Jumat, 23 Maret 2018

Anomali Pasar Beras

Anomali Pasar Beras
Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)
                                                        KOMPAS, 22 Maret 2018



                                                           
Presiden Jokowi meminta para pembantunya mencari cara untuk menurunkan harga beras sebelum Ramadhan. Jika tidak ada perubahan, Ramadhan akan berlangsung 15 Mei – 14 Juni 2018. Itu artinya sekitar dua bulan lagi Ramadhan akan dijelang. Permintaan Presiden wajar. Meski ada kecenderungan menurun, saat ini harga beras masih tinggi.

Menurut laman Kementerian Perdagangan, 11 Maret 2018, harga beras medium Rp 10.814/kilogram (kg), lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp9.450/kg. Jika harga tak turun, seperti tahun-tahun lalu, harga beras akan melonjak tinggi saat Ramadhan. Inflasi pun meroket.

Pertanyaannya, mengapa harga beras bertahan di level tinggi? Bukankah saat ini memasuki masa panen, bahkan oleh Kementerian Pertanian, diyakini sudah panen raya? Apakah ada kebijakan yang salah? Bukankah pasar beras selama puluhan tahun telah memberikan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan untuk merakit beleid yang andal?
Sudah puluhan tahun merdeka, mengapa masalah seperti ini selalu terjadi? Aneka pertanyaan ini harus dicarikan jawaban agar kejadian serupa tidak berulang.

Titik kritis cadangan

Dari pengalaman berpuluh-puluh tahun diketahui titik kritis cadangan beras akan terjadi tiap 31 Desember. Cadangan beras setidaknya harus cukup untuk memenuhi tiga bulan (Desember-Februari) konsumsi, baik langsung maupun tak langsung atau sekitar 9 juta ton.

Ini terkait dengan irama tanam serentak yang menghasilkan panen yang ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi) dan musim paceklik (Oktober-Januari).

Menjadi masalah karena cadangan beras saat 31 Desember 2017 cukup rendah: di bawah 1 juta ton. Ini bisa dilihat dari stok awal Bulog tahun 2018 yang hanya tersisa 700.000-800.000 ribu ton beras. Ini merupakan jumlah yang amat kecil dibandingkan dengan stok awal selama satu dekade terakhir yang berkisar 1,3 juta-1,5 juta ton.

Stok yang amat kecil ini membuat pasar beras mudah sekali memanas. Bukan saja pemerintah tak memiliki instrumen memadai, tetapi jumlah beras juga tak cukup untuk mengoreksi kegagalan pasar. Pelaku pasar dominan tiap saat bisa berspekulasi untuk dapat keuntungan besar.

Dalam kondisi demikian, pasokan gabah/beras ke pasar mundur dari kebiasaan. Anomali iklim/cuaca membuat musim tanam dan panen mundur, dari Februari menjadi Maret. Gabah/beras hasil panen Maret baru mengisi sebagian pipa (pipeline) distribusi yang terkuras, baik karena musim paceklik maupun akibat kebijakan baru.

Kebijakan baru HET yang berlaku sejak September 2017 membuat risiko usaha kian tinggi, insentif menurun, dan menciptakan ketidakpastian baru. Pada saat yang sama, langkah agresif Satgas Pangan telah merusak pasar, menciptakan ketakutan, dan trauma berkepanjangan.

Karena pasar jauh dari jenuh, terjadi perebutan gabah oleh pelaku pasar. Panen di satu wilayah akan diperebutkan, termasuk oleh pembeli dari luar wilayah, hingga terjadi fenomena “gabah wisata”. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah membuat kebijakan blunder: memberikan fleksibilitas pembelian gabah/beras sebesar 20 persen kepada Bulog, naik dari tahun lalu yang hanya 10 persen.

Artinya Bulog bisa membeli gabah kering panen (GKP) dan beras 20 persen di atas harga pembelian pemerintah (HPP) seperti diatur Inpres No 5 Tahun 2015: Rp 4.440/kg GKP dan beras Rp 8.850/kg beras. Bagi dunia usaha, fleksibilitas ini sinyal untuk menyesuaikan harga. Harga gabah/beras pasti di atas tingkat fleksibilitas.

Fleksibilitas diberikan agar penyerapan beras Bulog optimal. Tahun lalu Bulog hanya mampu menyerap 2,1 juta ton atau 56 persen dari target 3,74 juta ton beras. Ini bukan kali pertama Bulog gagal mencapai target. Tahun 2016, Bulog menyerap 2,97 juta ton beras atau 76 persen dari target, dan pada 2015 menyerap 2,7 juta ton beras atau 82,3 persen dari target. Hingga minggu kedua Maret 2018, harga gabah masih tinggi: Rp 4.700/kg GKP.

Jika harga bertahan tinggi, pengadaan beras Bulog akan seret. Padahal, musim panen adalah waktu terbaik Bulog menyerap gabah/beras. Masalahnya saat Bulog agresif masuk ke pasar membuat perebutan gabah/beras kian sengit. Harga pun terpantik menjadi tinggi.
Memang per 28 Februari 2018 pasar domestik diisi oleh beras impor sebanyak 261.000 ton. Namun, berita impor beras maupun kedatangannya tidak signifikan memengaruhi harga karena selain volumenya kecil, beras impor itu langsung masuk ke gudang-gudang Bulog. Bukan mengisi pasar. Dalam kondisi demikian, para pembantu Presiden Jokowi lalai dalam menyalurkan bantuan sosial beras sejahtera (bansos Rastra).

Bansos Rastra yang mestinya mengucur sejak Januari 2018 baru disalurkan minggu kedua Maret. Sengaja atau tidak, kelalaian ini memperburuk keadaan yang sudah buruk. Dugaan saya, kelalaian ini bukan kesengajaan, tapi karena ada masalah teknis penyaluran. Seperti diketahui, sejak 2017 pemerintah menginisiasi perubahan mekanisme penyaluran Raskin/Rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).

Jika pada 2017 hanya menjangkau 1,286 juta kelompok penerima manfaat (KPM), pada 2018 diperluas bertahap. Skemanya: Februari menjangkau 3,947 juta KPM, dan Maret 7,291 juta KPM. Jumlah total KPM sama dengan rumah tangga sasaran Raskin: 15,498 juta rumah tangga. KPM yang belum terjangkau oleh BPNT tidak lagi terima Rastra, tetapi bansos Rastra.

Tak belajar dari sejarah

Dalam mekanisme baru ini bukan lagi Bulog yang menerima subsidi dan mengantarkan Raskin/Rastra kepada masyarakat, melainkan pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan Rp 110.000/bulan ke rekening KPM berkartu debit.  Uang hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti beras, gula dan telur di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Di pengecer ada beraneka ragam beras, dengan harga beragam pula.

Warga miskin/rentan bisa memilih sendiri, baik harga, kualitas maupun jumlahnya. Jika uang dalam voucer tidak habis, sisa uang menjadi tabungan.

Karena bansos Rastra terlambat dibagikan, agar tetap bisa makan, para KPM berburu beras ke pasar. Jika dikalkulasi setara beras, bantuan yang terlambat dibagikan pada rentang Januari-Maret itu sekitar 0,5 juta ton. Perburuan KPM ke pasar membuat harga beras menjadi tertekan ke atas.

Akhirnya, semua rangkaian uraian ini menuju pada satu titik: logis dan masuk akan harga beras bertahan tinggi saat panen. Ini terjadi selain karena kita tidak belajar dari sejarah puluhan tahun perberasan, juga karena kebijakan yang blunder dan salah.

Kalau kemudian pasar beras terjadi anomali di sana-sini, seperti impor dan operasi pasar saat panen (raya), adalah keniscayaan. Anomali ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Agar ini tak berulang, pemerintah perlu menimbang ulang beberapa hal. Pertama, perlukah pemerintah mengatur HET beras secara kaku sepanjang tahun? Kedua, perlukah pemerintah menggiring tujuan kebijakan beras nasional untuk menurunkan inflasi pangan sebagai tujuan sentral?

Ketiga, perlukan Satgas Pangan masuk secara agresif ke pasar? Keempat, haruskah Rastra diubah jadi BPNT dan bansos Rastra dengan menggembosi peran Bulog? Untuk menjawab ini perlu kajian dan riset yang komprehensif. Kalau pasar beras dipahami keliru, keliru pula resep untuk mengobatinya, seperti yang terjadi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar