi tindakan kejahatan. Namun,
sesungguhnya, ini bukan pertama kali agama dipakai untuk melakukan kejahatan.
Sudah seringkali agama dipakai untuk menyakiti orang, menipu, menyerang,
merampas, membunuh, hingga meneror. Agama ialah alat paling efektif untuk
menutupi kejahatan.
Pada
sisi lain, ada masyarakat yang betul-betul muak melihat maraknya korupsi di
negeri kita. Mereka berharap KPK terus konsisten melakukan operasinya. Mereka
tahu bahwa pemberantasan korupsi tidak mudah. KPK bukan hanya berhadapan
dengan para koruptor, tapi juga harus berhadapan dengan sebagian masyarakat
yang tak mengerti betapa jahatnya korupsi.
Kualitas pemilih
Mengapa
demokrasi kita melahirkan begitu banyak pemimpin yang korup? Mengapa pemilu
dan pilkada yang prosesnya diselenggarakan dengan cukup fair dan terbuka
berujung pada pemilihan orang-orang yang tidak kompeten? Apa yang salah?
Pertanyaan
itu sesungguhnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Para pemerhati demokrasi
di dunia belakangan mempertanyakan kualitas demokrasi yang melahirkan
pemimpin yang tidak sesuai cita-cita demokrasi. Contoh terbaru, Rusia yang
pemilunya baru-baru ini
memenangkan
Vladimir Putin untuk keempat kalinya sebagai presiden. Meski UU Rusia hanya
membolehkan orang menjadi presiden selama dua periode, lewat manuver
politiknya, Putin bisa berkuasa empat periode diselingi koleganya, Dmitry
Medvedev pada 2008-2012.
Sebelumnya,
Pemilu AS 2016, dipertanyakan banyak orang karena melahirkan politisi yang
paling tidak diunggulkan dan dianggap mustahil menjadi presiden: Donald
Trump. Sampai sekarang, banyak rakyat AS yang masih belum percaya bagaimana
mungkin demokrasi mereka melahirkan seorang presiden seperti Trump?
Di
Indonesia, demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang
tidak kompeten, tetapi juga menghasilkan banyak kepala daerah yang korup dan
intoleran. Kita sudah menyelenggarakan empat kali pemilu dan ratusan pilkada
di berbagai daerah, tapi kualitas wakil dan pemimpinnya tidak mengalami
perbaikan. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah.
Lalu,
haruskah kita menyalahkan demokrasi? Haruskan kita meninjau ulang sistem
pemilihan yang kita lakukan?
Para
sarjana sudah cukup lama memperdebatkan hal ini. Demokrasi punya cacat bawaan
yang sampai kini sulit diperbaiki. Sejak zaman filsuf Yunani kuno, cacat
bawaan itu sudah dideteksi. Realitas masyarakat yang terfragmentasi dalam
kaya-miskin, pandai-bodoh, kuat-lemah, menjadi pangkal kelemahan demokrasi.
Menurut Plato, demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar dan kuat,
untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh, dan lemah.
Dari
zaman ke zaman, realitas masyarakat itu tidak banyak berubah. Kalaupun ada
perubahan dalam peningkatan jumlah masyarakat terdidik, persentase masyarakat
yang sadar politik dan yang tidak, jumlahnya kurang lebih sama dengan
fragmentasi yang dihadapi Plato dulu.
Jason
Brennan, seorang pengajar ilmu politik di Universitas Georgetown, AS,
mengonversi kelas-kelas sosial yang dihadapi Plato itu menjadi ‘masyarakat
melek politik’ dan ‘masyarakat buta politik’. Dalam bukunya, Against
Democracy, Brennan menjelaskan jumlah masyarakat melek politik sangat kecil.
Sebagian besar masyarakat yang datang ke bilik suara ialah mereka yang
sesungguhnya buta politik.
Kalaupun
mereka tahu politik, lanjut Brennan, mereka hanya tahu sedikit-sedikit saja.
Informasi mereka tentang calon pemimpin, wakil rakyat, dan program kerja
partai, hampir nol. Mereka yang antusias berpolitik umumnya seperti holigan
yang mendukung satu klub bola semata-mata karena fanatisme buta, bukan karena
kualitas klubnya.
Sumber masalah
Di
situlah letak persoalannya. Pemilu dan pilkada tidak menyediakan mekanisme
yang adil untuk menilai dan memilih calon-calon terbaik. Sebagian besar yang
datang ke bilik suara adalah orang-orang yang secara pengetahuan politik
tidak layak. Merekalah yang akan menentukan nasib suatu bangsa atau
pemerintahan di daerah. Jika kualitas pemilihnya buruk, bersiaplah mendapatkan
hasil pemimpin buruk.
Selama
ini, satu-satunya cara untuk menangani cacat bawaan demokrasi itu dengan
membuat program-program yang biasa dikenal dengan ‘pendidikan pemilih’.
Pemerintah dan NGO berlomba-lomba menciptakan berbagai program agar pemilih
menjadi cerdas dan melek politik.
Namun,
Ilya Somin, Guru Besar di George Mason University, meragukan efektivitas
program-program semacam itu. Terlalu besar jumlah kaum ignorant dalam
demokrasi. Pemerintah tak akan mampu memberdayakan jumlah masyarakat yang sangat
besar. Dalam bukunya, Democracy and Political Ignorance, Somin menjelaskan
salah satu pangkal masalah mengapa masyarakat menjadi ‘bodoh’ dalam politik
karena terlalu banyak yang mereka pikirkan.
Demokrasi
menjadi tidak efektif karena masyarakat menghadapi begitu banyak pilihan.
Seperti orang yang bingung berbelanja di supermarket, perlu waktu berpikir
dan merenung barang mana yang terbaik yang harus diprioritaskan. Jika tidak
berpikir, seseorang akan salah mengambil barang atau akan mengambil barang dengan
kualitas yang buruk.
Menurut
Somin, demokrasi yang kita miliki seperti sebuah supermarket yang menyediakan
begitu banyak item. Kita tidak punya cukup waktu untuk menyeleksi mana calon
yang bagus dan mana calon yang buruk. Dengan segala keterbatasan itu, kita
dipaksa untuk menentukan pilihan. Jangan heran kalau kita mendapatkan hasil
yang jelek.
Sumber
masalah dari banyaknya pilihan itu ialah pemerintahan yang gemuk. Terlalu
banyak posisi publik yang diperebutkan, belum lagi jumlah wakil rakyat. Semakin
gemuk sebuah pemerintahan, semakin besar masyarakat menjadi ignorant dalam
demokrasi. Solusinya, menurut Somin, ialah merampingkan pemerintahan.
Usulan
Somin sangat masuk akal, tapi mungkin akan sulit dilaksanakan, terutama di
RI. Pemerintahan yang gemuk bukan (hanya) terkait banyaknya persoalan yang
mesti diurus, tapi terkait bagi-bagi jabatan dan posisi. Banyaknya partai
yang ikut bergabung dalam pemerintahan (baik di pusat dan di daerah) menuntut
jumlah posisi dan jabatan publik yang harus diisi. Setiap orang harus
memiliki bagian.
Jangan-jangan
persoalan korupsi di Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah
political ignorance para pemilih. Setiap kepala daerah yang terpilih merasa
berhutang pada partai yang mendukungnya. Ketika berkuasa, dia sekuat tenaga
akan ‘membayar utang’kepada para pendukungnya, dengan memberi jabatan atau
memberi insentif lain, yang berpotensi mengandung korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar