Jumat, 23 Maret 2018

Matematika di Era 4.0

Matematika di Era 4.0
Wono Setya Budhi  ;   Guru Besar Matematika di ITB
                                                        KOMPAS, 21 Maret 2018



                                                           
Umumnya orang hanya tahu bahwa matematika dipelajari sekadar untuk melakukan perhitungan. Saat ini, alat hitung sudah tersedia di mana-mana. Telepon seluler sudah dilengkapi program untuk menghitung dan juga kita bisa memanfaatkan situs-situs yang menyediakan program canggih untuk perhitungan yang rumit sekalipun.

Oleh karena itulah, mungkin, di Kurikulum 2013 pelajaran Matematika di SD dihapuskan dan dilebur menjadi pelajaran yang disebut ”Tematik”. Matematika hanya terlihat sebagai bagian dari pelajaran untuk mempersiapkan siswa dapat menghitung. Di buku yang diterbitkan pemerintah, tampak sekali pelajaran Matematika muncul sebagai potongan agar siswa dapat menghitung.

Di tingkat lebih tinggi, banyak orang hanya mengetahui bahwa belajar matematika adalah mempelajari rumus yang sudah ada. Karena umumnya mereka menganggap matematika hanya sebagai alat. Di Indonesia, di luar orang matematika, saya hanya mendengar dari Iwan Fals mengenai hal yang lain. Di Twitter tanggal 13 Februari 2013, Iwan Fals mengatakan bahwa: ”Matematika itu cara berpikir, bukan kumpulan rumus siap pakai. Belajar matematika artinya belajar berpikir matematis”.

Masyarakat lainnya di dalam berkomunikasi hanya menggunakan rumus. Misalkan saja, mengapa ongkos masuk jalan tol harus naik setiap dua tahun. Karena ada UU-nya. Diskusi berhenti karena sudah seperti diatur oleh rumus yang ada (dalam hal ini UU). Mengapa penangkapan seseorang harus terluka. Jawabnya tidak tahu, umumnya hanya mengatakan bahwa penangkapan yang dilakukan sudah sesuai prosedur. Serupa dengan jawaban tersebut adalah siswa yang menjawab mengapa dilakukan hal tersebut. Karena itu rumusnya yang diperoleh dari guru.

Jika matematika punya bentuk seperti di atas, tak mungkin bahwa matematika (statistika, pemrograman komputer) akan menempati top pekerjaan no 1 (pengembangan program), no 6 (statistik), no 24 (aktuaria), dan no 25 (matematika) dalam artikel The 25 Best Jobs of 2018 di USNEWS https://money.usnews.com/money/careers/slideshows/the-25-best-jobs?slide=2.

Pada artikel ini saya mencoba menjelaskan mengapa matematika begitu memegang peranan penting dalam pekerjaan di masa yang akan datang. Seperti sudah sejak dahulu kala, tujuan mempelajari matematika adalah menyelesaikan suatu masalah.

Oleh karena itu, matematika mulai dengan aksioma (hal yang mudah diterima semua orang). Di geometri salah satu aksioma tersebut adalah melalui dua titik hanya dapat dibuat sebuah garis. Berdasarkan aksioma tersebut, ilmu matematika dikembangkan melalui pola yang sederhana, yaitu kalimat implikasi yang sudah diuji kebenarannya. Jika harga satu kerbau Rp 2, maka harga dua kerbau Rp 4. Jika bagian hipotesis benar, maka kesimpulan tersebut benar. Tentu saja hipotesis itu tak harus selalu benar.

Sikap dan keterampilan

Sebenarnya di matematika sudah tersedia kesempatan untuk siswa berlatih sikap dan keterampilan yang diperlukan di masa yang akan datang. Tetapi, jika dipelajari sebagai suatu hafalan dan prosedur standar tidak akan memberikan faedah yang berguna bagi diri siswa di kelak kemudian hari.

Misalkan di dalam menjawab soal berikut. Misalkan suatu rumah sakit sudah berdiri sejak 1924. Sudah berapa tahun rumah sakit tersebut berdiri?

Kalau soal ini diselesaikan hanya dengan menghitung 2018-1924, maka pekerjaan seperti ini bisa dilakukan dengan menggunakan komputer atau alat hitung. Siswa hanya menjalankan prosedur standar. Di dunia modern, sikap mengubah masalah jadi masalah lain  yang lebih sederhana sangat diperlukan. Dalam hal ini, misalkan enam tahun kemudian rumah sakit sudah berdiri selama 100 tahun, dengan demikian rumah sakit sudah berdiri selama 94 tahun. Meminta siswa agar mampu menjawab dengan cara lain sangat diperlukan, sesuai dengan anjuran George Polya (1887-1985) agar selalu mengajak siswa untuk menjawab dengan cara berbeda.

Pada pembahasan bilangan tersebut, matematika dapat diajarkan seperti tampak pada buku ”Tematik” yang dikeluarkan pemerintah. Tetapi, manfaat yang akan dirasakan oleh siswa tidak ada sebab hal-hal yang akan dipelajari tersebut dapat diganti dengan alat hitung lain. Sikap untuk menyelesaikan matematika dengan lebih cerdik tidak tampak sama sekali.

Matematika harus dapat diajarkan agar siswa punya sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi hidup. Sikap dan keterampilan tersebut antara lain: (1) untuk mengubah soal jadi lebih sederhana, seperti yang telah dikemukakan di atas; (2) membagi kasus pada suatu masalah. Misalkan suatu negara sudah berdiri sejak 1885, berapa tahun negara itu sudah berdiri? Sebagai ganti menghitung 2018-1885, kita dapat membaginya sebagai berikut. Sampai tahun 1900, negara sudah berdiri 15 tahun. Sampai tahun 2018, negara tersebut sudah berdiri selama 118+15=133 tahun yang dapat dihitung tanpa menggunakan alat hitung.

Sikap dan keterampilan lainnya adalah (3) melihat pola dan memanfaatkannya. Di matematika, khususnya di bilangan bulat, sangat banyak pola yang harus dicari. Hal ini merupakan latihan untuk memunculkan sikap dan keterampilan yang diperlukan.

Minimal ketiga sikap dan keterampilan tersebut harus dimiliki oleh lulusan siswa SD yang dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Dengan cara ini akan terbangun sumber daya manusia yang lebih baik. Di dalam artikel di World Economic Forum disebutkan bahwa keahlian bermatematika, selain spesialis lain, sangat diperlukan untuk memanfaatkan lapangan pekerjaan yang tersedia di masa yang akan datang. Sekali lagi, tentu bukan seorang yang mengetahui rumus-rumus matematika yang ada. Sumber daya manusia yang hanya mengetahui rumus-rumus sudah digantikan oleh mesin.

Disebutkan pula di artikel tersebut bahwa sikap dan keterampilan di atas harus dimulai seawal mungkin. Oleh karena itu, menurut saya, Kemdikbud sebaiknya segera meninjau kembali kurikulum ”Tematik” di SD. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar