Jumat, 23 Maret 2018

Dua Dekade Reformasi

Dua Dekade Reformasi
J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
                                                        KOMPAS, 22 Maret 2018



                                                           
Salah satu tonggak penting perjalanan bangsa dan negara mewujudkan peradaban berpolitik adalah reformasi politik tahun 1998. Peristiwa tersebut telah ”menjungkirbalikkan” struktur kekuasaan yang tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Pilar-pilar kekuasaan Orde Baru—Golkar, birokrasi, militer, serta ”institusi” Soeharto—secara dramatis tumbang.

Oleh sebab itu, institusi politik dan konstitusi harus segera disusun untuk mendukung bangunan politik baru yang berkedaulatan rakyat. Tujuan utama reformasi adalah membentuk pemerintahan demokratis yang kuat; efektif, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Agenda urgensi dilakukan untuk mencegah dan mengantisipasi ancaman kembalinya kekuasaan yang militeristik atau anarki sosial. Idealnya, pembentukan partai politik didahului dengan menawarkan gagasan spesifik sebagai landasan dan cita-cita perjuangan.

Namun, karena terdesak waktu, hal itu tidak mungkin dilakukan. Agenda reformasi konstitusi seharusnya juga dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme. Akan tetapi, mengingat terbatasnya waktu, amandemen konstitusi dilakukan dengan tambal sulam juga.

Akibatnya, pilar demokrasi—partai politik—hanya merupakan bangunan struktur tanpa roh. Konstitusi yang diamendemen empat kali karena tidak dilakukan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, antara lain membangun konsensus nasional tentang konsep kekuasaan negara yang komprehensif, menghasilkan pasal-pasal tidak koheren dan kohesif satu sama lain.

Misalnya, perdebatan tentang bentuk negara kesatuan atau federal, sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, serta isu-isu lain yang berkaitan dengan pengorganisasian kekuasaan negara tidak cukup matang di dalam dialektika perdebatan publik. Konsensus nasional yang terbatas partisipasi publiknya, terlebih tidak disertai wacana publik yang luas oleh tokoh-tokoh yang kompeten dan mempunyai komitmen mewujudkan konstitusi yang ideal, tidak mampu menghadirkan roh konstitusi. Reformasi konstitusi tidak berhasil menyusun konstitusi ideal.

Bertitik tolak dari berbagai keterbatasan tersebut, proses pengelolaan kekuasaan negara dilanjutkan. Para pemegang kekuasaan pascareformasi merupakan produk dari institusi dan konstitusi yang ”cacat” sejak lahir. Pengelolaan kekuasaan negara semakin salah urus karena para pemegang kekuasaan yang tidak dipersiapkan matang oleh parpol sudah keburu mencecap madu kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan merajalela di seluruh tataran struktur kekuasaan.

Akibatnya, setelah dua dekade reformasi, banyak kalangan mempertanyakan, bahkan meragukan, arah reformasi. Tidak sedikit komponen masyarakat menginginkan kembalinya rezim Orde Baru yang dianggap stabil dan aman. Sebagian lain sangat khawatir munculnya anarki sosial karena negara sangat lemah. Kegalauan tersebut semakin memuncak dengan merebaknya fenomena populisme dan munculnya aliran yang lebih memercayai opini sesat daripada fakta.

Namun, jika digali lebih teliti, cermat, dan saksama, terdapat sinar dari mutiara-mutiara hasil reformasi yang memberikan harapan untuk menghadapi tantangan ke depan. Pertama, meskipun konstitusi pascareformasi banyak kelemahan, secara umum lebih demokratis, menjamin hak-hak asasi manusia, dan meminimalkan multiinterpretasi dibandingkan dengan UUD 1945. Amendemen UUD 1945 juga membebaskan bangsa Indonesia dari sandera mistis kesakralan UUD 1945 yang dikeramatkan untuk melegitimasi kekuasaan yang otoritarian.

Kedua, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol sangat rendah. Akan tetapi, tidak sedikit kader partai yang merasa gerah dan menginginkan reformasi parpol agar dapat menjadi instrumen yang mampu mengeja- wantahkan gagasan mulia menja- di kebijakan publik; bukan kumpulan elite yang lapar kuasa.

Ketiga, lembaga perwakilan rakyat terus merosot kredibilitasnya. Puncak kegeraman publik adalah terbitnya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang dianggap memasung suara kritis. Namun, lembaga ini pernah menghasilkan beberapa regulasi yang dirasakan manfaatnya dalam kehidupan bersama, antara lain UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Keempat, reformasi Tentara Nasional Indonesia. Institusi yang semula menjadi instrumen negara menggalang kekuatan politik telah kembali kepada fungsi dan tugas pokok utamanya, menegakkan kedaulatan dari ancaman militer asing. Namun, transformasi harus dilanjutkan sejalan dinamika tantangan ancaman global yang semakin kompleks serta tuntutan kebutuhan alat utama sistem persenjataan yang makin canggih.

Kelima, kebijakan desentralisasi yang mengakui keragaman budaya dan adat istiadat lokal. Rezim penyeragaman daerah sudah lewat. Namun, agenda ini ke depan harus dilakukan dengan arah yang lebih jelas serta desain besar otonomi daerah yang memberikan kerangka desentralisasi yang lebih mengutamakan kebinekaan masyarakat lokal.

Keenam, masyarakat sipil yang liat. Kedigdayaan civil society tampak dalam meredakan gelombang ujaran kebencian primordialistik akhir-akhir ini. Peristiwa yang menggerogoti keindonesiaan relatif cepat diredam oleh imbauan berbagai tokoh serta kesigapan pemerintah.

Berbekal modal reformasi politik, penataan organisasi kekuasaan negara ke depan diharapkan semakin mendekatkan cita-cita bangsa mewujudkan perpolitikan yang semakin beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar