Jumat, 23 Maret 2018

Semiotika UU MD3

Semiotika UU MD3
Acep Iwan Saidi  ;   Pembelajar Semiotika
                                                        KOMPAS, 21 Maret 2018



                                                           
Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU MD3 yang bermasalah itu. Namun, UU tersebut tidak batal karenanya.

Sejak 30 hari setelah disetujui DPR, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tetap berlaku, dengan atau tanpa ditandatangani Presiden. Dalam perspektif semiotika, kasus ini jadi permainan tanda berlapis.

Untuk mengurainya, saya coba tatap dengan semiotika kebertigaan (trikotomi) dari Charles Sanders Peirce (dalam Short, 2007). Peirce mengidentifikasi tanda dalam relasi segitiga sama kaki. Pada kaki pertama terdapat apa yang disebutnya representamen (sesuatu yang merepresentasikan), pada kaki kedua terdapat obyek (sesuatu yang direpresentasikan, konsep), dan pada kaki ketiga terdapat interpretant, yakni makna atau interpretasi  tentang makna dalam benak seseorang.

Merujuk pada teori tersebut, sebagai sebuah rumusan, UU MD3 terletak pada kaki representamen yang merujuk ke realitas atau konsep yang direpresentasikannya (obyek). Lalu, apa konsepnya? Perlu dipahami, dalam semiotika terdapat pandangan bahwa konsep tidak selalu abstrak. Untuk hal ini sejenak saya akan meminjam semiotika Hjemslev (dalam Noth, 1990).

Menurut Hjemslev, tanda adalah hubungan antara ekspresi (dapat sejajar dengan representamen Peirce) dan isi (dapat sejajar dengan obyek). Hubungan keduanya bisa bersifat fisik. Ekspresi dan isi sama-sama konkret. Ia mencontohkan hubungan antara speedometer mobil dan gerak rodanya. Angka yang ditunjuk jarum pada speedometer mobil adalah ekspresi dari kecepatan roda mobil sebagai isinya. Itulah yang disebut sinyal.

Beranalogi pada teori itu, dalam segitiga Peirce, yang terletak pada kaki obyek tidak lain adalah DPR. Ini karena DPR yang memproduksi UU MD3. Dibaca dari arah berlawanan, UU MD3 adalah ekspresi atau sinyal yang dikirim DPR. Sampai di sini tidak ada masalah.

Menjadi problematik ketika sampai pada kaki ketiga, yakni pada makna atau interpretan-nya. Sebagai sinyal yang dikirim wakil rakyat, UU MD3 sejatinya mengirim pesan, makna, dan dampak  yang menggembirakan rakyat. Namun, sebagaimana diketahui, ia justru membuat keresahan. Alih-alih mewakili dan melindungi kehendak rakyat, UU MD3 justru mengancam dan berpotensi mencelakakan rakyat.

Keresahan terlegitimasi

Sebatas mana tingkat keresahan itu? Perlu diketahui bahwa pada kaki interpretan juga terdapat hubungan segitiga lagi, yakni rheme (interpretasi spontan), dicent (interpretasi yang telah spesifik), dan argument (interpretasi yang telah berdasar). Dalam relasi ini, mula-mula keresahan rakyat  berada pada level dicent atau bahkan rheme, semacam derau dan teriakan emosional beberapa pihak. Namun, ketika Presiden tidak menandatangani UU tersebut, keresahan menjadi definitif: bahwa masyarakat secara obyektif memang resah. Dengan kata lain, tindakan Presiden telah melegitimasi keresahan tadi.

Keresahan terlegitimasi sedemikian juga mengidentifikasi posisi UU MD3 sebagai representamen. Di sini, lagi-lagi, Peirce mengedepankan relasi segitiga lain, yakni qualisign (sesuatu yang berpotensi menjadi tanda), sinsign (sesuatu yang telah dapat diduga sebagai tanda), dan legisign (sesuatu yang telah sahih sebagai tanda). Kegaduhan yang timbul akibat UU MD3 mula- mula berada pada level sinsign. Pada level ini, publik boleh jadi hanya menerka bahwa sumber keresahan masyarakat itu adalah UU MD3. Namun, setelah Presiden menolak menandatangani, dugaan itu terbukti: UUD MD3 sumber kegaduhan (legisign).

Apa yang terjadi pada dua kaki segitiga utama dan turunannya tersebut tentu bertumpu pada obyek atau konsepnya, yakni DPR. Di sini, kita bertemu lagi dengan relasi segitiga lain, yakni ikon (tanda kemiripan), indeks (tanda yang menunjuk), dan simbol (tanda sebagai kesepakatan). Jika representamen dan interpretan-nya telah sedemikian kacau, logikanya tentu DPR sebagai konsepnya juga kacau. Almarhum Gus Dur pernah menyebut DPR mirip dengan taman kanak-kanak. Hal ini berarti bahwa Gus Dur menciptakan ikon untuk DPR. Mari kita periksa.

Sebagai representamen, UU MD3 jelas hasil studi DPR terhadap realitas rakyat. Pasal tentang pemanggilan paksa terhadap orang yang dianggap merendahkan martabat DPR, misalnya, merupakan pesan semiotis bahwa sebelumnya ada rakyat yang melakukan tindakan itu. DPR kemudian  mendefinisikan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan dan oleh karena itu pelakunya harus dipenjarakan.

”Jepruta collectiva”

Dengan demikian, DPR mendefinisikan bahwa dirinya benar sementara pihak yang dianggap merendahkan martabat—seraya tidak ada penjelasan apa yang dimaksud merendahkan itu—salah. Di sini, DPR telah membuat kategorisasi: bahwa pihak di luar dirinya adalah liyan. Dengan begini tampak bahwa DPR merupakan lembaga yang terpisah, bahkan berseberangan dengan rakyat.

Karena sikap itulah, DPR tidak melihat kritik dari rakyat yang menurutnya merendahkan martabat tadi sebagai masukan untuk memperbaiki dirinya. Sikap tertutup ini mencerminkan bahwa DPR tidak mau introspeksi diri. Jika sedikit saja bersikap terbuka, DPR sejatinya menyadari bahwa yang sering merendahkan martabat DPR justru anggotanya sendiri. Sejak reformasi, 155 anggota DPR telah ditangkap KPK karena korupsi. Secara individu, mereka memang telah dihukum. Tetapi, secara kelembagaan, anggota DPR lain tampak tidak peduli, tidak menyikapinya sebagai masalah kelembagaan.

Menemukan fakta demikian, ikon yang dibuat Gus Dur menjadi sahih. Melampaui itu, dalam konteks ini DPR bahkan dapat menjadi tanda indeksikal, yakni menunjuk ke situasi psikologis hilangnya kepekaan dan orientasi tentang diri sendiri sebagai anggota sebuah lembaga terhormat.

Ini yang ingin saya sebut sebagai ”jepruta collectiva”. Jepruta adalah kata yang dibentuk dari bahasa Sunda, jeprut, yang artinya ’putus’. Bersama-sama (kolektif) anggota DPR mengalami keterputusan hubungan dengan rakyat, bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika Presiden menolak menandatangani hasil kerja DPR, tanda indeksikal yang menunjuk ke makna demikian memiliki peluang untuk naik menjadi simbol. DPR adalah simbol dari lembaga yang jepruta collectiva. Tentu ini tidak boleh terjadi. Tetapi, hanya DPR sendiri yang bisa mencegah hal itu. Bukan dengan UU yang dibuat untuk melindunginya, melainkan dengan penataan lembaga dan tabiat anggotanya.

Terakhir, bagaimana dengan sikap Presiden  yang menolak menandatangani UU MD3 itu? Sebagaimana telah diuraikan, keluarnya sikap itu telah nyaris menjadikan DPR sebagai mitos jepruta collectiva. Namun, ke dalam diri Presiden sendiri, sikap demikian mencerminkan ambivalensi. Presiden menyadari betul bahwa UU MD3 telah meresahkan rakyat, tetapi pada saat yang sama Presiden tidak mau menolongnya. Padahal, Presiden memiliki perangkat untuk itu, yakni dengan mengeluarkan peraturan pemerintah.

Namun, alih-alih menolong, Presiden mempersilakan rakyat untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam semiotika Peirce, sikap Presiden tersebut membentuk tanda sinsign. Tanda ini bersifat mengambang, bukan qualisign, tetapi juga tidak legisign. Dampak tanda semacam ini adalah munculnya ketegangan terus-menerus, kegaduhan tanpa ujung. Tetapi, itulah semiotika politik kita: gaduh! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar