Jumat, 23 Maret 2018

Bermula dari Revolusi Mental

Bermula dari Revolusi Mental
Idrus Marham  ;   Menteri Sosial RI
                                              MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2018



                                                           
SUATU ketika, di hadapan sejumlah 'santrinya', Li T’aiPo, sang penyair besar Tiongkok, yang hidup di tahun 700-an Masehi, turun menelusuri lembah Sungai Yangtze. Di tepi kejernihan sungai ini, penyair yang dikenal dengan ketajaman spontanitas dan imajinasinya itu menghanyutkan sejumlah puisinya.

Para murid terperangah sebab mereka tahu bahwa sang guru adalah penyimpan arsip yang baik. Lalu mengapa tiba-tiba bisa begini? Ketika sang murid bertanya, Li dengan tenang menjawab, “Ketahuilah bahwa memiliki berarti kehilangan." Ia lalu ngeloyor menaiki lembah. Tinggal para murid melongo, menafsir-nafsir apa makna kalimat sang guru tadi.

Tafsirnya tentu menjadi sangat beragam. Namun, yang jelas, di kemudian hari, di hadapan sejumlah muridnya, Li membuka tabir. Terkuak sudah mengapa ia rela menghanyutkan goresan sajak-sajaknya. Rupanya, ia tidak mau 'kehilangan' motivasi saat sudah 'memiliki' karya. Li tak merasa khawatir kehilangan beberapa karya terbaiknya asal rasa kehilangan itu bisa mendongkrak motivasinya untuk berkarya lebih baik lagi. Di sini ia seperti sedang menabuh genderang, menabuh motivasi diri untuk target-target kreatifnya. 

Kalau karya-karya terbaikku hanya akan membelenggu gairahku untuk terus berkarya, lalu buat apa aku menghasilkan satu-dua karya terbaik. Begitu kira-kira wasiat umum Li di depan 'santrinya'. Tentu, bukan tanpa alasan kalau penyair ini begitu takut kehilangan motivasi. Ia mafhum betul bahwa tanpa motivasi manusia sebenarnya bukanlah 'khalifah'. Tanpa motivasi, kehidupan bisa tanpa juntrungan.  Mungkin, dalam kesehariannya, Li kerap melihat bagaimana merananya mereka yang lalai membangun motivasi diri. Hidup bak layang-layang.

Motivasi diri

Kisah di atas, sebenarnya hanya pesan agar jangan pernah meremehkan soal motivasi diri karena risikonya bisa menyumbat etos dan nasib hidup. Kita harus berani membangkitkan motivasi sebagai ikhtiar sekaligus kebutuhan terus-menerus. Dengan kesadaran motivatif, prestasi bisa berinkubasi menjadi energi asasi dalam diri. Maka wajarlah jika seorang Lie begitu gusar ketika motivasinya mulai temaram.

David Mac Clelland, guru besar psikologi dari Harvard, menggandengkan kesadaran bermotivasi ini dengan berprestasi. Ia memformulasikan pemikiran tentang perlunya memotivasi diri untuk berprestasi--need for Achievement. Kebutuhan berprestasi ia pastikan sebagai salah satu pintu perubahan sosial ke arah yang lebih positif. Bermaslahat.Dalam pandangan David Mc Clelland, orang yang punya hasrat kuat kebutuhan untuk berprestasi pasti akan bekerja lebih baik, lebih gigih. Punya target, dan lebih bermasa depan. Maka dari itu, kalau ingin mendorong masyarakat maju, 'virus' need for achievement, kata David Mc Clleland, mesti disuburkan, disebarkan. "Diinkubasikan!" Dorong semua orang agar rasa butuh berprestasinya tadi bersemayam dan menetas di dalam dirinya. Sadar motivasi! Saya pun sepakat dengan pikiran ini.

Seperti yang dilakukan Li T’ai Po, meski karyanya sudah kesohor ke mana-mana, ia tanpa lelah bergeliat terus membangkitkan motivasi dirinya. Ia percaya, jika motivasi menyala, karya akan terus bersinar. Li pun percaya bahwa nyala motivasi itu bukan sekadar lampu pijar biasa, melainkan sebuah energi hidup, pelita kreatif.

Tidak mengherankan jika sampai akhir hayatnya Li membuktikan dirinya tidak kepadaman motivasi. Puisi-puisi penyair Tiongkok yang terkenal di masa dinasti Tang ini terus produktif. Kini hampir seribuan karyanya tersimpan di Eropa dan penjurunya. Sebagian telah diterjemahkan.

Kekuatan energi mental

Dari persektif sejarah yang berbeda, Thariq bin Ziyad, seorang panglima perang, pernah menorehkan sejarah motivasi yang legendaris. Itu terjadi tatkala Thariq bin Ziyad bersama 7.000 tentaranya menyeberang ke daratan Spanyol. Di sana Thariq menerima laporan 'intelijen' yang mengatakan bahwa 100 ribu pasukan sudah dipersiapkan Raja Roderic, raja lalim yang berasal dari bangsa Visigoth, untuk menghadangnya.

Dilema. Jika balik pulang, panglima gagah berani ini akan dicatat sebagai pecundang sepanjang masa. Pengecut! Tapi maju perang dengan kekuatan tak seimbang, konyol juga!  Dalam keadaan seperti inilah, Thariq mengambil langkah mencengangkan. Tiba-tiba, ia memerintahkan sejumlah anak buahnya membakar semua perahu yang mengangkut pasukannya. Lalu ia berkobar-kobar pidato. "Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian! Musuh di hadapan kalian. Kekuatan keduanya sama besar."

Pilihan mundur dan maju sama beratnya! Karena itu, lebih baik, singkirkan sifat takut, ganti dengan sikap terhormat. "Perang atau mati!” Seusai dimotivasi, pasukkan Thariq berlari bak air bah yang mengejar seratusan ribu lawan. Dilumpuhkan. Mirip dengan pasukan pejuang kemerdekaan kita yang menaklukkan senjata penjajah dengan bambu runcing, persis setelah tekad 'merdeka atau mati' digelegarkan.

Memang, tak seorang pun menafikan dahsyatnya kekuatan energi mental. Meski energi mental tak kelihatan wujudnya, power-nya tak pernah tertandingi. Dahsyat. Maka terasa tepat dan realistis sekali jika di zaman seperti sekarang ini, Presiden Jokowi memberi perhatian khusus pada gerakan Revolusi Mental. Saat bangsa ini harus dibangkitkan, beliau realistis! Dan paham bagaimana cara membangkitkan power bangsa ini supaya melesat, berdaya saing, dan berprestasi, setara dengan bangsa besar.

Secara teori, apa sih kurangnya Indonesia? Jika sampai hari ini kita masih tersendat di kategori negara berkembang, ini bukanlah suratan takdir. Ini hanya sebuah pekerjaan rumah yang belum selesai. Hanya PR. Maka, urusannya terpulang pada bagaimana kesungguhan kita menyelesaikannya. Dalam perspektif inilah, urgensi gerakan Revolusi Mental terletak. Mari bangkit. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar