Semiotika
UU MD3
Acep Iwan Saidi ; Pembelajar Semiotika
|
KOMPAS,
21 Maret
2018
Presiden Joko Widodo tidak
menandatangani UU MD3 yang bermasalah itu. Namun, UU tersebut tidak batal
karenanya.
Sejak 30 hari setelah
disetujui DPR, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tetap berlaku, dengan
atau tanpa ditandatangani Presiden. Dalam perspektif semiotika, kasus ini
jadi permainan tanda berlapis.
Untuk mengurainya, saya
coba tatap dengan semiotika kebertigaan (trikotomi) dari Charles Sanders
Peirce (dalam Short, 2007). Peirce mengidentifikasi tanda dalam relasi
segitiga sama kaki. Pada kaki pertama terdapat apa yang disebutnya
representamen (sesuatu yang merepresentasikan), pada kaki kedua terdapat
obyek (sesuatu yang direpresentasikan, konsep), dan pada kaki ketiga terdapat
interpretant, yakni makna atau interpretasi
tentang makna dalam benak seseorang.
Merujuk pada teori
tersebut, sebagai sebuah rumusan, UU MD3 terletak pada kaki representamen
yang merujuk ke realitas atau konsep yang direpresentasikannya (obyek). Lalu,
apa konsepnya? Perlu dipahami, dalam semiotika terdapat pandangan bahwa
konsep tidak selalu abstrak. Untuk hal ini sejenak saya akan meminjam
semiotika Hjemslev (dalam Noth, 1990).
Menurut Hjemslev, tanda
adalah hubungan antara ekspresi (dapat sejajar dengan representamen Peirce)
dan isi (dapat sejajar dengan obyek). Hubungan keduanya bisa bersifat fisik.
Ekspresi dan isi sama-sama konkret. Ia mencontohkan hubungan antara
speedometer mobil dan gerak rodanya. Angka yang ditunjuk jarum pada
speedometer mobil adalah ekspresi dari kecepatan roda mobil sebagai isinya.
Itulah yang disebut sinyal.
Beranalogi pada teori itu,
dalam segitiga Peirce, yang terletak pada kaki obyek tidak lain adalah DPR.
Ini karena DPR yang memproduksi UU MD3. Dibaca dari arah berlawanan, UU MD3
adalah ekspresi atau sinyal yang dikirim DPR. Sampai di sini tidak ada
masalah.
Menjadi problematik ketika
sampai pada kaki ketiga, yakni pada makna atau interpretan-nya. Sebagai
sinyal yang dikirim wakil rakyat, UU MD3 sejatinya mengirim pesan, makna, dan
dampak yang menggembirakan rakyat.
Namun, sebagaimana diketahui, ia justru membuat keresahan. Alih-alih mewakili
dan melindungi kehendak rakyat, UU MD3 justru mengancam dan berpotensi
mencelakakan rakyat.
Keresahan
terlegitimasi
Sebatas mana tingkat
keresahan itu? Perlu diketahui bahwa pada kaki interpretan juga terdapat
hubungan segitiga lagi, yakni rheme (interpretasi spontan), dicent
(interpretasi yang telah spesifik), dan argument (interpretasi yang telah
berdasar). Dalam relasi ini, mula-mula keresahan rakyat berada pada level dicent atau bahkan rheme,
semacam derau dan teriakan emosional beberapa pihak. Namun, ketika Presiden
tidak menandatangani UU tersebut, keresahan menjadi definitif: bahwa
masyarakat secara obyektif memang resah. Dengan kata lain, tindakan Presiden
telah melegitimasi keresahan tadi.
Keresahan terlegitimasi
sedemikian juga mengidentifikasi posisi UU MD3 sebagai representamen. Di
sini, lagi-lagi, Peirce mengedepankan relasi segitiga lain, yakni qualisign
(sesuatu yang berpotensi menjadi tanda), sinsign (sesuatu yang telah dapat
diduga sebagai tanda), dan legisign (sesuatu yang telah sahih sebagai tanda).
Kegaduhan yang timbul akibat UU MD3 mula- mula berada pada level sinsign.
Pada level ini, publik boleh jadi hanya menerka bahwa sumber keresahan
masyarakat itu adalah UU MD3. Namun, setelah Presiden menolak menandatangani,
dugaan itu terbukti: UUD MD3 sumber kegaduhan (legisign).
Apa yang terjadi pada dua
kaki segitiga utama dan turunannya tersebut tentu bertumpu pada obyek atau
konsepnya, yakni DPR. Di sini, kita bertemu lagi dengan relasi segitiga lain,
yakni ikon (tanda kemiripan), indeks (tanda yang menunjuk), dan simbol (tanda
sebagai kesepakatan). Jika representamen dan interpretan-nya telah sedemikian
kacau, logikanya tentu DPR sebagai konsepnya juga kacau. Almarhum Gus Dur
pernah menyebut DPR mirip dengan taman kanak-kanak. Hal ini berarti bahwa Gus
Dur menciptakan ikon untuk DPR. Mari kita periksa.
Sebagai representamen, UU
MD3 jelas hasil studi DPR terhadap realitas rakyat. Pasal tentang pemanggilan
paksa terhadap orang yang dianggap merendahkan martabat DPR, misalnya,
merupakan pesan semiotis bahwa sebelumnya ada rakyat yang melakukan tindakan
itu. DPR kemudian mendefinisikan bahwa
tindakan tersebut merupakan kejahatan dan oleh karena itu pelakunya harus
dipenjarakan.
”Jepruta
collectiva”
Dengan demikian, DPR
mendefinisikan bahwa dirinya benar sementara pihak yang dianggap merendahkan
martabat—seraya tidak ada penjelasan apa yang dimaksud merendahkan itu—salah.
Di sini, DPR telah membuat kategorisasi: bahwa pihak di luar dirinya adalah
liyan. Dengan begini tampak bahwa DPR merupakan lembaga yang terpisah, bahkan
berseberangan dengan rakyat.
Karena sikap itulah, DPR
tidak melihat kritik dari rakyat yang menurutnya merendahkan martabat tadi
sebagai masukan untuk memperbaiki dirinya. Sikap tertutup ini mencerminkan
bahwa DPR tidak mau introspeksi diri. Jika sedikit saja bersikap terbuka, DPR
sejatinya menyadari bahwa yang sering merendahkan martabat DPR justru
anggotanya sendiri. Sejak reformasi, 155 anggota DPR telah ditangkap KPK
karena korupsi. Secara individu, mereka memang telah dihukum. Tetapi, secara
kelembagaan, anggota DPR lain tampak tidak peduli, tidak menyikapinya sebagai
masalah kelembagaan.
Menemukan fakta demikian,
ikon yang dibuat Gus Dur menjadi sahih. Melampaui itu, dalam konteks ini DPR
bahkan dapat menjadi tanda indeksikal, yakni menunjuk ke situasi psikologis
hilangnya kepekaan dan orientasi tentang diri sendiri sebagai anggota sebuah
lembaga terhormat.
Ini yang ingin saya sebut
sebagai ”jepruta collectiva”. Jepruta adalah kata yang dibentuk dari bahasa
Sunda, jeprut, yang artinya ’putus’. Bersama-sama (kolektif) anggota DPR
mengalami keterputusan hubungan dengan rakyat, bahkan dengan dirinya sendiri.
Ketika Presiden menolak menandatangani hasil kerja DPR, tanda indeksikal yang
menunjuk ke makna demikian memiliki peluang untuk naik menjadi simbol. DPR adalah
simbol dari lembaga yang jepruta collectiva. Tentu ini tidak boleh terjadi.
Tetapi, hanya DPR sendiri yang bisa mencegah hal itu. Bukan dengan UU yang
dibuat untuk melindunginya, melainkan dengan penataan lembaga dan tabiat
anggotanya.
Terakhir, bagaimana dengan
sikap Presiden yang menolak
menandatangani UU MD3 itu? Sebagaimana telah diuraikan, keluarnya sikap itu
telah nyaris menjadikan DPR sebagai mitos jepruta collectiva. Namun, ke dalam
diri Presiden sendiri, sikap demikian mencerminkan ambivalensi. Presiden
menyadari betul bahwa UU MD3 telah meresahkan rakyat, tetapi pada saat yang
sama Presiden tidak mau menolongnya. Padahal, Presiden memiliki perangkat
untuk itu, yakni dengan mengeluarkan peraturan pemerintah.
Namun, alih-alih menolong,
Presiden mempersilakan rakyat untuk melakukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi. Dalam semiotika Peirce, sikap Presiden tersebut membentuk tanda
sinsign. Tanda ini bersifat mengambang, bukan qualisign, tetapi juga tidak
legisign. Dampak tanda semacam ini adalah munculnya ketegangan terus-menerus,
kegaduhan tanpa ujung. Tetapi, itulah semiotika politik kita: gaduh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar