Sabtu, 24 Maret 2018

Mewaspadai Budaya Plutokrasi

Mewaspadai Budaya Plutokrasi
Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel;  
Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
                                                  KORAN SINDO, 21 Maret 2018



                                                           
ORANG miskin tidak hanya mengalami dis­kri­mi­na­si layanan di dunia pen­di­dikan dan kesehatan. Di bi­dang politik juga terjadi ham­batan bagi orang miskin untuk berkiprah. Hal itu karena untuk berpolitik seseorang harus me­nyediakan biaya super besar. Biaya politik yang tinggi (hight cost), terutama terjadi sejak era pemilihan umum (pemilu) se­ca­ra langsung, baik untuk anggota legislatif, kepala daerah, mau­pun presiden. Persoalan biaya yang besar jelas menjadi ha­langan bagi orang miskin untuk mengikuti proses politik di legislatif dan eksekutif.

Karena itu, tidak berlebihan jika ada pesan bernada kritik sosial bahwa orang miskin di­la­rang sekolah dan dilarang sakit. Bahkan seiring dengan besar­nya biaya yang dibutuhkan, orang miskin juga dilarang ber­politik.

Pesan itu jelas ter­gam­bar dalam proses pemilihan ke­pa­la daerah (pilkada) serentak 2018. Banyak calon dalam pil­kada mengeluhkan besarnya bia­ya politik yang harus ditang­gung. Biaya politik terutama un­tuk membayar kebutuhan ma­har politik, logistik, tim suk­ses, bantuan, dan kampanye sela­ma pencalonan.

Pada konteks itu dapat di­pa­hami jika pasangan calon yang maju dalam pilkada umumnya merupakan figur-figur populer dan “bergizi”. Mereka berasal dari politikus mapan, pe­ngu­sa­ha, artis, hartawan, dan tokoh masyarakat. Sepanjang era re­formasi peranan calon legislatif dan eksekutif yang populer lagi ber­gizi juga sangat dominan. Dampaknya, kader partai yang telah berpeluh keringat harus tersisih karena kalah bersaing dengan pendatang baru yang lebih populer dan bergizi.

Kecenderungan partai un­tuk merekrut calon legislatif (ca­leg) nonkader yang populer dan bergizi jelas menyisakan per­tanyaan. Apalagi fenomena itu bukan hanya terjadi dalam penentuan caleg. Pengu­sung­an figur nonkader da­lam pilkada juga sering ter­jadi. Dalam kon­disi ini pub­lik menyoal sistem penga­der­an par­tai.

Sebab partai se­jati­nya memiliki tanggung ja­wab melakukan ka­de­risasi. Ha­rapannya, pada saat pemilu le­gis­latif, pil­kada, dan pemilihan pre­si­den, partai tidak ke­ku­rangan kader untuk dicalonkan. Partai juga memiliki tang­gung jawab melakukan pen­di­dikan politik kepada m­a­sya­ra­kat agar menjadi pemilih yang cer­das. Untuk menjalankan tu­gas mulia itu, setiap partai di­ge­lontorkan anggaran besar dari pemerintah.

Namun secara ju­jur harus diakui, mayoritas par­tai hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pe­lak­sa­naan pemilu. Dampaknya, par­tai mengalami kebingungan tatkala penentuan calon dalam pemilihan legislatif dan pil­ka­da. Termasuk juga pemenuhan kuota 30% untuk caleg pe­rem­pu­an. Hal itu menunjukkan pro­gram kaderisasi di partai me­mang tidak berjalan.

Semangat partai me­ngu­sung figur nonkader dalam pen­ca­lonan legislatif dan pilkada de­ngan pertimbangan popu­la­ri­tas dan “gizi” pada saatnya bisa mengancam sistem demokrasi. Karena lembaga-lembaga pub­lik di negeri ini, terutama le­gis­latif dan eksekutif, pasti akan dikuasai oleh kelompok elite, po­puler, dan hartawan.

Per­soa­l­an menjadi semakin kompleks ji­­k­a mereka tidak memiliki kompetensi dan jejak rekam yang baik. Kekhawatiran ter­ha­dap kondisi itu pernah di­ke­mu­kakan Kevin Phillips dalam Wealth and Democracy; A Politi­cal History of the American Rich (2002).

Dalam karyanya, Kevin me­ne­gaskan, kini ada kecen­de­rungan rezim politik dan ke­kua­saan digerakkan oleh kelompok orang kaya. Rezim politik dan kekuasaan pun dibangun de­ngan menggunakan logika the rule of the rich. Keberlangsungan suatu rezim didasarkan pada keinginan orang-orang kaya.

Lo­gika the rule of the rich me­nis­ca­yakan bahwa orang yang ti­dak memiliki uang tidak boleh ber­mimpi menjadi pejabat pub­lik. Hal itu karena untuk men­jadi pejabat publik seseorang harus menyiapkan dana besar.

Praktik politik yang mengan­dal­kan kekuatan uang itulah di­katakan Kevin sebagai budaya plutokrasi. Dalam bahasa Yunani, kata plutokrasi terdiri atas ploutos  (ke­kayaan) dan kratos  (ke­kua­sa­an). Dengan demikian dapat di­pahami bahwa plutokrasi me­rujuk pada sistem p­e­me­rin­tahan yang digerakkan ke­lom­pok elite lagi berharta.
Ke­lom­pok ini membentuk bu­daya ser­ba uang dalam menyelesaikan semua urus­an, termasuk poli­tik, kekuasaan, dan hukum. Ji­ka mengamati dinamika po­li­tik, rasanya tidak ber­lebihan ji­ka dikatakan bahwa wajah politik kita telah diwarnai budaya plutokrasi. Wajah po­litik masa depan tampaknya juga masih akan dipimpin rezim berbudaya plutokrasi.

Semestinya tidak ada yang salah dengan keterlibatan kaum elite-kaya dalam politik. Hal itu karena semua anak bang­sa memiliki hak sama un­tuk berpolitik sehingga bisa di­ca­lonkan sebagai presiden, wa­kil presiden, kepala daerah, wa­kil kepala daerah, dan anggota legislatif.

Hal yang menjadi ma­salah adalah tatkala uang men­jadi panglima dalam proses-proses politik dan penentuan kebijakan. Persyaratan ke­mam­puan minimal dana yang harus dimiliki caleg saat mendaftar ke partai peserta pemilu menjadi bukti betapa uang masih men­jadi penentu. Begitu juga dengan kewajiban membayar “ma­har” pada partai pengusung bagi calon yang maju dalam pil­kada.

Budaya politik plutokrasi se­makin melapangkan jalan bagi pemilik modal untuk men­jadi pejabat publik. Budaya politik serba uang meng­aki­batkan se­tiap calon yang suk­ses meraih ke­kuasaan meng­alami diso­rien­tasi.

Hampir dapat dipas­ti­kan bahwa yang pertama di­pi­kir­kan tatkala kekuasaan di ta­ngan adalah mengembalikan mo­dal. Per­soalan pemenuhan janji saat berkampanye untuk se­men­tara waktu harus diabaikan selama modal belum kem­ba­li.

Ber­mula dari pemikiran ini­l­ah budaya korup kian marak ter­jadi di lembaga-lembaga pub­lik. Karena itu, jangan heran jika setiap saat diberitakan ada pejabat publik terjaring ope­rasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK).

Jika budaya politik di negeri tercinta semakin ko­lutif dan koruptif, maka masih layakkah kita mem­per­cayakan persoalan hajat hidup rakyat pada figur-figur yang hanya mengan­dal­kan popularitas dan uang?

Ra­sa­nya sudah waktunya kita berubah men­jadi pemilih yang cerdas. Karena itu, jangan mu­dah ter­pesona oleh popularitas. Ja­ngan pula memilih karena uang. Pada saatnya kita harus berkomitmen untuk memilih calon anggota legislatif dan ke­pala daerah yang berin­te­gritas. Mari bersama mewas­padai mun­culnya rezim ber­budaya plutokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar